Jakarta (ANTARA) - Dari sekian banyak pahlawan yang telah diakui di Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan hingga bisa bebas dari penjajahan, tentu masih ada sosok-sosok yang tak disebutkan dalam buku sejarah, tapi sebetulnya memiliki andil penting dalam sejarah bangsa Indonesia.
Pahlawan bukan cuma mereka yang membawa senapan, mereka juga bisa memegang kamera, kuas bahkan juga alat musik.
Sudut pandang baru dari sosok-sosok tersebut itulah yang menjadi fokus dari seri monolog "Di Tepi Sejarah" yang merupakan kerjasama antara Direktorat Perfilman, Musik dan Media Baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia bersama dengan Titimangsa Foundation serta KawanKawan Media.
Seri monolog membawakan interpretasi kisah tokoh-tokoh yang dianggap punya andil dalam sejarah Indonesia, diperankan oleh aktor-aktor mumpuni.
Seri monolog tersebut sudah ditayangkan di kanal YouTube Budaya Saya tahun lalu dengan judul “Nusa Yang Hilang”, “Radio Ibu”, “Sepinya Sepi”, dan “Amir, Akhir Sebuah Syair”. Monolog tersebut juga bisa dinikmati di kanal media khusus budaya Indonesiana dari Kemendikbudristek yang mempromosikan karya-karya serta budaya masyarakat Indonesia.
Dalam mengembangkan konten di kanal Indonesiana, para sutradara, aktor dan kru yang dilibatkan berasal dari berbagai generasi, mereka yang masih hijau atau sudah makan asam garam, kata Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Kemendikbud Ristek Ahmad Mahendra kepada ANTARA beberapa waktu lalu.
Pada episode perdana seri "Di Tepi Sejarah", sutradara penuh prestasi Kamila Andini yang bertugas mengarahkan kisah mengenai Muriel Stuart Walker, perempuan Skotlandia yang tumbuh di Amerika lalu pindah ke Bali pada 1932. Diperankan oleh Chelsea Islan, tokoh yang memiliki nama baru Ketut Tantri adalah sosok yang punya andil dalam perjuangan merebut kemerdekaan, termasuk membawakan siaran propaganda berbahasa Inggris di radio gerilyawan.
Monolog selanjutnya mengisahkan Riwu Ga (Arswendy Bening Swara), sahabat Bung Karno yang pernah jadi pelayan serta pengawalnya, kemudian sosok perempuan tua Tionghoa, The Sin Nio (Laura Basuki) yang menyamar jadi lelaki agar bisa jadi prajurit, namun sulit mendapat pengakuan setelah Indonesia merdeka, juga kisah tentang Amir Hamzah (Chicco Jerikho), sastrawan “Pujangga Baru” yang berjuang lewat sajak, roman dan risalah.
Konten berkualitas senantiasa didorong untuk memberikan pilihan tayangan yang memperkaya wawasan, itulah mengapa tahun ini seri "Di Tepi Sejarah" kembali diteruskan dengan mengangkat tokoh-tokoh lain yang bertujuan untuk memberikan sentuhan baru atas pemahaman penonton mengenai sejarah. Pemerintah khususnya Kemendikbud Ristek pun mendukung adanya berbagai medium dan cara pandang baru dalam melihat sejarah agar kebudayaan Indonesia makin maju.
Ulasan demi ulasan yang masuk dalam lomba resensi setelah menayangkan seri perdana "Di Tepi Sejarah" mendorong para penggagasnya untuk kembali menggali kisah dari sosok lain yang ada di tepi sejarah Indonesia, jarang terkena sorotan seperti pahlawan-pahlawan yang namanya sering didengar hingga saat ini. Kalau pun ada sosok yang namanya familier, monolog ini ingin menyampaikan sisi lain yang jarang diketahui publik.
