Palembang (ANTARA) - Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia kini mengubah wajah menatap masa depan demi mencapai cita-cita sebagai pelabuhan berkelas dunia. Wajahnya dipastikan bakal lebih modern seiring dengan perkembangan era digital seperti Pelabuhan Boom Baru Palembang.
Sebuah truk pengangkut peti kemas melintasi gerbang auto gate system Pelabuhan Boom Baru, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (22/11/2019) siang. Namun tak biasanya, saat supir menempel kartu truck identification number (TID), palang pembatasnya tidak langsung terbuka.
Kondisi ini membuat supir itu bingung. Ia pun dipandu petugas untuk memarkir kendaraannya sembari menunggu informasi lanjutan dari pusat pelayanan pelabuhan tersebut.
Setelah dilakukan pengecekan, ternyata perusahaan pemilik barang yang memperkerjakan supir tersebut belum melunasi biaya pelayanan pelabuhannya. Pemasalahan ini diketahui secara realtime karena petugas di auto gate tersebut terhubung langsung dengan pusat data pelayanan Pelabuhan Boom Baru yang dikelola PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II.
Secara otomatis, petugas di pusat kendali pelayanan Pelabuhan Boom Baru menghubungi perusahaan mitra Pelindo II tersebut agar mentransfer dana untuk mengakses kembali pelayanan pelabuhan.
Proses ini dipastikan berlangsung cepat karena setiap pengguna jasa sudah memiliki akun sendiri sehingga setiap pembayaran dapat ditransfer layaknya melakukan “top-up” uang elektronik. Setelah mendapatkan informasi mengenai kondisi ril tersebut, perusahaan yang bersangkutan segera mengisi rekeningnya sehingga kartu TID si supir sudah bisa digunakan kembali kurang dari lima menit.
Supir men-tapping kartu TID untuk melintasi gerbang auto gate di Pelabuhan Boom Baru Palembang, Jumat (22/11/2019). (ANTARA/Dolly Rosana/19)
Saat supir men-tapping kartunya, palang pembatas langsung terbuka secara otomatis tertera di layar informasi mengenai keberadaan peti kemas yang akan diangkutnya, yakni blok dan barisnya. Karena sudah terbiasa, supir langsung membawa kendaraannya ke areal pelabuhan menuju lokasi kontainer.
Jika tidak ada sistem digital ini. Bisa dibayangkan bagaimana mungkin supir itu dapat dengan cepat menemukan lokasi peti kemas yang dimaksud di tengah ribuan yang ada di areal seluas 18 hektare tersebut.
Bukan hanya itu, kehadiran truk pengangkut peti kemas itu pun juga terpantau dari menara pengawas (control tower) yang menjadi pusat pengendalian seluruh aktivitas di pelabuhan tersebut. Aktivitas itu, mulai dari pengaturan kedatangan kapal, kegiatan bongkar muat hingga pendistribusian peti kemas ke truk pengangkut.
Bermodalkan beberapa layar monitor yang terhubung dengan puluhan kamera pengawas, petugas di menara kontrol ini berkomunikasi dengan operator menggunakan radio talkie untuk menurunkan kontainer yang akan diangkut truk tersebut.
Tanpa menunggu lama, kontainer sudah bisa dipindahkan ke truk. Supir pun langsung bergegas menuju pintu auto gate tujuan ke luar. Saat kendaraan tersebut melintasi gerbang, secara otomatis ter-input data mengenai barang dan beratnya ke sistem informasi pelabuhan.
Bukan hanya dari sisi operasional pengangkutan peti kemas oleh truk, pelayanan bongkar muat kapal juga sudah digital di pelabuhan Sungai Musi ini.
Siang itu, sebuah kapal pengangkut bungkil kelapa sawit asal Vietnam sedang bersandar di terminal kargo umum untuk mengisi muatan. Aktivitas ini langsung dipandu oleh petugas di control tower.
Melalui penerapan sistem digital ini, belasan truk berbaris menunggu giliran untuk memindahkan muatannya. Tentunya urutan truk ini sudah diatur secara digital berdasarkan data yang ter-input saat kendaraan melintasi gerbang auto gate.
Perubahan signifikan dari sisi operasional demikian terasa di Pelabuhan Boom Baru sejak mulai penerapan sistem berbasis digital dalam tiga tahun terakhir ini.
Sistem operasional dari manual ke otomatisasi (penggantian tenaga manusia ke tenaga mesin ini) telah mengubah perwajahan kegiatan di pelabuhan jika dibandingkan puluhan tahun lalu.
Jika sebelumnya, operator harus berada di dermaga untuk memastikan kedatangan kapal, saat ini hal itu tidak perlu lagi dilakukan karena sudah ada kamera pengawas yang langsung terhubung ke layar monitor di control tower.
Operator juga tidak perlu lagi menghitung secara manual (tally) jumlah kontainer yang diangkut oleh kapal karena Pelindo sudah menerapkan auto tally system yang terintegrasi dengan Terminal Operation System. Bukan hanya jumlah peti kemasnya, jenis barang juga dapat langsung diketahui.
Bahkan, peti kemas yang mana saja yang harus terhubung ke intansi lain di luar Pelindo pun bisa diketahui secara realtime ketika kedatangan kapal tersebut, semisal ada beberapa kontainer mesti melalui pemeriksaan di Bea Cukai, Balai Karantina dan Imigrasi.
Sistem digital ini tak dibantah membuat proses layanan menjadi lebih cepat di Pelabuhan Boom Baru, apalagi pelabuhan ini juga memutakhirkan peralatannya.
