Jakarta (ANTARA) - Indonesia melalui beragam pihak terkait dinilai perlu fokus untuk mengembangkan usaha domestik dalam rangka mengolah minyak jelantah atau minyak goreng bekas pakai karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi serta selaras dengan penerapan konsep energi terbarukan.
"Penggunaan biodiesel dari minyak jelantah ini akan menekan jumlah emisi karbon. Di samping itu, jika memanfaatkan jelantah, kita tak perlu mengganti hutan dengan perkebunan kelapa sawit, yang justru berpotensi meningkatkan emisi karbon,” kata Manajer lembaga riset independen Traction Energy Asia Ricky Amukti, dalam rilis di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, usaha pengolahan minyak jelantah memiliki peluang yang sangat besar untuk berkembang antara lain karena banyak minyak goreng yang digunakan di kaki lima yang kerap sudah melalui pemanasan berulang.
Selain itu, ia berpendapat bahwa belum banyak orang yang memanfaatkan limbah dapur minyak jelantah ini untuk industri biodiesel. Padahal, bahan bakar biodiesel dari minyak jelantah dinilai bisa mengatasi masalah dari berbagai aspek, termasuk kesehatan dan masalah lingkungan hidup.
"Minyak jelantah yang dibuang sembarangan akan berpengaruh langsung terhadap lingkungan hidup. Jika menumpuk di selokan, akan menimbulkan bau dan air selokan jadi kotor. Jika terserap di tanah, kualitas tanah akan menurun," paparnya.
Traction Energy Asia sendiri telah menginisiasi Asosiasi Pengelola Minyak Jelantah, yang bertujuan agar advokasi kebijakan terkait minyak jelantah dapat diatur oleh regulasi.
Namun, Ricky mengemukakan bahwa meski amat menjanjikan, bisnis pengolahan jelantah jadi biodiesel masih memiliki banyak tantangan, antara lain dalam teknologi pengolahan dan proses pengumpulan minyak jelantah.
Ricky mengingatkan sejumlah pengusaha biodiesel di berbagai kota mempekerjakan masyarakat lokal untuk mengolah dan menjual produk olahan jelantah, sehingga ia melihat bahwa usaha ini mampu menyerap banyak tenaga kerja di berbagai daerah.
Salah seorang pengusaha yang memanfaatkan minyak jelantah untuk produksi biodiesel adalah Andi Hilmi, yang sudah memiliki usaha biodiesel bersala industri.
Andi terpikir untuk membuat biodiesel dari minyak jelantah karena melihat ketika itu terjadi kelangkaan BBM yang hampir merata di Indonesia. Bahkan di daerahnya di Sulawesi Selatan, ia menemui banyak nelayan tak bisa melaut, karena tak kebagian bahan bakar.
"Saya berusaha mencari pengganti energi terbarukan agar bisa digunakan oleh para nelayan. Prinsip saya, karya yang kita buat harus sesuai dengan kebutuhan pada saat itu. Ketika itu, biodiesel bisa menjawab masalah kelangkaan bahan bakar yang mengancam kedaulatan energi di masa mendatang,” kata Andi.
Sementara itu, Analis Kebijakan Ahli Muda Subkoordinator Keteknikan Bioenergi Kementerian ESDM Hudha Wijayanto menyatakan, untuk bisa berkontribusi dalam program B30 (30 persen biodiesel tercampur dalam BBM), ada dua prinsip yang perlu dipenuhi oleh biodiesel.
"Pertama, secara kualitas harus mencapai standar spesifikasi biodesel. Kedua, secara keekonomian juga harus dapat terimplementasi. Jika kedua prinsip tersebut bisa dipenuhi oleh biodiesel dari jelantah, maka potensi jelantah sebesar 3 juta kiloliter per tahun akan dapat memenuhi 32 persen kebutuhan biodiesel nasional,” kata Hudha Wijayanto.
Tantangan lain, menurut Hudha, dari sisi teknis terdapat karakteristik bawaan dari minyak jelantah yang akan sulit memenuhi tuntutan tinggi kualitas biodiesel untuk B30.
Sedangkan dari dari sisi bisnis, lanjutnya, keberadaan minyak jelantah sebagai bahan baku yang tersebar dan tidak terpusat akan menyulitkan membangun pengolahan biodiesel dengan kapasitas yang besar untuk mendapatkan skala keekonomian terbaiknya.
