Jakarta (ANTARA) - Adagium "mata ganti mata, gigi ganti gigi" kerap diartikan sebagai prinsip untuk menghukum seseorang yang melukai orang lain sesuai dengan perbuatan orang tersebut kepada orang yang dilukainya.
Dengan demikian, ganti rugi yang diterima korban setimpal dengan kehilangan yang dialami, tidak lebih, tidak kurang.
Kejahatan korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena merupakan kejahatan kerah putih, berbentuk kejahatan terorganisasi, dan menggunakan modus operandi yang canggih sehingga sulit pembuktiannya.
Maka, untuk memberantas korupsi tidak cukup menggunakan metode konvensional, tetapi menggunakan cara-cara luar biasa, termasuk bentuk sanksi pidananya.
Sebagian pelaku korupsi memang berhasil dipenjarakan tetapi sebagian lagi masih bisa lolos sehingga hukuman fisik berupa penjara dinilai tidak memberikan efek jera bagi para koruptor. Perampasan aset koruptor pun menjadi salah satu solusi untuk memberikan efek jera sekaligus mencegah potensi perbuatan korupsi.
Refki Saputra dalam tulisannya Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam RUU Perampasan Aset di Indonesia (2017) menyatakan penegak hukum mencari metode lain untuk mengejar pelaku kejahatan, yakni mengarah pada hasil kejahatan (going for the money) dalam hal ini dengan memotong langsung pada pusat kejahatannya (head of the serpent) menggunakan konsep perampasan secara pidana dan perdata sebagai langkah awal.
Paradigma penegakan hukum pun tidak lagi sebatas pada pengejaran pelaku, tetapi juga melalui pengejaran terhadap "keuntungan" ilegalnya (confiscate illgotten gains).
Model pengejaran terhadap keuntungan ilegal tersebut pun telah diformalkan dalam ketentuan United Nations Convenant Againts Corruption (UNCAC) tahun 2003 yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
UNCAC mengatur soal Non-Conviction Based Asset Forfeiture alias perampasan aset pelaku kejahatan tanpa melalui prosedur hukum pidana. Konsep dasar perampasan aset ini adalah merampas harta kekayaan koruptor meski para koruptor dinyatakan bebas oleh pengadilan. Mereka bebas karena tidak terbukti atau meninggal saat persidangan belum selesai atau belum memiliki putusan pengadilan berkekuatan hukum atau terdakwa melarikan diri.
Konstruksi hukum yang digunakan adalah menggugat aset/harta yang diperoleh secara hukum tercemar (legally tainted) karena terdakwa dalam sidang tidak dapat membuktikan yang bersangkutan telah memiliki harta tersebut secara sah menurut hukum sehingga diduga kuat aset tersebut berasal dari kejahatan korupsi.
Koruptor, bahkan seandainya bebas, meninggal atau melarikan diri harus dianggap memiliki aset tercemar dan telah memperkaya diri secara haram (illicit enrichment).
Kebutuhan untuk merampas aset tercemar itu setidaknya tampak dalam rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai vonis perkara korupsi sepanjang 2020.
Dari 1.218 perkara yang disidangkan di pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung, total terdakwa sebanyak 1.298 orang dengan kerugian negara senilai Rp56,739 triliun.
Namun, berdasarkan pemantauan, uang pengganti yang dikabulkan oleh majelis hakim sekitar Rp8,978 triliun. Praktis pemulihan kerugian keuangan negara baru mencapai 12 persen dari total kerugian negara secara keseluruhan. Jumlah itu pun belum sepenuhnya dikatakan pemulihan sebab masih menanti eksekusi penuntut umum atas putusan-putusan persidangan tersebut.
Jumlah denda sepanjang 2020 mencapai Rp156 miliar. Jika dirata-rata, setiap perkara dikenai denda sebesar Rp131,28 juta sehingga tampak nyata pengembalian aset sama sekali tidak seimbang dengan kerugian negara yang ditimbulkan dari kejahatan korupsi.