Saat ini ada 2 unit container crane, 4 unit jib crane, 4 unit rel mounted gantry crane, 21 unit forklift, 19 unit head truck, 19 unit chasis, 3 unit side loader, 4 unit reach stacker dan 3 unit weigh bridge.
Dengan menggunakan 2 unit crane berteknologi terbaru ini saja, proses bongkar muat di Pelabuhan Boom Baru dalam beberapa tahun terakhir menjadi lebih cepat, dari semula 15-20 box kontainer per jam menjadi 30-35 box kontainer per jam.
Satu hal lagi yang sangat terasa, di dermaga seluas 18 Ha kini terlihat “sepi”, bisa dikatakan tidak terlihat orang yang berlalu lalang seperti era sebelumnya. Hanya alat-alat berat saja yang bekerja dipandu oleh beberapa orang operator.
Rupanya sejak diterapkan sistem digital di pelabuhan tersebut membuat lokasi menjadi areal steril, yang mana hanya mereka yang berkepentingan saja yang boleh beraktifitas di kawasan tersebut. Contoh nyatanya yakni hanya supir yang dilengkapi kartu TID dan kru pelabuhan dengan kartu pengenal khusus.
Kepala Cabang Samudra Indonesia Palembang, Timur Mahendra yang diwawancarai Jumat (22/11/2019) mengatakan perusahaannya amat merasakan adanya peningkatan pelayanan di Pelabuhan Boom Baru setelah penerapan sistem digital ini.
“Dulu, supir yang kami andalkan untuk cari barang (peti kemas) di pelabuhan. Biasanya dia (supir) akan komunikasi langsung dengan operator, ya seperti mengira-ngira barangnya ada di blok mana. Lucunya, ya kadang mereka (supir, red) juga rebutan minta didahulukan oleh kru pelabuhan,” kata Timur.
Saat ini, sejak penerapan digitalisasi pelabuhan, hal tersebut tidak dijumpai lagi karena data keberadaan kontainer sudah tercatat secara realtime sehingga ketika supir men-tapping kartu TID maka sudah tahu lokasi peti kemasnya. Menurutnya, dengan adanya sistem digital ini dapat meminimalisasi kesalahan angkut barang.
Oleh karena itu, ia tak menyangkal peningkatan infrastruktur teknologi informatika oleh operator pelabuhan Boom Baru, Pelindo II ini telah berdampak positif pada bisnis pelayaran dan angkutan barang perusahaannya.
Meski tidak memiliki hitungan pasti, Timur mengambil salah satu parameter yakni semakin berkurangnya penumpukan kontainer milik perusahaannya di pelabuhan tersebut.
Menurutnya, ini sangat baik, mengingat biaya penumpukan dihitung Rp40.000 per hari setelah lewat satu masa di storage pelabuhan (1-5 hari) sejak barang tiba. Apalagi biaya ini akan terus bertambah jika kontainer terpaksa lebih lama menginap karena Pelindo II menerapkan aturan progresif.
“Kapal kami biasanya terdiri dari 300 box, yang lewat masa paling hanya 30-50 box saja. Tapi ini juga tidak bisa dikatakan karena Pelindo, karena box yang lewat masa ini biasanya terkait juga dengan intansi lain seperti Bea Cukai dan Balai Karantina,” kata dia.
Kehadiran sistem digital ini juga sangat terasa dari sisi pembayaran jasa pelabuhan. Jika sebelumnya, Timur harus membawa uang tunai dengan nominal cukup besar, kini cukup menggunakan kartu uang elektronik yang digesek ke mesin Elektronic Data Capture (EDC) seperti layaknya membeli barang di mal.
Ini dapat dilakukan karena pembayaran sudah dilakukan sebelumnya secara online, yang mana estimasi biaya sudah diberitahukan setelah pengajuan permohonan pelayanan ke Pelindo melalui surat elektronik.
Timur mengakui sebelumnya terasa ribet karena setelah menyetor secara tunai maka harus menunjukkan bukti setor atau kwitansi terlebih dahulu ke loket untuk mendapatkan jasa pelayanan. Belum lagi dokumen-dokumen kepelabuhan, yang terkadang pengurusan dilakukan pada pagi hari, dan baru selesai pada siang harinya.
“Saat ini semuanya serba online mulai dari pengurusan dokumen hingga pembayaran, tidak perlu tatap muka lagi. Tentunya kami sangat merasakan manfaatnya,” kata dia.
Era Digital
Penerapan digitalisasi pelabuhan ini menjadi keharusan pada era masa kini mengingat proses bisnis sudah beralih dari manual ke digital seiring dengan kemajuan teknologi. Mulai dari, adanya teknologi robotic, kecerdasan buatan (artficial intelligence) dan pemanfatan volume data yang besar untuk kepentingan bisnis (big data).
Aktivitas di ruang kendali Control Tower Pelabuhan Boom Baru Palembang, Jumat (22/11/2019). (ANTARA/Dolly Rosana/19)
Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau IPC, Elvyn G Masassya mengatakan hal serupa juga harus berlaku di pelabuhan, yang mana bisnis jasa ini tidak bisa lagi menerapkan cara-cara lama atau harus bertransformasi dari manual ke digital.
Keharusan ini juga didukung oleh fakta bahwa saat ini pelabuhan di dunia juga sudah bertransformasi mengingat mitra-mitra mereka juga menggunakan kapal-kapal berukuran besar yang pengoperasiannya secara digital.
