Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan reformasi perpajakan, yang dilakukan pemerintah, bertujuan menurunkan kesenjangan pajak atau tax gap Indonesia, yang pada 2019 masih berada di level 8,5 persen.
Sri Mulyani menyatakan tax gap Indonesia tersebut masih jauh dari normal tax gap negara OECD dan negara maju lainnya yakni di level 3,6 persen.
"Maka, untuk Indonesia sebetulnya terdapat potensi tax gap yang harus kita kurangi sebesar mendekati 5 persen dari GDP," katanya dalam raker denganKomisi XI DPR RI di Jakarta, Senin.
Baca juga: Ekonom sebut lima kunci kendalikan utang pemerintah
Sri Mulyani menuturkan penurunan tax gap Indonesia sebanyak 5 persen dari produk domestik bruto (PDB) tersebut dapat tercapai jika 100 persen aturan perpajakan dipatuhi.
Hal itu berarti perlakuan pajak untuk semua sektor adalah sama yaitu tidak ada insentif, fasilitas atau perbedaan tarif serta tidak terdapat exemption trushhold atau penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Ia mengatakan aspek ini yang masih perlu diskusi lebih lanjut bersama pihak DPR RI untuk membahas mengenai pondasi ekonomi Indonesia melalui penurunan tax gap ke level normal.
Baca juga: Pengamat: Antam harus buktikan tuduhan penggelapan pajak impor emas
"Mendekatkan Indonesia kepada praktik-praktik yang terjadi secara global sambil tetap melindungi kepentingan bangsa dan perekonomian kita sekaligus berpihak kepada kelompok yang lemah atau vulnerable," katanya.
Ia menjelaskan reformasi perpajakan sebenarnya telah dilakukan sejak 1983 hingga sekarang melalui berbagai upaya yang berbeda dengan mengikuti perkembangan global.
Reformasi perpajakan baik dari aspek kebijakan dan administrasi akan mampu meningkatkan kepatuhan dan pengumpulan pajak sehingga mengurangi tax gap menuju level normal.
Beberapa outcome dari reformasi perpajakan di antaranya meliputi PNBP SDA yang pada 1983 merupakan penyumbang utama penerimaan negara kemudian seiring berjalannya waktu PNBP SDA menurun.
"Pada 1992, pajak mulai jadi tulang punggung penerimaan negara," ujarnya.
Reformasi perpajakan juga meningkatkan jumlah wajib pajak (WP) yang terdaftar menjadi 20 kali lipat dalam 20 tahun terakhir karena Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu mendorong kesadaran WP untuk mendaftarkan diri.
Hal itu tercermin dari jumlah WP yang terdaftar pada 2002 adalah sebesar 2,59 juta WP dan meningkat drastis menjadi 49,82 juta WP pada 2021.
Kemudian, rasio WP orang pribadi (OP) terhadap penduduk bekerja turut meningkat dari 1,82 persen menjadi 34,66 persen.
"Indonesia adalah negara berdaulat dan merdeka sehingga untuk mencapai tujuannya, maka para warga negara bertanggung jawab berpartisipasi mencapai dan mengupayakan tujuan," tegasnya.
Sri Mulyani menyatakan tax gap Indonesia tersebut masih jauh dari normal tax gap negara OECD dan negara maju lainnya yakni di level 3,6 persen.
"Maka, untuk Indonesia sebetulnya terdapat potensi tax gap yang harus kita kurangi sebesar mendekati 5 persen dari GDP," katanya dalam raker denganKomisi XI DPR RI di Jakarta, Senin.
Baca juga: Ekonom sebut lima kunci kendalikan utang pemerintah
Sri Mulyani menuturkan penurunan tax gap Indonesia sebanyak 5 persen dari produk domestik bruto (PDB) tersebut dapat tercapai jika 100 persen aturan perpajakan dipatuhi.
Hal itu berarti perlakuan pajak untuk semua sektor adalah sama yaitu tidak ada insentif, fasilitas atau perbedaan tarif serta tidak terdapat exemption trushhold atau penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Ia mengatakan aspek ini yang masih perlu diskusi lebih lanjut bersama pihak DPR RI untuk membahas mengenai pondasi ekonomi Indonesia melalui penurunan tax gap ke level normal.
Baca juga: Pengamat: Antam harus buktikan tuduhan penggelapan pajak impor emas
"Mendekatkan Indonesia kepada praktik-praktik yang terjadi secara global sambil tetap melindungi kepentingan bangsa dan perekonomian kita sekaligus berpihak kepada kelompok yang lemah atau vulnerable," katanya.
Ia menjelaskan reformasi perpajakan sebenarnya telah dilakukan sejak 1983 hingga sekarang melalui berbagai upaya yang berbeda dengan mengikuti perkembangan global.
Reformasi perpajakan baik dari aspek kebijakan dan administrasi akan mampu meningkatkan kepatuhan dan pengumpulan pajak sehingga mengurangi tax gap menuju level normal.
Beberapa outcome dari reformasi perpajakan di antaranya meliputi PNBP SDA yang pada 1983 merupakan penyumbang utama penerimaan negara kemudian seiring berjalannya waktu PNBP SDA menurun.
"Pada 1992, pajak mulai jadi tulang punggung penerimaan negara," ujarnya.
Reformasi perpajakan juga meningkatkan jumlah wajib pajak (WP) yang terdaftar menjadi 20 kali lipat dalam 20 tahun terakhir karena Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu mendorong kesadaran WP untuk mendaftarkan diri.
Hal itu tercermin dari jumlah WP yang terdaftar pada 2002 adalah sebesar 2,59 juta WP dan meningkat drastis menjadi 49,82 juta WP pada 2021.
Kemudian, rasio WP orang pribadi (OP) terhadap penduduk bekerja turut meningkat dari 1,82 persen menjadi 34,66 persen.
"Indonesia adalah negara berdaulat dan merdeka sehingga untuk mencapai tujuannya, maka para warga negara bertanggung jawab berpartisipasi mencapai dan mengupayakan tujuan," tegasnya.