Maka, untuk mewujudkan pengembalian kerugian negara tersebut, produk hukum disusun dalam bentuk Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perampasan Aset yang sudah diusulkan ke DPR sejak 2012 melalui pembuatan naskah akademis.
Setidaknya tiga hal yang sangat berbeda dalam RUU Perampasan Aset dibanding dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau undang-undang lainnya.
Perbedaan pertama adalah pihak yang didakwa dalam suatu tindak pidana, tidak saja subjek hukum sebagai pelaku kejahatan, tetapi aset yang diperoleh dari kejahatan.
Kedua, mekanisme peradilan terhadap tindak pidana yang digunakan adalah mekanisme peradilan perdata.
Ketiga, terhadap putusan pengadilan tidak dikenai sanksi pidana sebagaimana yang dikenai terhadap pelaku kejahatan lainnya.
Ketiga perbedaan itu diterapkan karena memang RUU Perampasan Aset ditujukan untuk mengejar aset hasil kejahatan, bukan terhadap pelaku kejahatan.
RUU Perampasan Aset ini telah mengubah paradigma dari hukum pidana mulai dari yang paling tradisional, yakni untuk menimbulkan efek jera dengan suatu pembalasan (retributionist), menjadi yang paling mutakhir yakni rehabilitasi.
Semangat yang diusung dalam RUU tersebut adalah untuk mengungkap hubungan aset dengan tindak pidana, bukan hubungan aset dengan pelaku.
Aset yang diduga berasal dari tindak pidana, sepanjang tidak ada pihak yang membuktikan sebaliknya. Maka, pengadilan dapat memutus bahwa aset tersebut "tercemar" dan dapat dirampas oleh Negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
Hal tersebut termuat dalam RUU Perampasan Aset Pasal 3 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap orang yang memiliki aset yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau yang tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaannya dan tidak dapat membuktikan asal usul perolehannya secara sah maka aset tersebut dapat dirampas berdasarkan undang-undang ini.
Dalam Ayat (2) disebutkan bahwa aset yang tidak seimbang sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan aset tidak wajar yang dihitung melalui total kekayaan dikurangi penghasilan yang diperoleh secara sah.
Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M. Yusuf (2013) dalam bukunya Merampas Aset Koruptor: Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia mengatakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran dalam perampasan aset, penuntut umum harus terlebih dahulu memiliki dugaan kuat (probable cause) adanya kayakinan bahwa aset tersangka/terdakwa diperoleh secara melanggar hukum. Penuntut umum harus terlebih dahulu memiliki bukti bahwa seorang memiliki kekayaan transaksi keuangan di luar kewajaran.
Hal tersebut pun termuat dalam Pasal 2 RUU Perampasan Aset yaitu:
(1) Aset yang dapat dirampas berdasarkan UU ini adalah:
a. Aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau Korporasi baik berupa modal, pendapatan, maupun keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut;
b. Aset yang diduga kuat digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana;
c. Aset lainnya yang sah sebagai pengganti Aset Tindak Pidana; atau
d. Aset yang merupakan barang temuan yang diduga berasal dari
tindak pidana.
Nilai aset diatur bernilai paling sedikit Rp100 juta (Pasal 2 Ayat 1) atau aset yang berasal dari tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih.
Perkembangan Saat Ini
Namun, sejak diinisiasi pada tahun 2012, RUU Perampasan Aset masih berada pada tataran wacana atau angan-angan karena tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 yang telah ditetapkan DPR.
Kepala PPATK Dian Ediana Rae dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR pada hari Rabu (24/3) meminta dukungan Komisi III DPR agar mengesahkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal karena sudah selesai dibahas di tingkat pemerintah.
