Jakarta (ANTARA) - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan setidaknya ada lima kunci dalam rangka memitigasi dan mengendalikan utang pemerintah, yang sedang naik signifikan dan menimbulkan kekhawatiran.
"Mitigasi utang biar tidak bertambah adalah pertama, melakukan negosiasi utang dengan segera," katanya kepada Antara di Jakarta, Sabtu.
Bhima menyatakan negosiasi bisa diberikan kepada negara untuk melakukan penangguhan pembayaran utang terlebih lagi dalam konteks bencana pandemi COVID-19.
Ia menuturkan jika Indonesia memiliki beban utang yang berat dengan bunga Rp373 triliun per tahun, maka dapat meminta keringanan kepada kreditur agar pembayaran bunga utangnya ditunda hingga 2022 atau 2023.
Kedua, mengenai penerimaan pajak, yang berarti rasio pajaknya harus dinaikkan salah satunya berupa peningkatan kepatuhan pajak.
Ketiga adalah mengenai insentif pajak, menurut Bhima, sebaiknya dihentikan khususnya pada sektor-sektor yang telah diberi stimulus, namun belum efektif.
Keempat yaitu mempersempit ruang perilaku koruptif dalam penegakan aturan perpajakan karena hal ini dapat merugikan penerimaan pajak.
"Itu juga merugikan penerimaan pajak yang ujungnya beban antara penambahan utang dengan kewajiban pembayaran utangnya menjadi semakin berat," tegasnya.
Terakhir yakni pemerintah dapat melakukan penghematan secara lebih ketat terhadap belanja-belanja yang bersifat birokratis seperti belanja pegawai dan belanja barang.
"Belanja yang tidak urgent seperti perjalanan dinas bisa dipangkas karena ruang fiskal itu juga harus dijaga agar masih tetap bisa melakukan belanja-belanja lain yang lebih urgent," ujarnya.
Bhima menjelaskan permasalahan dalam pengelolaan utang selama ini bukan mengenai penambahan jumlahnya melainkan terkait produktivitas dari utang itu untuk menghasilkan valuta asing (valas) yang lebih besar.
"Apalagi, utangnya diterbitkan dalam bentuk utang luar negeri maka utang luar negeri harus dibayar dengan dolar dengan valas," katanya.
Oleh sebab itu, ia mengatakan seharusnya pemerintah lebih bisa mendorong sektor-sektor penghasil valas seperti ekspor dan devisa dari tenaga kerja.
"Itu yang seharusnya didorong sekarang. Jadi, selama ini, itu yang menjadi masalah," ujarnya.
"Mitigasi utang biar tidak bertambah adalah pertama, melakukan negosiasi utang dengan segera," katanya kepada Antara di Jakarta, Sabtu.
Bhima menyatakan negosiasi bisa diberikan kepada negara untuk melakukan penangguhan pembayaran utang terlebih lagi dalam konteks bencana pandemi COVID-19.
Ia menuturkan jika Indonesia memiliki beban utang yang berat dengan bunga Rp373 triliun per tahun, maka dapat meminta keringanan kepada kreditur agar pembayaran bunga utangnya ditunda hingga 2022 atau 2023.
Kedua, mengenai penerimaan pajak, yang berarti rasio pajaknya harus dinaikkan salah satunya berupa peningkatan kepatuhan pajak.
Ketiga adalah mengenai insentif pajak, menurut Bhima, sebaiknya dihentikan khususnya pada sektor-sektor yang telah diberi stimulus, namun belum efektif.
Keempat yaitu mempersempit ruang perilaku koruptif dalam penegakan aturan perpajakan karena hal ini dapat merugikan penerimaan pajak.
"Itu juga merugikan penerimaan pajak yang ujungnya beban antara penambahan utang dengan kewajiban pembayaran utangnya menjadi semakin berat," tegasnya.
Terakhir yakni pemerintah dapat melakukan penghematan secara lebih ketat terhadap belanja-belanja yang bersifat birokratis seperti belanja pegawai dan belanja barang.
"Belanja yang tidak urgent seperti perjalanan dinas bisa dipangkas karena ruang fiskal itu juga harus dijaga agar masih tetap bisa melakukan belanja-belanja lain yang lebih urgent," ujarnya.
Bhima menjelaskan permasalahan dalam pengelolaan utang selama ini bukan mengenai penambahan jumlahnya melainkan terkait produktivitas dari utang itu untuk menghasilkan valuta asing (valas) yang lebih besar.
"Apalagi, utangnya diterbitkan dalam bentuk utang luar negeri maka utang luar negeri harus dibayar dengan dolar dengan valas," katanya.
Oleh sebab itu, ia mengatakan seharusnya pemerintah lebih bisa mendorong sektor-sektor penghasil valas seperti ekspor dan devisa dari tenaga kerja.
"Itu yang seharusnya didorong sekarang. Jadi, selama ini, itu yang menjadi masalah," ujarnya.