Pada "Di Tepi Sejarah" musim kedua yang akan tayang di YouTube Budaya Saya dan kanal Indonesiana TV, terdapat lima riwayat pelaku sejarah yang akan dikisahkan. Mereka adalah Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989), Kassian Cephas (1845-1912), Gombloh (1949- 1988), Emiria Soenassa (1895-1964), dan Ismail Marzuki (1914-1958). Sosok Sjafruddin Prawiranegara diperankan oleh Deva Mahenra yang baru pertama kali berakting di panggung untuk pentas monolog. Bertajuk "Kacamata Sjafruddin", pentas ini disutradarai oleh Yudi Ahmad Tajudin. Sosok berdarah Banten-Minangkabau dalam monolog ini digambarkan saat menjadi Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang diberi mandat membentuk pemerintahan sementara Soekarno dan Hatta ditangkap oleh Belanda.
Kisah selanjutnya dari sudut pandang fotografer profesional pribumi pertama di era Hindia Belanda yang berpengaruh dalam perkembangan fotografi Indonesia, yakni Kassian Cephas. Muhammad Nur Qomaruddin menyutradarai sekaligus memerankan Kassian Cephas dalam monolog "Mata Kamera". Fotografer yang jadi anak angkat misionaris Belanda Christina Petronella Philips ini besar dengan didikan Eropa.
Chepas, kelahiran Sleman pada 1845 yang pernah jadi abdi dalem, ini mendapat tugas khusus fotografi di Keraton Mataram. Pria yang didukung Sri Sultan Hamengku Buwono VII dalam mengakses perkembangan teknologi fotografi telah mengabadikan foto raja, keluarga kerajaan dan juga upacara keraton. Karya-karya Cephas yang jadi fotografer profesional proyek Karmawibangga Borobudur jadi dokumentasi penting untuk titik awal fotografi Indonesia.
Tokoh lain yang kisah hidupnya diangkat menjadi monolog adalah Gombloh, penyanyi-penulis lagu Soedjarwoto Soemarsono yang diperankan seniman pantomim Wanggi Hoediyatno alias Wanggi Hoed. Monolog berjudul "Panggil Aku: Gombloh" disutradarai oleh Joind Bayuwinanda. Nama Gombloh tenar setelah membuat lagu "Kebyar-Kebyar". Dalam pementasan ini, tak cuma kisah hidupnya yang akan diungkapkan, tetapi juga karya-karya Gombloh yang berisi pesan kecintaan terhadap Indonesia juga idealismenya dalam berkarya, serta cita-citanya mewujudkan dunia tanpa prostitusi.
Gombloh, yang lagu-lagunya menjadi bahan penelitian karya ilmiah oleh Martin Hatch dari Universitas Cornell, New York, AS, telah menciptakan lagu yang berkisah mengenai ironi masyarakat perkotaan, kehidupan sosial, nasionalisme sampai sisi manusiawi lingkungan prostitusi. Ketika membawakan lagu yang komersil, Gombloh secara jujur mengatakan dirinya menggadaikan idealisme bermusik demi uang dan keluarga.
Pada episode monolog pelukis Emiria Soenassa berjudul "Yang Tertinggal di Jakarta", penyanyi Dira Sugandi memerankan pelukis perempuan pertama di Indonesia yang juga dikenal sebagai pemikir revolusioner dan kedudukannya disebut setara dengan Chairil Anwar dan Kartini. Pentas ini ditulis Felix K. Nesi dan disutradarai oleh Sri Qadariatin.
Kisah lainnya yang diangkat adalah interpretasi dari sosok Ismail Marzuki yang ternama di dunia seni. Dalam pentas "Ismail Marzuki: Senandung di Ujung Revolusi", Lukman Sardi berperan sebagai komponis terkenal di balik lagu-lagu seperti "Indonesia Pusaka", "Gugur Bunga", "Rayuan Pulau Kelapa", "Sepasang Mata Bola" hingga "Halo, Halo Bandung". Pementasan ini ditulis bersama oleh Putu Fajar Arcana dan Agus Noor, mengisahkan masa kreatif sang musisi sejak era penjajahan Jepang, agresi militer Belanda pun momen yang menginspirasi lagu-lagunya yang dikenal hingga hari ini.
