Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi-saksi dan Korban (LPSK) berharap kasus eksploitasi anak di bawah umur di Jakarta Utara diproses dengan UU Perlindungan Anak dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sekaligus.
"Jika kasus ini akan diproses berdasarkan UU Pemberantasan TPPO, pihak kepolisian dapat langsung memintakan perlindungan bagi anak korban kepada LPSK," kata Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi-saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo, dalam rilisnya, Sabtu.
Antonius menjelaskan, seandainya diproses menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak, LPSK berharap elemen masyarakat yang peduli dengan perlindungan anak, semisal lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun Lembaga bantuan hukum (LBH) bersedia menjadi pendamping dan memintakan perlindungan ke LPSK.
“Berdasarkan kewenangan yang dimandatkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK juga bisa melakukan tindakan proaktif untuk memberikan perlindungan bagi anak korban,” tegas Antonius.
Tidak itu saja, Antonius melanjutkan, kementerian/lembaga atau satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang memiliki tugas, pokok dan fungsi perlindungan anak, juga dapat mengambil peran sebagai pendamping dan memohonkan perlindungan bagi anak korban ke LPSK.
“Langkah selanjutnya, LPSK akan menggandeng K/L dan SKPD/pemda terkait untuk bersama-sama memberikan perlindungan dan layanan medis, psikologis, psikososial, dan hak lainnya bagi anak korban pelacuran/TPPO itu,” ujar Antonius.
Sebab, lanjut dia, menurut kedua undang-undang itu, baik UU Perlindungan Anak maupun UU Pemberantasan TPPO, pemerintah pusat dan daerah mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab pada masalah perlindungan anak dan penanganan korban.
Selain memproses hukum sindikat perdagangan eksploitasi anak di bawah umur secara seksual dan ekonomi di Penjaringan, Jakarta Utara ini, sebab ada hal lain yang juga tak kalah penting, yaitu perlindungan terhadap anak korban itu sendiri.
Untuk itu, katanya, LPSK mendukung aparat penegak hukum memproses para pelaku perdagangan dan eksploitasi anak di bawah umur.
Dukungan itu termasuk kesiapan LPSK memberikan perlindungan kepada anak korban sesuai Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Menurut Antonius, inti dari kedua pasal tersebut adalah anak korban kekerasan seksual dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berhak atas perlindungan dari LPSK serta dapat mengakses layanan yang disediakan negara melalui LPSK, mulai bantuan medis, rehabilitasi psikologis maupun rehabilitasi psikososial.
Sebagaimana diberitakan banyak media massa, Polda Metro Jaya membekuk enam tersangka sindikat perdagangan dan eksploitasi anak di bawah umur secara seksual dan ekonomi. Mereka diketahui memaksa dan mempekerjakan 10 anak perempuan sebagai pekerja seks komersial (PSK) di Cafe Khayangan, Jalan Rawa Bebek, RT 02/RW 13, Penjaringan, Jakarta Utara. Enam tersangka yang ditangkap masing-masing berperan sebagai pemilik kafe bersama dan mucikari.
"Jika kasus ini akan diproses berdasarkan UU Pemberantasan TPPO, pihak kepolisian dapat langsung memintakan perlindungan bagi anak korban kepada LPSK," kata Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi-saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo, dalam rilisnya, Sabtu.
Antonius menjelaskan, seandainya diproses menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak, LPSK berharap elemen masyarakat yang peduli dengan perlindungan anak, semisal lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun Lembaga bantuan hukum (LBH) bersedia menjadi pendamping dan memintakan perlindungan ke LPSK.
“Berdasarkan kewenangan yang dimandatkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK juga bisa melakukan tindakan proaktif untuk memberikan perlindungan bagi anak korban,” tegas Antonius.
Tidak itu saja, Antonius melanjutkan, kementerian/lembaga atau satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang memiliki tugas, pokok dan fungsi perlindungan anak, juga dapat mengambil peran sebagai pendamping dan memohonkan perlindungan bagi anak korban ke LPSK.
“Langkah selanjutnya, LPSK akan menggandeng K/L dan SKPD/pemda terkait untuk bersama-sama memberikan perlindungan dan layanan medis, psikologis, psikososial, dan hak lainnya bagi anak korban pelacuran/TPPO itu,” ujar Antonius.
Sebab, lanjut dia, menurut kedua undang-undang itu, baik UU Perlindungan Anak maupun UU Pemberantasan TPPO, pemerintah pusat dan daerah mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab pada masalah perlindungan anak dan penanganan korban.
Selain memproses hukum sindikat perdagangan eksploitasi anak di bawah umur secara seksual dan ekonomi di Penjaringan, Jakarta Utara ini, sebab ada hal lain yang juga tak kalah penting, yaitu perlindungan terhadap anak korban itu sendiri.
Untuk itu, katanya, LPSK mendukung aparat penegak hukum memproses para pelaku perdagangan dan eksploitasi anak di bawah umur.
Dukungan itu termasuk kesiapan LPSK memberikan perlindungan kepada anak korban sesuai Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Menurut Antonius, inti dari kedua pasal tersebut adalah anak korban kekerasan seksual dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berhak atas perlindungan dari LPSK serta dapat mengakses layanan yang disediakan negara melalui LPSK, mulai bantuan medis, rehabilitasi psikologis maupun rehabilitasi psikososial.
Sebagaimana diberitakan banyak media massa, Polda Metro Jaya membekuk enam tersangka sindikat perdagangan dan eksploitasi anak di bawah umur secara seksual dan ekonomi. Mereka diketahui memaksa dan mempekerjakan 10 anak perempuan sebagai pekerja seks komersial (PSK) di Cafe Khayangan, Jalan Rawa Bebek, RT 02/RW 13, Penjaringan, Jakarta Utara. Enam tersangka yang ditangkap masing-masing berperan sebagai pemilik kafe bersama dan mucikari.