Upaya ini tak lain karena IPC sejatinya akan bertransformasi menjadi Digital Port, yakni transformasi dari terminal operators menjadi trade facilitator.
Implementasi digital port terus dikembangkan, di mana digitalisasi yang dilakukan mencakup kegiatan di sisi laut maupun darat atau yang disebut Front-End yang terintegrasi dengan Back-End menggunakan Entreprise Resources Planning (ERP).
Transformasi digital di IPC ini meliputi enam pilar e-channel. Terdiri dari e-Registration, e-Booking, e-Tracking, e-Payment, e-Billing dan terakhir e-Care dengan mengalokasikan senilai Rp1 triliun hingga 2020.
Namun, semua itu dilakukan secara bertahap, dengan harapan Digital Port ini akan sempurna pada 2024.
“Dulu kapal datang antre lama, supaya tidak ngantre ya disiapkan proses digitalnya. Melalui sistem ini maka sudah tahu kapan kapal itu datang, apa yang dibawa, sehingga bisa diatur sedemikian rupa agar cepat,” kata dia.
Bagi Elvyn, peralihan sistem ke digital ini menjadi keniscayaan yang harus dilakukan Pelindo, apalagi perusahaan memiliki cita-cita besar yakni menjadikan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia berkelas dunia, artinya harus unggul dari sisi operasional dan pelayanan.
Namun untuk mencapai proses ini dibutuhkan kerja keras karena peralihan dari operator manusia ke robotic ini sama artinya dengan perubahan budaya kerja.
Terkait ini, perusahaan memberikan pelatihan secara bertahap ke karyawan. Proses ini dilakukan perusahaan tanpa ada pengurangan SDM karena yang dilakukan adalah pengalihan jenis pekerjaan, malahan perusahaan membutuhkan tenaga kerja baru yang ahli di bidang tersebut.
Untuk mencapai target sebagai operator pelabuhan berkelas dunia itu, Elvyn tak menyangkal terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi Pelindo, di antaranya menyamakan pemikiran bahwa sejatinya Indonesia itu mampu.
Selain itu, lantaran melakukan perubahan tentunya banyak pihak yang merasa tidak nyaman. Pelindo yang berhubungan dengan sejumlah stakeholder yakni pelanggan, regulator (pemerintah) dan masyarakat harus memberikan pemahaman mengenai cita-cita besar ini.
“Namun, saya optimistis visi besar itu bisa dicapai pada 2020, apalagi dengan aset karyawan berstatus milenial yang mencapai 45,6 persen, mereka sangat kreatif dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi,” kata dia.
Yang terpenting menurut Elvyn, tetap harus menyadari bahwa pelabuhan ini merupakan jasa, sehingga parameter dan indikatornya tetap sama seperti jasa-jasa lain yang membutuhkan kreatifitas dan inovasi.
Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau IPC, Elvyn G Masassya (kanan) menandatangani nota kesepahaman dengan Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengenai rencana pengelolaan pelabuhan laut dalam Tanjung Carat di Palembang, (16/3/2019)
Pertama, speed yakni bagaimana agar kapal tidak antre, dan bongkar muat tidak lama. Kedua, phisical presence yakni infrastruktur harus bagus, kedalaman laut harus sesuai agar kapal tidak kandas, dermaga harus besar dan modern. Ketiga, friendly, seperti layaknya bisnis jasa maka konsumen harus dilayani oleh petugas dengan ramah. Keempat, cost yakni bagaimana caranya agar ongkos di pelabuhan itu tidak boleh mahal sehingga pelabuhan di Indonesia bisa kompetitif.
“Tapi yang paling penting apapun itu, jika menyangkut bidang jasa maka harus sejalan dengan manajemen. Industri itu boleh berbeda tapi manajemen itu sama, yakni bagaimana mengelola secara korporasi, secara holistik dengan pendekatan manajemen,” kata dia.
Dan kedua, komunikasi harus baik terutama ke stakeholder, seperti ke pelanggan, pemerintah selaku regulator, masyarakat, dan konsumen dan internal perusahaan.
Hingga kuartal ketiga 2019, IPC mencatat laba perusahaan senilai Rp2,21 triliun. Angka ini naik 18,38 persen dibandingkan dengan capaian kuartal ketiga 2018. Sementara, pendapatan usaha mencapai Rp8,56 triliun, naik sebesar 2,41 persen dibandingkan capaian periode yang sama tahun 2018.
Dilihat dari sisi kinerja operasional, trafik arus peti kemas hingga kuartal ketiga tercatat sebesar 5,62 juta TEUs. Capaian ini naik dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 5,58 juta TEUs.
Demikian juga dengan arus nonpeti kemas yang terealisasi sebesar 43,2 juta ton. Angka ini naik 1,14 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2018 yang sebesar 42,7 juta ton.
Sementara itu, di sisi arus kapal yang keluar masuk pelabuhan, terjadi penurunan sebesar 2 persen, yaitu dari 158,3 juta GT menjadi 154,5 juta GT. Di sisi lain, IPC mencatat kenaikkan arus penumpang, dari 505 ribu orang menjadi 905,5 ribu orang.
Sedangkan dwelling time yakni berapa waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan kontainer mulai dari tiba di dermaga hingga ke luar pelabuhan. Jika sebelumnya 7 hari, kini sudah terpangkas menjadi 2,4 hari atau kurang dari tiga hari.
Persoalan logistik
Provinsi Sumatera Selatan dikenal sebagai daerah kaya akan hasil bumi, mulai dari batu bara, minyak bumi dan gas (Migas), dan hasil perkebunan berupa kelapa sawit dan karet. Produk-produk komoditas ekspor ini tentunya ke luar dari Sumatera Selatan melalui pintu gerbang pelabuhan.