Pada akhirnya, monolog ini adalah interpretasi dalam ruang berkesenian yang tak cuma menjadi cara menyenangkan untuk belajar tentang sosok bersejarah, tetapi juga ruang untuk mendiskusikan interpretasi yang disuguhkan di atas panggung.
Pahlawan bukan cuma mereka yang membawa senapan, mereka juga bisa memegang kamera, kuas bahkan juga alat musik.
Sudut pandang baru dari sosok-sosok tersebut itulah yang menjadi fokus dari seri monolog "Di Tepi Sejarah" yang merupakan kerjasama antara Direktorat Perfilman, Musik dan Media Baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia bersama dengan Titimangsa Foundation serta KawanKawan Media.
Seri monolog membawakan interpretasi kisah tokoh-tokoh yang dianggap punya andil dalam sejarah Indonesia, diperankan oleh aktor-aktor mumpuni.
Seri monolog tersebut sudah ditayangkan di kanal YouTube Budaya Saya tahun lalu dengan judul “Nusa Yang Hilang”, “Radio Ibu”, “Sepinya Sepi”, dan “Amir, Akhir Sebuah Syair”. Monolog tersebut juga bisa dinikmati di kanal media khusus budaya Indonesiana dari Kemendikbudristek yang mempromosikan karya-karya serta budaya masyarakat Indonesia.
Dalam mengembangkan konten di kanal Indonesiana, para sutradara, aktor dan kru yang dilibatkan berasal dari berbagai generasi, mereka yang masih hijau atau sudah makan asam garam, kata Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Kemendikbud Ristek Ahmad Mahendra kepada ANTARA beberapa waktu lalu.
Pada episode perdana seri "Di Tepi Sejarah", sutradara penuh prestasi Kamila Andini yang bertugas mengarahkan kisah mengenai Muriel Stuart Walker, perempuan Skotlandia yang tumbuh di Amerika lalu pindah ke Bali pada 1932. Diperankan oleh Chelsea Islan, tokoh yang memiliki nama baru Ketut Tantri adalah sosok yang punya andil dalam perjuangan merebut kemerdekaan, termasuk membawakan siaran propaganda berbahasa Inggris di radio gerilyawan.
Monolog selanjutnya mengisahkan Riwu Ga (Arswendy Bening Swara), sahabat Bung Karno yang pernah jadi pelayan serta pengawalnya, kemudian sosok perempuan tua Tionghoa, The Sin Nio (Laura Basuki) yang menyamar jadi lelaki agar bisa jadi prajurit, namun sulit mendapat pengakuan setelah Indonesia merdeka, juga kisah tentang Amir Hamzah (Chicco Jerikho), sastrawan “Pujangga Baru” yang berjuang lewat sajak, roman dan risalah.
Konten berkualitas senantiasa didorong untuk memberikan pilihan tayangan yang memperkaya wawasan, itulah mengapa tahun ini seri "Di Tepi Sejarah" kembali diteruskan dengan mengangkat tokoh-tokoh lain yang bertujuan untuk memberikan sentuhan baru atas pemahaman penonton mengenai sejarah. Pemerintah khususnya Kemendikbud Ristek pun mendukung adanya berbagai medium dan cara pandang baru dalam melihat sejarah agar kebudayaan Indonesia makin maju.
Ulasan demi ulasan yang masuk dalam lomba resensi setelah menayangkan seri perdana "Di Tepi Sejarah" mendorong para penggagasnya untuk kembali menggali kisah dari sosok lain yang ada di tepi sejarah Indonesia, jarang terkena sorotan seperti pahlawan-pahlawan yang namanya sering didengar hingga saat ini. Kalau pun ada sosok yang namanya familier, monolog ini ingin menyampaikan sisi lain yang jarang diketahui publik.
Pada "Di Tepi Sejarah" musim kedua yang akan tayang di YouTube Budaya Saya dan kanal Indonesiana TV, terdapat lima riwayat pelaku sejarah yang akan dikisahkan. Mereka adalah Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989), Kassian Cephas (1845-1912), Gombloh (1949- 1988), Emiria Soenassa (1895-1964), dan Ismail Marzuki (1914-1958). Sosok Sjafruddin Prawiranegara diperankan oleh Deva Mahenra yang baru pertama kali berakting di panggung untuk pentas monolog. Bertajuk "Kacamata Sjafruddin", pentas ini disutradarai oleh Yudi Ahmad Tajudin. Sosok berdarah Banten-Minangkabau dalam monolog ini digambarkan saat menjadi Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang diberi mandat membentuk pemerintahan sementara Soekarno dan Hatta ditangkap oleh Belanda.
