Jakarta (ANTARA) - Pengamat kebijakan energi Sofyano Zakaria menilai wacana yang membolehkan Pertashop menyalurkan BBM bersubsidi seperti Pertalite bukan solusi untuk mengatasi lesunya bisnis outlet penjualan BBM nonsubsidi tersebut.
"Persoalan yang dikeluhkan pengusaha Pertashop tidaklah dengan serta merta harus diatasi dengan menjadikan Pertashop juga ikut menyalurkan BBM bersubsidi," ujar Sofyano Zakaria yang juga Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, sangat tidak tepat jika ada pemikiran mengalihkan penyaluran Pertalite dari SPBU ke Pertashop.
Hal itu dikarenakan keberadaan SPBU di seluruh wilayah NKRI sudah sejak awal dirancang buat menyalurkan segala jenis BBM dan sudah memenuhi segala ketentuan perundangan dan peraturan yang berlaku.
Masalah yang dialami pengusaha Pertashop, kata Sofyano, pada intinya adalah tidak atau kurang lakunya BBM nonsubsidi yang dijualnya karena Pertashop harus bersaing dengan pengecer BBM nonsubsidi tak resmi yang dengan bebas bisa menjual BBM nonsubsidi atau bahkan BBM penugasan seperti Pertalite.
"Pertashop ini di kelilingi 'Pertamini' dan 'Pertabotol' yang bisa bebas menjual BBM penugasan Pertalite yang harganya di bawah harga Pertamax," katanya.
Sofyano menilai pemerintah dalam hal ini kementerian ESDM dan juga BPH migas harusnya mampu mencegah rembesnya Pertalite ke penjual BBM tidak resmi tersebut yang jadi penyebab tidak lakunya pertamax yang dijual oleh Pertashop.
"Keberadaan 'Pertamini' dan 'Pertabotol' juga perlu mendapat perhatian pemerintah. Para pelakunya seharusnya bisa dibina dan dijadikan juga sebagai mitranya Pertamina dalam menyalurkan BBM Pertamax dalam skala yang sesuai dengan keberadaan mereka," katanya.
Di sisi lain, Pertashop seharusnya bisa menjadi peluang bisnis bagi UKM dan mempermudah masyarakat khususnya di pedesaan dalam memperoleh BBM.
Sudah saatnya Pertamina juga meninjau kembali ketentuan tentang sarana dan fasilitas yang wajib dibangun pada Pertashop sehingga investasi untuk Pertashop tidak lagi sebesar ratusan juta seperti yang terjadi selama ini. Dengan demikian maka beban buat usaha Pertashop bisa ditekan serendah mungkin.
Pertamina juga harus memperhatikan dengan benar soal jarak antara SPBU dengan Pertashop yang pada awalnya ditetapkan minimal 10 km dan juga jarak antar Pertashop yang idealnya sekitar 5 km.
"Ini harus jadi aturan yang standar dan wajib dilaksanakan dengan konsisten sehingga tidak merugikan para pihak yang menyalurkan BBM," tegasnya.
Ia menambahkan Pertashop harus menjadi peluang bisnis bagi UKM dan mempermudah masyarakat khususnya masyarakat perdesaan dalam memperoleh BBM. Karenanya, keberadaan Pertashop harus mendapat perhatian dan dukungan penuh pemerintah, misalnya dikenakan bunga rendah jika menggunakan kredit dan juga bebas dari pungutan resmi lainnya.
"Persoalan yang dikeluhkan pengusaha Pertashop tidaklah dengan serta merta harus diatasi dengan menjadikan Pertashop juga ikut menyalurkan BBM bersubsidi," ujar Sofyano Zakaria yang juga Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, sangat tidak tepat jika ada pemikiran mengalihkan penyaluran Pertalite dari SPBU ke Pertashop.
Hal itu dikarenakan keberadaan SPBU di seluruh wilayah NKRI sudah sejak awal dirancang buat menyalurkan segala jenis BBM dan sudah memenuhi segala ketentuan perundangan dan peraturan yang berlaku.
Masalah yang dialami pengusaha Pertashop, kata Sofyano, pada intinya adalah tidak atau kurang lakunya BBM nonsubsidi yang dijualnya karena Pertashop harus bersaing dengan pengecer BBM nonsubsidi tak resmi yang dengan bebas bisa menjual BBM nonsubsidi atau bahkan BBM penugasan seperti Pertalite.
"Pertashop ini di kelilingi 'Pertamini' dan 'Pertabotol' yang bisa bebas menjual BBM penugasan Pertalite yang harganya di bawah harga Pertamax," katanya.
Sofyano menilai pemerintah dalam hal ini kementerian ESDM dan juga BPH migas harusnya mampu mencegah rembesnya Pertalite ke penjual BBM tidak resmi tersebut yang jadi penyebab tidak lakunya pertamax yang dijual oleh Pertashop.
"Keberadaan 'Pertamini' dan 'Pertabotol' juga perlu mendapat perhatian pemerintah. Para pelakunya seharusnya bisa dibina dan dijadikan juga sebagai mitranya Pertamina dalam menyalurkan BBM Pertamax dalam skala yang sesuai dengan keberadaan mereka," katanya.
Di sisi lain, Pertashop seharusnya bisa menjadi peluang bisnis bagi UKM dan mempermudah masyarakat khususnya di pedesaan dalam memperoleh BBM.
Sudah saatnya Pertamina juga meninjau kembali ketentuan tentang sarana dan fasilitas yang wajib dibangun pada Pertashop sehingga investasi untuk Pertashop tidak lagi sebesar ratusan juta seperti yang terjadi selama ini. Dengan demikian maka beban buat usaha Pertashop bisa ditekan serendah mungkin.
Pertamina juga harus memperhatikan dengan benar soal jarak antara SPBU dengan Pertashop yang pada awalnya ditetapkan minimal 10 km dan juga jarak antar Pertashop yang idealnya sekitar 5 km.
"Ini harus jadi aturan yang standar dan wajib dilaksanakan dengan konsisten sehingga tidak merugikan para pihak yang menyalurkan BBM," tegasnya.
Ia menambahkan Pertashop harus menjadi peluang bisnis bagi UKM dan mempermudah masyarakat khususnya masyarakat perdesaan dalam memperoleh BBM. Karenanya, keberadaan Pertashop harus mendapat perhatian dan dukungan penuh pemerintah, misalnya dikenakan bunga rendah jika menggunakan kredit dan juga bebas dari pungutan resmi lainnya.
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, pekan lalu, Gabungan Pengusaha Pertashop mengeluhkan minimnya nilai transaksi di gerai yang mereka kelola.
Mereka mengusulkan agar pemerintah mengizinkan Pertashop menjual BBM Pertalite dengan harga nonsubsidi seperti yang berlaku di SPBU Vivo.