Sayangnya, pelabuhan yang dimiliki Sumsel itu hanya satu yakni pelabuhan sungai Pelabuhan Boom Baru, yang berlokasi di tepi Sungai Musi.
Meski sebelumnya di pinggir kota, kini lokasi pelabuhan sudah berada di tengah kota, sehingga truk-truk pengangkut ketika ke luar dermaga langsung berhadapan dengan kerumitan kota. Ini karena belum adanya jalur khusus logistik menuju pusat pergudangan yang ada di pinggiran kota.
Kapal tongkang pengangkut batu bara memanfaatkan jalur Sungai Musi. (ANTARA/Nova Wahyudi/19)
Karena berada di tengah kota, praktis Pelabuhan Boom Baru ini hanya memanfaatkan lahan seluas 25 hektare. Dan layaknya pelabuhan sungai, kapal yang bersandar juga berukuran kecil yakni rata-rata 2.400---7.400 GT karena kendalaman alur hanya 6 meter. Selain itu, jarak dari dermaga ke muara sungai di pelabuhan itu juga terbilang jauh yakni sejauh 9 mil.
Di sisi lain, bahan tambang dan komoditas ekspor berlokasi di sejumlah kabupaten yang relatif cukup jauh dari Pelabuhan Boom Baru, sehingga upaya pengangkutan menuju pelabuhan dilakukan melalui jalur transportasi darat. Namun ada juga yang melalui kereta api seperti yang dijalankan PT Bukit Asam yang langsung menuju pelabuhan di Lampung.
Namun, bagi pelaku eksportir batu bara, jalur transportasi sungai ini tetap menjadi pilihan utama karena selain kapasitas angkutan cukup besar juga berbiaya rendah dibanding menggunakan jalur darat.
Jalur sungai ini menjadi satu-satunya pilihan kini karena pemerintah provinsi setelah sejak setahun lalu sudah mengeluarkan Pergub berupa larangan truk pengangkut batu bara melintasi jalan umum.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Sriwijaya Palembang Didik Susetyo mengatakan kehadiran pelabuhan samudra sudah lama diidam-idamkan pelaku usaha di daerah tersebut.
Sebab, pelabuhan yang ada di sini banyak keterbatasan. Ada 22,4 miliar ton batu bara yang tersebar di delapan kabupaten, sementara setiap tahun yang bisa diekspor hanya 25 juta ton.
Sejak lama, pemerintah setempat memunculkan ide pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api di Kabupaten Banyuasin. Namun, kajian terbaru mendapati bahwa jika dibangun di kawasan itu maka diharuskan dilakukan pengerukan dan draf yang dihasilkan juga tidak terlalu panjang.
Lalu, sejak beberapa tahun terakhir, rencana dialihkan di Tanjung Carat, yang berlokasi tak begitu jauh dari rencana awal. Setidaknya harus dilakukan reklamasi seluas 2.000 hektare, yang nantinya akan langsung terintegrasi dengan Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api.
“Sumsel ini punya segalanya, tapi stasiunnya yang tidak ada. Jika pelabuhan samudra ini benar-benar terealisasi, betapa luar biasa kemajuan di daerah ini. Tapi kawasan pelabuhan ini harus terintegrasi dengan KEK sehingga nilai tambah yang didapat akan semakin banyak,” kata dia.
Terkait rencana ini, PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) sangat berminat menjadi operatornya dengan menargetkan pembahasan kajian terkait pengembangan pelabuhan laut dalam di Tanjung Carat dalam Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api ini tuntas paling lambat akhir 2019 ini.
Direktur Utama IPC Elvyn G Massasya mengatakan saat ini pembahasan masih berkutat seputar aspek teknis, aspek komersial dan studi kelayakan (feasibility study/FS).
“Perusahaan juga sudah menjalin komunikasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk kalangan pengusaha untuk merancang pengembangan deep sea port di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Api-Api,” kata Elvyn di Palembang, Sabtu (25/5/2019).
Elvyn menjelaskan perseroan menilai Tanjung Carat merupakan wilayah potensial untuk dijadikan pelabuhan laut dalam sehingga IPC sudah menandatangani nota kesepahaman Bersama (MoU) dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.
Sekretaris Jenderal Indonesian National Shipowners Association (INSA) Provinsi Sumatera Selatan Suandi mengatakan persoalan logistik di Sumsel salah satunya karena hanya memiliki pelabuhan sungai yang semakin hari semakin terbatas kemampuannya.
“Saat ini ada ancaman sendiri, alur sungai semakin mendangkal sehingga kendalaman semakin berkurang. Belum lagi, jarak menuju muara yang cukup jauh 90 km,” kata dia.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Pelindo terhadap Pelabuhan Boom Baru sudah maksimal terkait pelayanan di dermaga, apalagi saat ini sudah mengadopsi sistem digital. Namun, jika berbicara logistik maka tidak bisa hanya melihat satu item di pelabuhan saja.
“Pelayanan di pelabuhan sudah bagus tapi jika kapal yang bersandar juga masih kapal kecil, ya artinya belum mengoptimalkan potensi yang di Sumatera Selatan. Kami butuh pelabuhan baru, yang bisa langsung ke samudra,” kata pemilik PT Pelayaran Putra Samudra ini.
Hadirnya pelabuhan baru ini, tentunya akan menurunkan biaya karena tidak perlu lagi dilakukan proses pemindahan muatan ke kapal bertonase besar.