Kisah selanjutnya dari sudut pandang fotografer profesional pribumi pertama di era Hindia Belanda yang berpengaruh dalam perkembangan fotografi Indonesia, yakni Kassian Cephas. Muhammad Nur Qomaruddin menyutradarai sekaligus memerankan Kassian Cephas dalam monolog "Mata Kamera". Fotografer yang jadi anak angkat misionaris Belanda Christina Petronella Philips ini besar dengan didikan Eropa.
Chepas, kelahiran Sleman pada 1845 yang pernah jadi abdi dalem, ini mendapat tugas khusus fotografi di Keraton Mataram. Pria yang didukung Sri Sultan Hamengku Buwono VII dalam mengakses perkembangan teknologi fotografi telah mengabadikan foto raja, keluarga kerajaan dan juga upacara keraton. Karya-karya Cephas yang jadi fotografer profesional proyek Karmawibangga Borobudur jadi dokumentasi penting untuk titik awal fotografi Indonesia.
Tokoh lain yang kisah hidupnya diangkat menjadi monolog adalah Gombloh, penyanyi-penulis lagu Soedjarwoto Soemarsono yang diperankan seniman pantomim Wanggi Hoediyatno alias Wanggi Hoed. Monolog berjudul "Panggil Aku: Gombloh" disutradarai oleh Joind Bayuwinanda. Nama Gombloh tenar setelah membuat lagu "Kebyar-Kebyar". Dalam pementasan ini, tak cuma kisah hidupnya yang akan diungkapkan, tetapi juga karya-karya Gombloh yang berisi pesan kecintaan terhadap Indonesia juga idealismenya dalam berkarya, serta cita-citanya mewujudkan dunia tanpa prostitusi.
Gombloh, yang lagu-lagunya menjadi bahan penelitian karya ilmiah oleh Martin Hatch dari Universitas Cornell, New York, AS, telah menciptakan lagu yang berkisah mengenai ironi masyarakat perkotaan, kehidupan sosial, nasionalisme sampai sisi manusiawi lingkungan prostitusi. Ketika membawakan lagu yang komersil, Gombloh secara jujur mengatakan dirinya menggadaikan idealisme bermusik demi uang dan keluarga.
Pada episode monolog pelukis Emiria Soenassa berjudul "Yang Tertinggal di Jakarta", penyanyi Dira Sugandi memerankan pelukis perempuan pertama di Indonesia yang juga dikenal sebagai pemikir revolusioner dan kedudukannya disebut setara dengan Chairil Anwar dan Kartini. Pentas ini ditulis Felix K. Nesi dan disutradarai oleh Sri Qadariatin.
Kisah lainnya yang diangkat adalah interpretasi dari sosok Ismail Marzuki yang ternama di dunia seni. Dalam pentas "Ismail Marzuki: Senandung di Ujung Revolusi", Lukman Sardi berperan sebagai komponis terkenal di balik lagu-lagu seperti "Indonesia Pusaka", "Gugur Bunga", "Rayuan Pulau Kelapa", "Sepasang Mata Bola" hingga "Halo, Halo Bandung". Pementasan ini ditulis bersama oleh Putu Fajar Arcana dan Agus Noor, mengisahkan masa kreatif sang musisi sejak era penjajahan Jepang, agresi militer Belanda pun momen yang menginspirasi lagu-lagunya yang dikenal hingga hari ini.
Pada akhirnya, monolog ini adalah interpretasi dalam ruang berkesenian yang tak cuma menjadi cara menyenangkan untuk belajar tentang sosok bersejarah, tetapi juga ruang untuk mendiskusikan interpretasi yang disuguhkan di atas panggung.