"Jadi mungkin solusi yang baik adalah bagaimana mendorong pemanfaatan bahan bakar nabati dari minyak jelantah melalui skema niaga langsung ke end user (skema tertutup) di luar dari skema B30 yang berlaku secara nasional," paparnya.
"Penggunaan biodiesel dari minyak jelantah ini akan menekan jumlah emisi karbon. Di samping itu, jika memanfaatkan jelantah, kita tak perlu mengganti hutan dengan perkebunan kelapa sawit, yang justru berpotensi meningkatkan emisi karbon,” kata Manajer lembaga riset independen Traction Energy Asia Ricky Amukti, dalam rilis di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, usaha pengolahan minyak jelantah memiliki peluang yang sangat besar untuk berkembang antara lain karena banyak minyak goreng yang digunakan di kaki lima yang kerap sudah melalui pemanasan berulang.
Selain itu, ia berpendapat bahwa belum banyak orang yang memanfaatkan limbah dapur minyak jelantah ini untuk industri biodiesel. Padahal, bahan bakar biodiesel dari minyak jelantah dinilai bisa mengatasi masalah dari berbagai aspek, termasuk kesehatan dan masalah lingkungan hidup.
"Minyak jelantah yang dibuang sembarangan akan berpengaruh langsung terhadap lingkungan hidup. Jika menumpuk di selokan, akan menimbulkan bau dan air selokan jadi kotor. Jika terserap di tanah, kualitas tanah akan menurun," paparnya.
Traction Energy Asia sendiri telah menginisiasi Asosiasi Pengelola Minyak Jelantah, yang bertujuan agar advokasi kebijakan terkait minyak jelantah dapat diatur oleh regulasi.
Namun, Ricky mengemukakan bahwa meski amat menjanjikan, bisnis pengolahan jelantah jadi biodiesel masih memiliki banyak tantangan, antara lain dalam teknologi pengolahan dan proses pengumpulan minyak jelantah.
Ricky mengingatkan sejumlah pengusaha biodiesel di berbagai kota mempekerjakan masyarakat lokal untuk mengolah dan menjual produk olahan jelantah, sehingga ia melihat bahwa usaha ini mampu menyerap banyak tenaga kerja di berbagai daerah.
Salah seorang pengusaha yang memanfaatkan minyak jelantah untuk produksi biodiesel adalah Andi Hilmi, yang sudah memiliki usaha biodiesel bersala industri.
Andi terpikir untuk membuat biodiesel dari minyak jelantah karena melihat ketika itu terjadi kelangkaan BBM yang hampir merata di Indonesia. Bahkan di daerahnya di Sulawesi Selatan, ia menemui banyak nelayan tak bisa melaut, karena tak kebagian bahan bakar.
"Saya berusaha mencari pengganti energi terbarukan agar bisa digunakan oleh para nelayan. Prinsip saya, karya yang kita buat harus sesuai dengan kebutuhan pada saat itu. Ketika itu, biodiesel bisa menjawab masalah kelangkaan bahan bakar yang mengancam kedaulatan energi di masa mendatang,” kata Andi.
Sementara itu, Analis Kebijakan Ahli Muda Subkoordinator Keteknikan Bioenergi Kementerian ESDM Hudha Wijayanto menyatakan, untuk bisa berkontribusi dalam program B30 (30 persen biodiesel tercampur dalam BBM), ada dua prinsip yang perlu dipenuhi oleh biodiesel.
"Pertama, secara kualitas harus mencapai standar spesifikasi biodesel. Kedua, secara keekonomian juga harus dapat terimplementasi. Jika kedua prinsip tersebut bisa dipenuhi oleh biodiesel dari jelantah, maka potensi jelantah sebesar 3 juta kiloliter per tahun akan dapat memenuhi 32 persen kebutuhan biodiesel nasional,” kata Hudha Wijayanto.
Tantangan lain, menurut Hudha, dari sisi teknis terdapat karakteristik bawaan dari minyak jelantah yang akan sulit memenuhi tuntutan tinggi kualitas biodiesel untuk B30.
Sedangkan dari dari sisi bisnis, lanjutnya, keberadaan minyak jelantah sebagai bahan baku yang tersebar dan tidak terpusat akan menyulitkan membangun pengolahan biodiesel dengan kapasitas yang besar untuk mendapatkan skala keekonomian terbaiknya.
"Jadi mungkin solusi yang baik adalah bagaimana mendorong pemanfaatan bahan bakar nabati dari minyak jelantah melalui skema niaga langsung ke end user (skema tertutup) di luar dari skema B30 yang berlaku secara nasional," paparnya.