Indonesia menjadi negara di kawasan Asia dengan biaya logistik termahal saat ini. Angkanya mencapai sekitar 24 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Untuk menurunkan biaya logistik ini dalam kaitannya peningkatan daya saing, maka banyak faktor yang mempengaruhi dan tentunya digitalisasi pelabuhan yang dilakukan Pelindo tidaklah cukup, sehingga perlu kolaborasi dan sinergi dari berbagai pihak.
Sebuah truk pengangkut peti kemas melintasi gerbang auto gate system Pelabuhan Boom Baru, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (22/11/2019) siang. Namun tak biasanya, saat supir menempel kartu truck identification number (TID), palang pembatasnya tidak langsung terbuka.
Kondisi ini membuat supir itu bingung. Ia pun dipandu petugas untuk memarkir kendaraannya sembari menunggu informasi lanjutan dari pusat pelayanan pelabuhan tersebut.
Setelah dilakukan pengecekan, ternyata perusahaan pemilik barang yang memperkerjakan supir tersebut belum melunasi biaya pelayanan pelabuhannya. Pemasalahan ini diketahui secara realtime karena petugas di auto gate tersebut terhubung langsung dengan pusat data pelayanan Pelabuhan Boom Baru yang dikelola PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II.
Secara otomatis, petugas di pusat kendali pelayanan Pelabuhan Boom Baru menghubungi perusahaan mitra Pelindo II tersebut agar mentransfer dana untuk mengakses kembali pelayanan pelabuhan.
Proses ini dipastikan berlangsung cepat karena setiap pengguna jasa sudah memiliki akun sendiri sehingga setiap pembayaran dapat ditransfer layaknya melakukan “top-up” uang elektronik. Setelah mendapatkan informasi mengenai kondisi ril tersebut, perusahaan yang bersangkutan segera mengisi rekeningnya sehingga kartu TID si supir sudah bisa digunakan kembali kurang dari lima menit.
Saat supir men-tapping kartunya, palang pembatas langsung terbuka secara otomatis tertera di layar informasi mengenai keberadaan peti kemas yang akan diangkutnya, yakni blok dan barisnya. Karena sudah terbiasa, supir langsung membawa kendaraannya ke areal pelabuhan menuju lokasi kontainer.
Jika tidak ada sistem digital ini. Bisa dibayangkan bagaimana mungkin supir itu dapat dengan cepat menemukan lokasi peti kemas yang dimaksud di tengah ribuan yang ada di areal seluas 18 hektare tersebut.
Bukan hanya itu, kehadiran truk pengangkut peti kemas itu pun juga terpantau dari menara pengawas (control tower) yang menjadi pusat pengendalian seluruh aktivitas di pelabuhan tersebut. Aktivitas itu, mulai dari pengaturan kedatangan kapal, kegiatan bongkar muat hingga pendistribusian peti kemas ke truk pengangkut.
Bermodalkan beberapa layar monitor yang terhubung dengan puluhan kamera pengawas, petugas di menara kontrol ini berkomunikasi dengan operator menggunakan radio talkie untuk menurunkan kontainer yang akan diangkut truk tersebut.
Tanpa menunggu lama, kontainer sudah bisa dipindahkan ke truk. Supir pun langsung bergegas menuju pintu auto gate tujuan ke luar. Saat kendaraan tersebut melintasi gerbang, secara otomatis ter-input data mengenai barang dan beratnya ke sistem informasi pelabuhan.
Bukan hanya dari sisi operasional pengangkutan peti kemas oleh truk, pelayanan bongkar muat kapal juga sudah digital di pelabuhan Sungai Musi ini.
Siang itu, sebuah kapal pengangkut bungkil kelapa sawit asal Vietnam sedang bersandar di terminal kargo umum untuk mengisi muatan. Aktivitas ini langsung dipandu oleh petugas di control tower.
Melalui penerapan sistem digital ini, belasan truk berbaris menunggu giliran untuk memindahkan muatannya. Tentunya urutan truk ini sudah diatur secara digital berdasarkan data yang ter-input saat kendaraan melintasi gerbang auto gate.
Perubahan signifikan dari sisi operasional demikian terasa di Pelabuhan Boom Baru sejak mulai penerapan sistem berbasis digital dalam tiga tahun terakhir ini.
Sistem operasional dari manual ke otomatisasi (penggantian tenaga manusia ke tenaga mesin ini) telah mengubah perwajahan kegiatan di pelabuhan jika dibandingkan puluhan tahun lalu.
Jika sebelumnya, operator harus berada di dermaga untuk memastikan kedatangan kapal, saat ini hal itu tidak perlu lagi dilakukan karena sudah ada kamera pengawas yang langsung terhubung ke layar monitor di control tower.
Operator juga tidak perlu lagi menghitung secara manual (tally) jumlah kontainer yang diangkut oleh kapal karena Pelindo sudah menerapkan auto tally system yang terintegrasi dengan Terminal Operation System. Bukan hanya jumlah peti kemasnya, jenis barang juga dapat langsung diketahui.
Bahkan, peti kemas yang mana saja yang harus terhubung ke intansi lain di luar Pelindo pun bisa diketahui secara realtime ketika kedatangan kapal tersebut, semisal ada beberapa kontainer mesti melalui pemeriksaan di Bea Cukai, Balai Karantina dan Imigrasi.
Sistem digital ini tak dibantah membuat proses layanan menjadi lebih cepat di Pelabuhan Boom Baru, apalagi pelabuhan ini juga memutakhirkan peralatannya.
