Palembang (ANTARA) - Provinsi Sumatera Selatan mendorong hilirisasi karet dengan menyiapkan dua produk unggulan yakni lateks cair dan kompon karet yang ditargetkan bisa memenuhi pasar dalam negeri hingga luar negeri dalam dua tahun ke depan.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan Rudi Arpian di Palembang, Rabu, mengatakan dua lokasi telah ditetapkan untuk menghasilkan produk hilirisasi itu yakni Kabupaten Musi Banyuasin untuk produk lateks cair dan Kabupaten Banyuasin untuk kompon karet.
“Untuk lateks cair sudah berproduksi di Muba, tinggal kompon karet karena pada 2020 ini pemkab gagal lelang. Tentunya akan dicoba lagi di 2021,” kata Rudi.
Upaya pemerintah provinsi untuk mendorong hilirisasi ini tak lain untuk meningkatkan nilai tambah dari perkebunan karet mengingat selama ini petani hanya menjual dalam bentuk bahan olahan karet (bokar).
Keuntungan yang diterima petani sangat rendah, apalagi di tengah anjloknya harga komoditas karet di pasar internasional. Harga karet dengan kadar kering sekitar 40 persen hanya berkisar Rp6.000—Rp7.000/Kg.
Sementara itu harga lateks cair yang sudah diolah di Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) di tingkat petani mencapai Rp20.000/kg.
“Terdapat selisih yang cukup jauh, tapi saat ini belum banyak petani di Muba yang beralih karena harus mengubah kebiasaan mereka. Petani harus menyadap di pagi hari (shubuh), tidak seperti selama ini,” kata dia.
Sumsel memiliki areal perkebunan karet seluas 1.307.011 hektare dengan produksi setiap tahun hampir 1 juta ton atau berkontribusi besar atas total produksi nasional sebesar 3,7 juta ton/tahun.
Sementara itu Kepala Perwakilan BI Sumsel Harry Widodo mengatakan perlu adanya perbaikan dari sisi hulu untuk peningkatan produktivitas dan peningkatan nilai tambah yang berbasis hilirisasi industri.
Ia mencontohkan, untuk komoditas karet, hilirisasi dapat diwujudkan melalui pembangunan industri ban baru, industri ban vulkanisir dan industri apparel (sarung tangan) hingga aspal karet.
“Namun memang tantangannya ada pada infrastruktur di mana kapasitas pelabuhan eksisting yang terbatas sehingga berdampak pada biaya penanganan yang tinggi,” kata dia.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan Rudi Arpian di Palembang, Rabu, mengatakan dua lokasi telah ditetapkan untuk menghasilkan produk hilirisasi itu yakni Kabupaten Musi Banyuasin untuk produk lateks cair dan Kabupaten Banyuasin untuk kompon karet.
“Untuk lateks cair sudah berproduksi di Muba, tinggal kompon karet karena pada 2020 ini pemkab gagal lelang. Tentunya akan dicoba lagi di 2021,” kata Rudi.
Upaya pemerintah provinsi untuk mendorong hilirisasi ini tak lain untuk meningkatkan nilai tambah dari perkebunan karet mengingat selama ini petani hanya menjual dalam bentuk bahan olahan karet (bokar).
Keuntungan yang diterima petani sangat rendah, apalagi di tengah anjloknya harga komoditas karet di pasar internasional. Harga karet dengan kadar kering sekitar 40 persen hanya berkisar Rp6.000—Rp7.000/Kg.
Sementara itu harga lateks cair yang sudah diolah di Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) di tingkat petani mencapai Rp20.000/kg.
“Terdapat selisih yang cukup jauh, tapi saat ini belum banyak petani di Muba yang beralih karena harus mengubah kebiasaan mereka. Petani harus menyadap di pagi hari (shubuh), tidak seperti selama ini,” kata dia.
Sumsel memiliki areal perkebunan karet seluas 1.307.011 hektare dengan produksi setiap tahun hampir 1 juta ton atau berkontribusi besar atas total produksi nasional sebesar 3,7 juta ton/tahun.
Sementara itu Kepala Perwakilan BI Sumsel Harry Widodo mengatakan perlu adanya perbaikan dari sisi hulu untuk peningkatan produktivitas dan peningkatan nilai tambah yang berbasis hilirisasi industri.
Ia mencontohkan, untuk komoditas karet, hilirisasi dapat diwujudkan melalui pembangunan industri ban baru, industri ban vulkanisir dan industri apparel (sarung tangan) hingga aspal karet.
“Namun memang tantangannya ada pada infrastruktur di mana kapasitas pelabuhan eksisting yang terbatas sehingga berdampak pada biaya penanganan yang tinggi,” kata dia.