Jakarta (ANTARA) - Musikus sekaligus Sekjen Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) Dwiki Dharmawan berpendapat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 memerlukan valuator atau pihak penilai karya terkait implementasi regulasi itu di kemudian hari.
"Berita menggembirakan terkait kelanjutan dari Pasal 28 UUHC Nomor 28 Tahun 2014 Pasal 16 (yang meliputi) Hak Cipta Merupakan Benda Bergerak Yang Tidak Berwujud; Hak Cipta Dapat Dijadikan Sebagai Objek Jaminan Fidusia; Ketentuan mengenai Hak Cipta Sebagai Objek Jaminan Fidusia, dan seterusnya. Masalahnya, di sini tentunya harus melibatkan pihak valuator," jelas Dwiki kepada ANTARA, Selasa.
Valuator merupakan profesi penilai publik, yang selama ini sudah ada untuk menilai Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Menurut Dwiki, valuator nantinya juga perlu untuk ditingkatkan kompetensinya untuk melakukan penilaian karya, agar bisa dimanfaatkan dengan optimal melalui regulasi tersebut.
Sebagaimana diketahui, tujuan dari penerbitan PP Nomor 24 Tahun 2022 memudahkan pelaku ekonomi kreatif (ekraf) mendapatkan sumber pembiayaan dari lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan non-bank.
Hal ini memungkinkan produk kekayaan intelektual seperti lagu, lukisan, film, bahkan seni pertunjukan dapat dijadikan sebagai jaminan utang ke bank.
"Bank itu prinsipnya punya aturan terima jaminan apa. Ada jaminan utama seperti cash deposit, ada juga jaminan tambahan, mungkin aset kreatif atau IP masuk di sini. Semua aset harus divaluasi," kata Dwiki.
Ia melanjutkan, valuasi harus ada cara menghitung yang jelas, dan harus dinilai berdasarkan harga pasar. Dwiki menambahkan, salah satu menilai suatu aset kreatif adalah menghitung track record pendapatan tiga tahun terakhir dari aset kreatif tersebut. Sehingga, metode valuasi ia rasa penting untuk didiskusikan oleh bukan hanya musisi tapi pihak terkait lainnya.
Selain valuator, mantan ketua umum Anugerah Musik Indonesia (AMI) tersebut berpendapat, cara eksekusi dengan jaminan hak cipta juga perlu menjadi perhatian.
Menurut Dwiki, persoalan hak cipta sebagai jaminan fidusia bukan hal yang mudah, mengingat konstruksi hak cipta di Indonesia dibagi menjadi hak ekonomi dan hak moral.
"Hak cipta dapat menjadi jaminan fidusia sebatas pada hak ekonominya. Kedua, hak ekonomi yang bisa dialihkan ini pun membuat pemegang hak cipta tidak selalu si pencipta," kata personel grup musik Krakatau itu.
"Menjadi lebih kompleks ketika berkaitan dengan hak cipta dalam musik. Pencipta musik, produser, artis yang menampilkan pertunjukan musik, dan komposer masing-masing memiliki hak ekonomi untuk suatu wujud karya yang sama. Padahal barangnya satu, yaitu karya rekaman," jelas dia.
Sehingga, Dwiki berpendapat, perlu ada kejelasan soal siapa yang berhak menjadi debitur dalam jaminan fidusia berupa hak cipta, serta sistem valuasi yang bisa dipercaya jika masih ingin mempertahankan hak cipta sebagai jaminan fidusia.
"Sistem valuasi ini perlu dikelola lembaga khusus untuk menjamin nilai hak yang dibebani fidusia dapat dinikmati pemegang fidusia jika debitur cedera janji," kata Dwiki.
Dihubungi secara terpisah, musikus Anang Hermansyah juga mengatakan penting bagi pemerintah dan pihak lainnya terkait sistem pelaksanaan dan acuan penilaian karya yang akhirnya nanti bisa digunakan sebagai jaminan utang.
"Buat aku, PP ini bagus, dan mudah-mudahan sampai pelaksanaannya bisa cepat dan tepat. Namun, memang ada pertanyaan tambahan soal bagaimana sistem pelaksanaannya, bagaimana nanti acuan penilaiannya, dan lainnya," kata Anang.
"Mungkin langkah ini juga encourage percepatan pemerintah melakukan akselerasi infrastruktur (di industri kreatif). Sehingga, mungkin nanti ke depannya PP ini bisa menggugah sektor nonpemerintah juga ikut membangun sistem yang bagus di sana," imbuhnya.