Dian yakin kedua RUU tersebut bisa mengoptimalkan pengembalian uang negara dari tindak pidana korupsi, narkoba, perpajakan, kepabeanan, cukai, dan motif ekonomi lain.
Tanpa kedua RUU tersebut, menurut Dian, Indonesia memiliki kekosongan hukum yang sering digunakan dan dimanfaatkan para pelaku untuk menyembunyikan dan menyamarkan tindak pidana lalu dinikmati kembali ketika selesai menjalani masa hukuman.
Selain itu, ketiadaan efek jera bagi pelaku tindak ekonomi akan memberikan contoh pada calon pelaku lainnya dan menunjukkan bahwa kekayaan negara mudah dicuri dan digunakan untuk memperkaya diri sendiri serta golongan.
"Kedua RUU ini memang belum masuk Prolegnas Prioritas 2021. Namun, keduanya sudah menjadi janji Presiden Jokowi pada Nawacita 2014 dan 2019 serta RPJMN 2020—2024. Presiden Jokowi, Menkopolhukam, Mensekneg, dan Menkumham sudah setuju kedua RUU tersebut," kata Dian.
Akan tetapi, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Willy Aditya mengatakan bahwa Prolegnas Prioritas 2021 masih belum "diketok palu" pimpinan DPR sehingga tinggal pemerintah dan DPR mengadakan rapat kerja untuk beberapa perubahan daftar prolegnas prioritas, termasuk memasukkan RUU Perampasan Aset.
Willy menilai RUU tersebut kalau disahkan menjadi UU, akan menjadi alternatif terobosan menekan angka kejahatan dengan tujuan memperkaya diri, kerabat, dan institusi.
Menurut Willy, Indonesia membutuhkan RUU ini untuk dapat menarik kembali hasil-hasil kejahatan agar rasa keadilan di publik juga terwujud.
Willy mengatakan bahwa wacana RUU Perampasan Aset Pidana sebenarnya sejak zaman Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah ramai di publik dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sudah merampungkan naskah akademik atas RUU tersebut sejak 2012. Namun, terus-menerus mengalami penundaan untuk diajukan ke DPR.
"Entah mengapa RUU ini terus-menerus mengalami penundaan walaupun tahun 2016 yang lalu sempat hampir dibahas. DPR tentu akan sangat menerima secara baik Surat Presiden atas pengusulan RUU tersebut secara formal," ujarnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan bahwa bila RUU Perampasan Aset disahkan metode pembuktian kejahatan korupsi dapat lebih sederhana.
"Tidak lagi menganut model hukum pidana, tetapi berpindah pada ranah perdata. Terlebih lagi, langkah hukum penyitaan tidak harus memikirkan kesalahan pelaku, akan tetapi, sepanjang penegak hukum meyakini aset itu tercemar akibat praktik korupsi, seketika dapat disita dan disidangkan, kemudian dapat dirampas oleh Negara," kata Kurnia.
Menurut Kurnia, data ICW pada pemantauan persidangan perkara korupsi selama 2020 membuktikan bahwa mengedepankan pendekatan hukum pidana tidak menyelesaikan persoalan pemulihan kerugian keuangan negara.
Selain prosesnya panjang, pembuktiannya sulit, putusan hakim juga tidak kunjung mengakomodasi pengenaan pidana tambahan uang pengganti yang maksimal. Jika terus-menerus seperti ini, dalam konteks ekonomi, Indonesia akan selalu rugi dalam menangani perkara korupsi.
Akhirnya, perampasan aset dan pemidanaan pelaku korupsi tidak layak dipertentangkan.
Perampasan tersebut tidak dapat memotong (bypass) semua proses hukum pidana yang harus dikenakan kepada seorang pelaku kejahatan. Kecuali apabila keadaan-keadaan yang tidak memungkinkan untuk menggunakan jalur pidana seperti meninggal, melarikan diri, sakit permanen, tidak diketahui keberadaannya atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum, tentu lebih baik bila pendekatan perampasan pidana dan perampasan aset dilakukan bersamaan.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan mengesahkan RUU Perampasan Aset secepatnya.