Saat ini ada 2 unit container crane, 4 unit jib crane, 4 unit rel mounted gantry crane, 21 unit forklift, 19 unit head truck, 19 unit chasis, 3 unit side loader, 4 unit reach stacker dan 3 unit weigh bridge.
Dengan menggunakan 2 unit crane berteknologi terbaru ini saja, proses bongkar muat di Pelabuhan Boom Baru dalam beberapa tahun terakhir menjadi lebih cepat, dari semula 15-20 box kontainer per jam menjadi 30-35 box kontainer per jam.
Satu hal lagi yang sangat terasa, di dermaga seluas 18 Ha kini terlihat “sepi”, bisa dikatakan tidak terlihat orang yang berlalu lalang seperti era sebelumnya. Hanya alat-alat berat saja yang bekerja dipandu oleh beberapa orang operator.
Rupanya sejak diterapkan sistem digital di pelabuhan tersebut membuat lokasi menjadi areal steril, yang mana hanya mereka yang berkepentingan saja yang boleh beraktifitas di kawasan tersebut. Contoh nyatanya yakni hanya supir yang dilengkapi kartu TID dan kru pelabuhan dengan kartu pengenal khusus.
Kepala Cabang Samudra Indonesia Palembang, Timur Mahendra yang diwawancarai Jumat (22/11/2019) mengatakan perusahaannya amat merasakan adanya peningkatan pelayanan di Pelabuhan Boom Baru setelah penerapan sistem digital ini.
“Dulu, supir yang kami andalkan untuk cari barang (peti kemas) di pelabuhan. Biasanya dia (supir) akan komunikasi langsung dengan operator, ya seperti mengira-ngira barangnya ada di blok mana. Lucunya, ya kadang mereka (supir, red) juga rebutan minta didahulukan oleh kru pelabuhan,” kata Timur.
Saat ini, sejak penerapan digitalisasi pelabuhan, hal tersebut tidak dijumpai lagi karena data keberadaan kontainer sudah tercatat secara realtime sehingga ketika supir men-tapping kartu TID maka sudah tahu lokasi peti kemasnya. Menurutnya, dengan adanya sistem digital ini dapat meminimalisasi kesalahan angkut barang.
Oleh karena itu, ia tak menyangkal peningkatan infrastruktur teknologi informatika oleh operator pelabuhan Boom Baru, Pelindo II ini telah berdampak positif pada bisnis pelayaran dan angkutan barang perusahaannya.
Meski tidak memiliki hitungan pasti, Timur mengambil salah satu parameter yakni semakin berkurangnya penumpukan kontainer milik perusahaannya di pelabuhan tersebut.
Menurutnya, ini sangat baik, mengingat biaya penumpukan dihitung Rp40.000 per hari setelah lewat satu masa di storage pelabuhan (1-5 hari) sejak barang tiba. Apalagi biaya ini akan terus bertambah jika kontainer terpaksa lebih lama menginap karena Pelindo II menerapkan aturan progresif.
“Kapal kami biasanya terdiri dari 300 box, yang lewat masa paling hanya 30-50 box saja. Tapi ini juga tidak bisa dikatakan karena Pelindo, karena box yang lewat masa ini biasanya terkait juga dengan intansi lain seperti Bea Cukai dan Balai Karantina,” kata dia.
Kehadiran sistem digital ini juga sangat terasa dari sisi pembayaran jasa pelabuhan. Jika sebelumnya, Timur harus membawa uang tunai dengan nominal cukup besar, kini cukup menggunakan kartu uang elektronik yang digesek ke mesin Elektronic Data Capture (EDC) seperti layaknya membeli barang di mal.
Ini dapat dilakukan karena pembayaran sudah dilakukan sebelumnya secara online, yang mana estimasi biaya sudah diberitahukan setelah pengajuan permohonan pelayanan ke Pelindo melalui surat elektronik.
Timur mengakui sebelumnya terasa ribet karena setelah menyetor secara tunai maka harus menunjukkan bukti setor atau kwitansi terlebih dahulu ke loket untuk mendapatkan jasa pelayanan. Belum lagi dokumen-dokumen kepelabuhan, yang terkadang pengurusan dilakukan pada pagi hari, dan baru selesai pada siang harinya.
“Saat ini semuanya serba online mulai dari pengurusan dokumen hingga pembayaran, tidak perlu tatap muka lagi. Tentunya kami sangat merasakan manfaatnya,” kata dia.
Era Digital
Penerapan digitalisasi pelabuhan ini menjadi keharusan pada era masa kini mengingat proses bisnis sudah beralih dari manual ke digital seiring dengan kemajuan teknologi. Mulai dari, adanya teknologi robotic, kecerdasan buatan (artficial intelligence) dan pemanfatan volume data yang besar untuk kepentingan bisnis (big data).
Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau IPC, Elvyn G Masassya mengatakan hal serupa juga harus berlaku di pelabuhan, yang mana bisnis jasa ini tidak bisa lagi menerapkan cara-cara lama atau harus bertransformasi dari manual ke digital.
Keharusan ini juga didukung oleh fakta bahwa saat ini pelabuhan di dunia juga sudah bertransformasi mengingat mitra-mitra mereka juga menggunakan kapal-kapal berukuran besar yang pengoperasiannya secara digital.
Upaya ini tak lain karena IPC sejatinya akan bertransformasi menjadi Digital Port, yakni transformasi dari terminal operators menjadi trade facilitator.