"Berita menggembirakan terkait kelanjutan dari Pasal 28 UUHC Nomor 28 Tahun 2014 Pasal 16 (yang meliputi) Hak Cipta Merupakan Benda Bergerak Yang Tidak Berwujud; Hak Cipta Dapat Dijadikan Sebagai Objek Jaminan Fidusia; Ketentuan mengenai Hak Cipta Sebagai Objek Jaminan Fidusia, dan seterusnya. Masalahnya, di sini tentunya harus melibatkan pihak valuator," jelas Dwiki kepada ANTARA, Selasa.
Valuator merupakan profesi penilai publik, yang selama ini sudah ada untuk menilai Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Menurut Dwiki, valuator nantinya juga perlu untuk ditingkatkan kompetensinya untuk melakukan penilaian karya, agar bisa dimanfaatkan dengan optimal melalui regulasi tersebut.
Sebagaimana diketahui, tujuan dari penerbitan PP Nomor 24 Tahun 2022 memudahkan pelaku ekonomi kreatif (ekraf) mendapatkan sumber pembiayaan dari lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan non-bank.
Hal ini memungkinkan produk kekayaan intelektual seperti lagu, lukisan, film, bahkan seni pertunjukan dapat dijadikan sebagai jaminan utang ke bank.
"Bank itu prinsipnya punya aturan terima jaminan apa. Ada jaminan utama seperti cash deposit, ada juga jaminan tambahan, mungkin aset kreatif atau IP masuk di sini. Semua aset harus divaluasi," kata Dwiki.
Ia melanjutkan, valuasi harus ada cara menghitung yang jelas, dan harus dinilai berdasarkan harga pasar. Dwiki menambahkan, salah satu menilai suatu aset kreatif adalah menghitung track record pendapatan tiga tahun terakhir dari aset kreatif tersebut. Sehingga, metode valuasi ia rasa penting untuk didiskusikan oleh bukan hanya musisi tapi pihak terkait lainnya.
Selain valuator, mantan ketua umum Anugerah Musik Indonesia (AMI) tersebut berpendapat, cara eksekusi dengan jaminan hak cipta juga perlu menjadi perhatian.
Menurut Dwiki, persoalan hak cipta sebagai jaminan fidusia bukan hal yang mudah, mengingat konstruksi hak cipta di Indonesia dibagi menjadi hak ekonomi dan hak moral.
"Hak cipta dapat menjadi jaminan fidusia sebatas pada hak ekonominya. Kedua, hak ekonomi yang bisa dialihkan ini pun membuat pemegang hak cipta tidak selalu si pencipta," kata personel grup musik Krakatau itu.
"Menjadi lebih kompleks ketika berkaitan dengan hak cipta dalam musik. Pencipta musik, produser, artis yang menampilkan pertunjukan musik, dan komposer masing-masing memiliki hak ekonomi untuk suatu wujud karya yang sama. Padahal barangnya satu, yaitu karya rekaman," jelas dia.
Sehingga, Dwiki berpendapat, perlu ada kejelasan soal siapa yang berhak menjadi debitur dalam jaminan fidusia berupa hak cipta, serta sistem valuasi yang bisa dipercaya jika masih ingin mempertahankan hak cipta sebagai jaminan fidusia.
"Sistem valuasi ini perlu dikelola lembaga khusus untuk menjamin nilai hak yang dibebani fidusia dapat dinikmati pemegang fidusia jika debitur cedera janji," kata Dwiki.
Dihubungi secara terpisah, musikus Anang Hermansyah juga mengatakan penting bagi pemerintah dan pihak lainnya terkait sistem pelaksanaan dan acuan penilaian karya yang akhirnya nanti bisa digunakan sebagai jaminan utang.
"Buat aku, PP ini bagus, dan mudah-mudahan sampai pelaksanaannya bisa cepat dan tepat. Namun, memang ada pertanyaan tambahan soal bagaimana sistem pelaksanaannya, bagaimana nanti acuan penilaiannya, dan lainnya," kata Anang.
"Mungkin langkah ini juga encourage percepatan pemerintah melakukan akselerasi infrastruktur (di industri kreatif). Sehingga, mungkin nanti ke depannya PP ini bisa menggugah sektor nonpemerintah juga ikut membangun sistem yang bagus di sana," imbuhnya.