Dengan demikian, ganti rugi yang diterima korban setimpal dengan kehilangan yang dialami, tidak lebih, tidak kurang.
Kejahatan korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena merupakan kejahatan kerah putih, berbentuk kejahatan terorganisasi, dan menggunakan modus operandi yang canggih sehingga sulit pembuktiannya.
Maka, untuk memberantas korupsi tidak cukup menggunakan metode konvensional, tetapi menggunakan cara-cara luar biasa, termasuk bentuk sanksi pidananya.
Sebagian pelaku korupsi memang berhasil dipenjarakan tetapi sebagian lagi masih bisa lolos sehingga hukuman fisik berupa penjara dinilai tidak memberikan efek jera bagi para koruptor. Perampasan aset koruptor pun menjadi salah satu solusi untuk memberikan efek jera sekaligus mencegah potensi perbuatan korupsi.
Refki Saputra dalam tulisannya Tantangan Penerapan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam RUU Perampasan Aset di Indonesia (2017) menyatakan penegak hukum mencari metode lain untuk mengejar pelaku kejahatan, yakni mengarah pada hasil kejahatan (going for the money) dalam hal ini dengan memotong langsung pada pusat kejahatannya (head of the serpent) menggunakan konsep perampasan secara pidana dan perdata sebagai langkah awal.
Paradigma penegakan hukum pun tidak lagi sebatas pada pengejaran pelaku, tetapi juga melalui pengejaran terhadap "keuntungan" ilegalnya (confiscate illgotten gains).
Model pengejaran terhadap keuntungan ilegal tersebut pun telah diformalkan dalam ketentuan United Nations Convenant Againts Corruption (UNCAC) tahun 2003 yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
UNCAC mengatur soal Non-Conviction Based Asset Forfeiture alias perampasan aset pelaku kejahatan tanpa melalui prosedur hukum pidana. Konsep dasar perampasan aset ini adalah merampas harta kekayaan koruptor meski para koruptor dinyatakan bebas oleh pengadilan. Mereka bebas karena tidak terbukti atau meninggal saat persidangan belum selesai atau belum memiliki putusan pengadilan berkekuatan hukum atau terdakwa melarikan diri.
Konstruksi hukum yang digunakan adalah menggugat aset/harta yang diperoleh secara hukum tercemar (legally tainted) karena terdakwa dalam sidang tidak dapat membuktikan yang bersangkutan telah memiliki harta tersebut secara sah menurut hukum sehingga diduga kuat aset tersebut berasal dari kejahatan korupsi.
Koruptor, bahkan seandainya bebas, meninggal atau melarikan diri harus dianggap memiliki aset tercemar dan telah memperkaya diri secara haram (illicit enrichment).
Kebutuhan untuk merampas aset tercemar itu setidaknya tampak dalam rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai vonis perkara korupsi sepanjang 2020.
Dari 1.218 perkara yang disidangkan di pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung, total terdakwa sebanyak 1.298 orang dengan kerugian negara senilai Rp56,739 triliun.
Namun, berdasarkan pemantauan, uang pengganti yang dikabulkan oleh majelis hakim sekitar Rp8,978 triliun. Praktis pemulihan kerugian keuangan negara baru mencapai 12 persen dari total kerugian negara secara keseluruhan. Jumlah itu pun belum sepenuhnya dikatakan pemulihan sebab masih menanti eksekusi penuntut umum atas putusan-putusan persidangan tersebut.
Jumlah denda sepanjang 2020 mencapai Rp156 miliar. Jika dirata-rata, setiap perkara dikenai denda sebesar Rp131,28 juta sehingga tampak nyata pengembalian aset sama sekali tidak seimbang dengan kerugian negara yang ditimbulkan dari kejahatan korupsi.