Implementasi digital port terus dikembangkan, di mana digitalisasi yang dilakukan mencakup kegiatan di sisi laut maupun darat atau yang disebut Front-End yang terintegrasi dengan Back-End menggunakan Entreprise Resources Planning (ERP).
Transformasi digital di IPC ini meliputi enam pilar e-channel. Terdiri dari e-Registration, e-Booking, e-Tracking, e-Payment, e-Billing dan terakhir e-Care dengan mengalokasikan senilai Rp1 triliun hingga 2020.
Namun, semua itu dilakukan secara bertahap, dengan harapan Digital Port ini akan sempurna pada 2024.
“Dulu kapal datang antre lama, supaya tidak ngantre ya disiapkan proses digitalnya. Melalui sistem ini maka sudah tahu kapan kapal itu datang, apa yang dibawa, sehingga bisa diatur sedemikian rupa agar cepat,” kata dia.
Bagi Elvyn, peralihan sistem ke digital ini menjadi keniscayaan yang harus dilakukan Pelindo, apalagi perusahaan memiliki cita-cita besar yakni menjadikan pelabuhan-pelabuhan di Indonesia berkelas dunia, artinya harus unggul dari sisi operasional dan pelayanan.
Namun untuk mencapai proses ini dibutuhkan kerja keras karena peralihan dari operator manusia ke robotic ini sama artinya dengan perubahan budaya kerja.
Terkait ini, perusahaan memberikan pelatihan secara bertahap ke karyawan. Proses ini dilakukan perusahaan tanpa ada pengurangan SDM karena yang dilakukan adalah pengalihan jenis pekerjaan, malahan perusahaan membutuhkan tenaga kerja baru yang ahli di bidang tersebut.
Untuk mencapai target sebagai operator pelabuhan berkelas dunia itu, Elvyn tak menyangkal terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi Pelindo, di antaranya menyamakan pemikiran bahwa sejatinya Indonesia itu mampu.
Selain itu, lantaran melakukan perubahan tentunya banyak pihak yang merasa tidak nyaman. Pelindo yang berhubungan dengan sejumlah stakeholder yakni pelanggan, regulator (pemerintah) dan masyarakat harus memberikan pemahaman mengenai cita-cita besar ini.
“Namun, saya optimistis visi besar itu bisa dicapai pada 2020, apalagi dengan aset karyawan berstatus milenial yang mencapai 45,6 persen, mereka sangat kreatif dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi,” kata dia.
Yang terpenting menurut Elvyn, tetap harus menyadari bahwa pelabuhan ini merupakan jasa, sehingga parameter dan indikatornya tetap sama seperti jasa-jasa lain yang membutuhkan kreatifitas dan inovasi.
Pertama, speed yakni bagaimana agar kapal tidak antre, dan bongkar muat tidak lama. Kedua, phisical presence yakni infrastruktur harus bagus, kedalaman laut harus sesuai agar kapal tidak kandas, dermaga harus besar dan modern. Ketiga, friendly, seperti layaknya bisnis jasa maka konsumen harus dilayani oleh petugas dengan ramah. Keempat, cost yakni bagaimana caranya agar ongkos di pelabuhan itu tidak boleh mahal sehingga pelabuhan di Indonesia bisa kompetitif.
“Tapi yang paling penting apapun itu, jika menyangkut bidang jasa maka harus sejalan dengan manajemen. Industri itu boleh berbeda tapi manajemen itu sama, yakni bagaimana mengelola secara korporasi, secara holistik dengan pendekatan manajemen,” kata dia.
Dan kedua, komunikasi harus baik terutama ke stakeholder, seperti ke pelanggan, pemerintah selaku regulator, masyarakat, dan konsumen dan internal perusahaan.
Hingga kuartal ketiga 2019, IPC mencatat laba perusahaan senilai Rp2,21 triliun. Angka ini naik 18,38 persen dibandingkan dengan capaian kuartal ketiga 2018. Sementara, pendapatan usaha mencapai Rp8,56 triliun, naik sebesar 2,41 persen dibandingkan capaian periode yang sama tahun 2018.
Dilihat dari sisi kinerja operasional, trafik arus peti kemas hingga kuartal ketiga tercatat sebesar 5,62 juta TEUs. Capaian ini naik dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 5,58 juta TEUs.
Demikian juga dengan arus nonpeti kemas yang terealisasi sebesar 43,2 juta ton. Angka ini naik 1,14 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2018 yang sebesar 42,7 juta ton.
Sementara itu, di sisi arus kapal yang keluar masuk pelabuhan, terjadi penurunan sebesar 2 persen, yaitu dari 158,3 juta GT menjadi 154,5 juta GT. Di sisi lain, IPC mencatat kenaikkan arus penumpang, dari 505 ribu orang menjadi 905,5 ribu orang.
Sedangkan dwelling time yakni berapa waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan kontainer mulai dari tiba di dermaga hingga ke luar pelabuhan. Jika sebelumnya 7 hari, kini sudah terpangkas menjadi 2,4 hari atau kurang dari tiga hari.
Persoalan logistik
Provinsi Sumatera Selatan dikenal sebagai daerah kaya akan hasil bumi, mulai dari batu bara, minyak bumi dan gas (Migas), dan hasil perkebunan berupa kelapa sawit dan karet. Produk-produk komoditas ekspor ini tentunya ke luar dari Sumatera Selatan melalui pintu gerbang pelabuhan.
Sayangnya, pelabuhan yang dimiliki Sumsel itu hanya satu yakni pelabuhan sungai Pelabuhan Boom Baru, yang berlokasi di tepi Sungai Musi.
