Jakarta (ANTARA) - Industri daur ulang dalam negeri yang jumlahnya sekitar 1.000 perusahaan dengan nilai investasi Rp5,15 triliun saat ini mampu mengelola 2 juta ton limbah plastik dari 6,8 juta ton sampah plastik yang dicatat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang ada di Indonesia.
"Jadi yang baru terkelola dengan baik sekitar dua juta ton, sisanya sebanyak empat juta ton ini tentunya membutuhkan investasi untuk dapat dikelola," kata Kepala Pusat Industri Hijau Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri Kementerian Perindustrian R Hendro Martono saat Pelatihan Jurnalis Greenaration Foundation secara virtual di Jakarta, Senin.
Investasi tersebut juga dibutuhkan untuk mengurangi sampah plastik yang masuk ke dalam laut.
Dia mengatakan, industri daur ulang di Indonesia masih memiliki peluang besar yang mampu menyerap tenaga kerja hingga 3,3 juta orang.
Menurut dia, selain daur ulang plastik, terdapat beberapa komoditi lain yang potensial untuk dikembangkan di dalam negeri, di antaranya daur ulang kertas, tekstil, hingga besi baja.
Namun demikian, lanjutnya, dalam mengembangkan pengelolaan sampah dan menerapkan ekonomi sirkular, terdapat berbagai tantangan yang dihadapi.
"Pertama adalah kesadaran konsumen untuk bijak menggunakan barang konsumsi dan bijak dalam membuang sampah atau limbah dari produk bekas pakai," ujar Hendro.
Kedua yakni pemilahan, pengumpulan, serta pengangkutan sampah yang dapat didaur ulang, di mana seharusnya dibuat sistem terpadu yang harus dilaksanakan secara menyeluruh, sehingga sampah atau limbah laik untuk didaur ulang dan aman bagi lingkungan.
Berikutnya adalah, perizinan pemanfaatan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) yang memiliki potensi dimanfaatkan sebagai subtitusi material atau energi.
"Dalam hal ini, proses perizinan agar dapat dilakukan lebih cepat dan diberikan kemudahan sehingga dapat mengurangi penumpukan atau penimbunan B3 terlalu lama," ujarnya.
Selanjutnya yakni sektor informal yang perlu ditata dengan sistem pengumpulan yang lebih baik dan diberikan edukasi agar pemilahan dan pengumpulan sampah dilakukan secara aman bagi pelaku dan lingkungan.
Tantangan selanjutnya, ketersediaan sampah atau limbah sebagai bahan baku yang laik daur ulang belum memenuhi kebutuhan industri daur ulang.
"Sehingga masih dibutuhkan importasi untuk bahan baku non B3 dalam bentuk scrap," katanya.
Terakhir yakni belum tersedianya kelengkapan dan akurasi data limbah, seperti jumlah dan lokasi yang terekam secara menyeluruh, serta masih bersifat parsial atau sektoral.
Dalam hal tersebut, Kemenperin melakukan beberapa kegiatan dalam mendukung pengelolaan sampah dan ekonomi sirkular seperti pada perusahaan industri atau kawasan industri, serta membantu pengelolaan sampah domestik.
Di antaranya adalah mendorong industri hulu untuk memproduksi bahan polimer plastik yang mudah terurai dan dapat didaur ulang.
Kemudian, mendorong pertumbuhan industri daur ulang dan produk daur ulang, bimbingan teknis sampah plastik sebagai bahan baku daur ulang, penyediaan mesin pendaur ulang sampah yg saat ini sudah dilakukan di enam lokasi.
Selanjutnya, pengembangan sampah "waste to energy", pedoman pengelolaan sampah kemasan, limbah elektronik dan daur ulang plastik sektor industri, penyusunan skema pengelolaan di sektor industri, serta penyusunan kajian dan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk eco-packaging, eco-industry, dan penyusunan peta jalan ekonomi sirkular pada industri.
"Untuk mempercepat pengelolaan sampah dalam pengembangan industri hijau, maka dibutuhkan insentif agar banyak industri yang terdorong untuk berpartisipasi. Saat ini kemenperin sedang menyusun mekanisme fasilitasi insentif untuk industri hijau," ujarnya.