Maka, untuk mewujudkan pengembalian kerugian negara tersebut, produk hukum disusun dalam bentuk Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perampasan Aset yang sudah diusulkan ke DPR sejak 2012 melalui pembuatan naskah akademis.
Setidaknya tiga hal yang sangat berbeda dalam RUU Perampasan Aset dibanding dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau undang-undang lainnya.
Perbedaan pertama adalah pihak yang didakwa dalam suatu tindak pidana, tidak saja subjek hukum sebagai pelaku kejahatan, tetapi aset yang diperoleh dari kejahatan.
Kedua, mekanisme peradilan terhadap tindak pidana yang digunakan adalah mekanisme peradilan perdata.
Ketiga, terhadap putusan pengadilan tidak dikenai sanksi pidana sebagaimana yang dikenai terhadap pelaku kejahatan lainnya.
Ketiga perbedaan itu diterapkan karena memang RUU Perampasan Aset ditujukan untuk mengejar aset hasil kejahatan, bukan terhadap pelaku kejahatan.
RUU Perampasan Aset ini telah mengubah paradigma dari hukum pidana mulai dari yang paling tradisional, yakni untuk menimbulkan efek jera dengan suatu pembalasan (retributionist), menjadi yang paling mutakhir yakni rehabilitasi.
Semangat yang diusung dalam RUU tersebut adalah untuk mengungkap hubungan aset dengan tindak pidana, bukan hubungan aset dengan pelaku.
Aset yang diduga berasal dari tindak pidana, sepanjang tidak ada pihak yang membuktikan sebaliknya. Maka, pengadilan dapat memutus bahwa aset tersebut "tercemar" dan dapat dirampas oleh Negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
Hal tersebut termuat dalam RUU Perampasan Aset Pasal 3 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap orang yang memiliki aset yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau yang tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaannya dan tidak dapat membuktikan asal usul perolehannya secara sah maka aset tersebut dapat dirampas berdasarkan undang-undang ini.
Dalam Ayat (2) disebutkan bahwa aset yang tidak seimbang sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan aset tidak wajar yang dihitung melalui total kekayaan dikurangi penghasilan yang diperoleh secara sah.
Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M. Yusuf (2013) dalam bukunya Merampas Aset Koruptor: Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia mengatakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran dalam perampasan aset, penuntut umum harus terlebih dahulu memiliki dugaan kuat (probable cause) adanya kayakinan bahwa aset tersangka/terdakwa diperoleh secara melanggar hukum. Penuntut umum harus terlebih dahulu memiliki bukti bahwa seorang memiliki kekayaan transaksi keuangan di luar kewajaran.
Hal tersebut pun termuat dalam Pasal 2 RUU Perampasan Aset yaitu:
(1) Aset yang dapat dirampas berdasarkan UU ini adalah:
a. Aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau Korporasi baik berupa modal, pendapatan, maupun keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut;
b. Aset yang diduga kuat digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana;
c. Aset lainnya yang sah sebagai pengganti Aset Tindak Pidana; atau
d. Aset yang merupakan barang temuan yang diduga berasal dari
tindak pidana.
Nilai aset diatur bernilai paling sedikit Rp100 juta (Pasal 2 Ayat 1) atau aset yang berasal dari tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih.
Perkembangan Saat Ini
Namun, sejak diinisiasi pada tahun 2012, RUU Perampasan Aset masih berada pada tataran wacana atau angan-angan karena tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 yang telah ditetapkan DPR.
Kepala PPATK Dian Ediana Rae dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR pada hari Rabu (24/3) meminta dukungan Komisi III DPR agar mengesahkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal karena sudah selesai dibahas di tingkat pemerintah.
Dian yakin kedua RUU tersebut bisa mengoptimalkan pengembalian uang negara dari tindak pidana korupsi, narkoba, perpajakan, kepabeanan, cukai, dan motif ekonomi lain.