Meski sebelumnya di pinggir kota, kini lokasi pelabuhan sudah berada di tengah kota, sehingga truk-truk pengangkut ketika ke luar dermaga langsung berhadapan dengan kerumitan kota. Ini karena belum adanya jalur khusus logistik menuju pusat pergudangan yang ada di pinggiran kota.
Karena berada di tengah kota, praktis Pelabuhan Boom Baru ini hanya memanfaatkan lahan seluas 25 hektare. Dan layaknya pelabuhan sungai, kapal yang bersandar juga berukuran kecil yakni rata-rata 2.400---7.400 GT karena kendalaman alur hanya 6 meter. Selain itu, jarak dari dermaga ke muara sungai di pelabuhan itu juga terbilang jauh yakni sejauh 9 mil.
Di sisi lain, bahan tambang dan komoditas ekspor berlokasi di sejumlah kabupaten yang relatif cukup jauh dari Pelabuhan Boom Baru, sehingga upaya pengangkutan menuju pelabuhan dilakukan melalui jalur transportasi darat. Namun ada juga yang melalui kereta api seperti yang dijalankan PT Bukit Asam yang langsung menuju pelabuhan di Lampung.
Namun, bagi pelaku eksportir batu bara, jalur transportasi sungai ini tetap menjadi pilihan utama karena selain kapasitas angkutan cukup besar juga berbiaya rendah dibanding menggunakan jalur darat.
Jalur sungai ini menjadi satu-satunya pilihan kini karena pemerintah provinsi setelah sejak setahun lalu sudah mengeluarkan Pergub berupa larangan truk pengangkut batu bara melintasi jalan umum.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Sriwijaya Palembang Didik Susetyo mengatakan kehadiran pelabuhan samudra sudah lama diidam-idamkan pelaku usaha di daerah tersebut.
Sebab, pelabuhan yang ada di sini banyak keterbatasan. Ada 22,4 miliar ton batu bara yang tersebar di delapan kabupaten, sementara setiap tahun yang bisa diekspor hanya 25 juta ton.
Sejak lama, pemerintah setempat memunculkan ide pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api di Kabupaten Banyuasin. Namun, kajian terbaru mendapati bahwa jika dibangun di kawasan itu maka diharuskan dilakukan pengerukan dan draf yang dihasilkan juga tidak terlalu panjang.
Lalu, sejak beberapa tahun terakhir, rencana dialihkan di Tanjung Carat, yang berlokasi tak begitu jauh dari rencana awal. Setidaknya harus dilakukan reklamasi seluas 2.000 hektare, yang nantinya akan langsung terintegrasi dengan Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api.
“Sumsel ini punya segalanya, tapi stasiunnya yang tidak ada. Jika pelabuhan samudra ini benar-benar terealisasi, betapa luar biasa kemajuan di daerah ini. Tapi kawasan pelabuhan ini harus terintegrasi dengan KEK sehingga nilai tambah yang didapat akan semakin banyak,” kata dia.
Terkait rencana ini, PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) sangat berminat menjadi operatornya dengan menargetkan pembahasan kajian terkait pengembangan pelabuhan laut dalam di Tanjung Carat dalam Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-Api ini tuntas paling lambat akhir 2019 ini.
Direktur Utama IPC Elvyn G Massasya mengatakan saat ini pembahasan masih berkutat seputar aspek teknis, aspek komersial dan studi kelayakan (feasibility study/FS).
“Perusahaan juga sudah menjalin komunikasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk kalangan pengusaha untuk merancang pengembangan deep sea port di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Api-Api,” kata Elvyn di Palembang, Sabtu (25/5/2019).
Elvyn menjelaskan perseroan menilai Tanjung Carat merupakan wilayah potensial untuk dijadikan pelabuhan laut dalam sehingga IPC sudah menandatangani nota kesepahaman Bersama (MoU) dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.
Sekretaris Jenderal Indonesian National Shipowners Association (INSA) Provinsi Sumatera Selatan Suandi mengatakan persoalan logistik di Sumsel salah satunya karena hanya memiliki pelabuhan sungai yang semakin hari semakin terbatas kemampuannya.
“Saat ini ada ancaman sendiri, alur sungai semakin mendangkal sehingga kendalaman semakin berkurang. Belum lagi, jarak menuju muara yang cukup jauh 90 km,” kata dia.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Pelindo terhadap Pelabuhan Boom Baru sudah maksimal terkait pelayanan di dermaga, apalagi saat ini sudah mengadopsi sistem digital. Namun, jika berbicara logistik maka tidak bisa hanya melihat satu item di pelabuhan saja.
“Pelayanan di pelabuhan sudah bagus tapi jika kapal yang bersandar juga masih kapal kecil, ya artinya belum mengoptimalkan potensi yang di Sumatera Selatan. Kami butuh pelabuhan baru, yang bisa langsung ke samudra,” kata pemilik PT Pelayaran Putra Samudra ini.
Hadirnya pelabuhan baru ini, tentunya akan menurunkan biaya karena tidak perlu lagi dilakukan proses pemindahan muatan ke kapal bertonase besar.
Indonesia menjadi negara di kawasan Asia dengan biaya logistik termahal saat ini. Angkanya mencapai sekitar 24 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Untuk menurunkan biaya logistik ini dalam kaitannya peningkatan daya saing, maka banyak faktor yang mempengaruhi dan tentunya digitalisasi pelabuhan yang dilakukan Pelindo tidaklah cukup, sehingga perlu kolaborasi dan sinergi dari berbagai pihak.