Tanpa kedua RUU tersebut, menurut Dian, Indonesia memiliki kekosongan hukum yang sering digunakan dan dimanfaatkan para pelaku untuk menyembunyikan dan menyamarkan tindak pidana lalu dinikmati kembali ketika selesai menjalani masa hukuman.
Selain itu, ketiadaan efek jera bagi pelaku tindak ekonomi akan memberikan contoh pada calon pelaku lainnya dan menunjukkan bahwa kekayaan negara mudah dicuri dan digunakan untuk memperkaya diri sendiri serta golongan.
"Kedua RUU ini memang belum masuk Prolegnas Prioritas 2021. Namun, keduanya sudah menjadi janji Presiden Jokowi pada Nawacita 2014 dan 2019 serta RPJMN 2020—2024. Presiden Jokowi, Menkopolhukam, Mensekneg, dan Menkumham sudah setuju kedua RUU tersebut," kata Dian.
Akan tetapi, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Willy Aditya mengatakan bahwa Prolegnas Prioritas 2021 masih belum "diketok palu" pimpinan DPR sehingga tinggal pemerintah dan DPR mengadakan rapat kerja untuk beberapa perubahan daftar prolegnas prioritas, termasuk memasukkan RUU Perampasan Aset.
Willy menilai RUU tersebut kalau disahkan menjadi UU, akan menjadi alternatif terobosan menekan angka kejahatan dengan tujuan memperkaya diri, kerabat, dan institusi.
Menurut Willy, Indonesia membutuhkan RUU ini untuk dapat menarik kembali hasil-hasil kejahatan agar rasa keadilan di publik juga terwujud.
Willy mengatakan bahwa wacana RUU Perampasan Aset Pidana sebenarnya sejak zaman Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah ramai di publik dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sudah merampungkan naskah akademik atas RUU tersebut sejak 2012. Namun, terus-menerus mengalami penundaan untuk diajukan ke DPR.
"Entah mengapa RUU ini terus-menerus mengalami penundaan walaupun tahun 2016 yang lalu sempat hampir dibahas. DPR tentu akan sangat menerima secara baik Surat Presiden atas pengusulan RUU tersebut secara formal," ujarnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan bahwa bila RUU Perampasan Aset disahkan metode pembuktian kejahatan korupsi dapat lebih sederhana.
"Tidak lagi menganut model hukum pidana, tetapi berpindah pada ranah perdata. Terlebih lagi, langkah hukum penyitaan tidak harus memikirkan kesalahan pelaku, akan tetapi, sepanjang penegak hukum meyakini aset itu tercemar akibat praktik korupsi, seketika dapat disita dan disidangkan, kemudian dapat dirampas oleh Negara," kata Kurnia.
Menurut Kurnia, data ICW pada pemantauan persidangan perkara korupsi selama 2020 membuktikan bahwa mengedepankan pendekatan hukum pidana tidak menyelesaikan persoalan pemulihan kerugian keuangan negara.
Selain prosesnya panjang, pembuktiannya sulit, putusan hakim juga tidak kunjung mengakomodasi pengenaan pidana tambahan uang pengganti yang maksimal. Jika terus-menerus seperti ini, dalam konteks ekonomi, Indonesia akan selalu rugi dalam menangani perkara korupsi.
Akhirnya, perampasan aset dan pemidanaan pelaku korupsi tidak layak dipertentangkan.
Perampasan tersebut tidak dapat memotong (bypass) semua proses hukum pidana yang harus dikenakan kepada seorang pelaku kejahatan. Kecuali apabila keadaan-keadaan yang tidak memungkinkan untuk menggunakan jalur pidana seperti meninggal, melarikan diri, sakit permanen, tidak diketahui keberadaannya atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum, tentu lebih baik bila pendekatan perampasan pidana dan perampasan aset dilakukan bersamaan.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan mengesahkan RUU Perampasan Aset secepatnya.