Jakarta (ANTARA) - Ketua KPK Agus Rahardjo berharap agar Presiden Joko Widodo tidak membiarkan Komisi Pemberantasan Korupsi tersungkur dan lumpuh dengan rencana revisi UU no 30 tahun 2002 tentang KPK.
"Kami percaya, Presiden Joko Widodo tidak akan membiarkan anak reformasi ini tersungkur, lumpuh dan mati," kata Agus Rahardjo dalam surat terbukanya yang diterima di Jakarta, Jumat.
Baca juga: RUU KPK amputasi kewenangan KPK, kata pengamat
Rapat paripurna DPR pada Kamis (5/9) menyetujui usulan revisi UU No 30 tahun 2002 tentang KPK, padahal setidaknya ada sembilan persoalan dalam rancangan UU tersebut yang berisiko untuk melumpuhkan kinerja KPK.
"Di manapun di dunia, keberlanjutan lembaga antikorupsi sangat tergantung pada pimpinan tertinggi. Revisi UU KPK ini akan berlanjut atau tidak, peran Presiden sangat penting. Jika Presiden tidak bersedia menyetujui maka RUU tersebut tidak akan pernah jadi UU. Jika Presiden ingin KPK kuat, maka KPK akan kuat," tambah Agus.
Ia menilai bahwa upaya melemahkan, melumpuhkan atau mematikan KPK adalah pengkhianatan terhadap semangat reformasi.
Baca juga: Paripurna DPR setujui revisi UU MD3 dan KPK
"Serangan-serangan terhadap KPK mungkin tidak akan pernah berhenti sepanjang kekuatan para koruptor masih ada dan tumbuh subur, karenanya jika hal itu dibiarkan maka bukan tidak mungkin akan membunuh harapan kita semua tentang Indonesia yang lebih baik dan mampu menjadi negara maju, yang adil, makmur, dan sejahtera dalam waktu yang tidak terlalu lama ke depan," jelas Agus.
Menurut Agus, korupsi terlalu mengakar sejak lama. Pejabat-pejabat yang dipilih menyalahgunakan kewenangan yang dipercayakan untuk kepentingan pribadi.
"Kenyamanan mereka melakukan korupsi tampaknya memang sangat terganggu dengan kerja KPK, terganggu dengan masyarakat yang selalu mendukung KPK ketika ada upaya-upaya melumpuhkan KPK," tambah Agus.
Korupsi pun menjadi biaya tambahan yang justru akan semakin membebani para pelaku usaha dan membuat investor berhitung ulang jika ingin memutuskan investasinya di sebuah negara.
"Di tengah upaya Presiden meyakinkan para investor untuk menanamkan modal di Indonesia, maka penguatan pemberantasan korupsi akan menjadi bagian dari strategi tersebut," ungkap Agus.
Pelaku pejabat publik terbanyak adalah para anggota DPR dan DPRD yaitu dalam 255 perkara. Kemudian kepala daerah berjumlah 110 perkara.
"Mereka diproses dalam kasus korupsi dan ada juga yang dijerat pencucian uang. Ini baru data sampai Juni 2019. Setelah itu, sejumlah politikus kembali diproses," tambah Agus.
Selama upaya pemberantasan korupsi dilakukan di Indonesia, mungkin tidak akan pernah terbayangkan ratusan wakil rakyat dan kepala daerah tersentuh hukum.
"Adagium hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas sering sekali kita dengar. Namun dengan dukungan publik yang kuat, KPK berupaya untuk terus menjalankan tugasnya," ungkap Agus.
Baca juga: Abraham Samad soroti enam poin revisi UU KPK
Selain anggota DPR, DPRD, Kepala Daerah, ada 27 Menteri dan Kepala Lembaga yang dijerat, dan 208 perkara yang menjerat pejabat tinggi di instansi, yaitu setingkat eselon I, II dan III. Tercatat, Ketua DPR RI dan Ketua DPD aktif, dan sejumlah menteri aktif yang melakukan korupsi juga ikut diproses.
"Karena itu, saya kembali mengajak masyarakat untuk tetap menjaga rumah bersama ini. Rumah yang tegak lurus karena cita-cita yang luhur dan kepemilikan dari seluruh masyarakat Indonesia yang antikorupsi. Banyak badai yang harus kita hadapi, termasuk upaya revisi UU KPK yang kembali dimunculkan. Jika demikian isi peraturannya, KPK akan lumpuh," tegas Agus.
Baca juga: Pengamat: Percayakann proses seleksi capim KPK ke DPR RI
Sebilan persoalan dalam konsep RUU KPK tersebut adalah (1) Independensi KPK terancam, (2) Penyadapan dipersulit dan dibatasi, (3) Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, (4) Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi, (5) Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Selanjutnya (6) Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, (7) Kewenangan pengambilalihan perkara di tahap penuntutan dipangkas, (8) Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, (9) Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.
"Kami percaya, Presiden Joko Widodo tidak akan membiarkan anak reformasi ini tersungkur, lumpuh dan mati," kata Agus Rahardjo dalam surat terbukanya yang diterima di Jakarta, Jumat.
Baca juga: RUU KPK amputasi kewenangan KPK, kata pengamat
Rapat paripurna DPR pada Kamis (5/9) menyetujui usulan revisi UU No 30 tahun 2002 tentang KPK, padahal setidaknya ada sembilan persoalan dalam rancangan UU tersebut yang berisiko untuk melumpuhkan kinerja KPK.
"Di manapun di dunia, keberlanjutan lembaga antikorupsi sangat tergantung pada pimpinan tertinggi. Revisi UU KPK ini akan berlanjut atau tidak, peran Presiden sangat penting. Jika Presiden tidak bersedia menyetujui maka RUU tersebut tidak akan pernah jadi UU. Jika Presiden ingin KPK kuat, maka KPK akan kuat," tambah Agus.
Ia menilai bahwa upaya melemahkan, melumpuhkan atau mematikan KPK adalah pengkhianatan terhadap semangat reformasi.
Baca juga: Paripurna DPR setujui revisi UU MD3 dan KPK
"Serangan-serangan terhadap KPK mungkin tidak akan pernah berhenti sepanjang kekuatan para koruptor masih ada dan tumbuh subur, karenanya jika hal itu dibiarkan maka bukan tidak mungkin akan membunuh harapan kita semua tentang Indonesia yang lebih baik dan mampu menjadi negara maju, yang adil, makmur, dan sejahtera dalam waktu yang tidak terlalu lama ke depan," jelas Agus.
Menurut Agus, korupsi terlalu mengakar sejak lama. Pejabat-pejabat yang dipilih menyalahgunakan kewenangan yang dipercayakan untuk kepentingan pribadi.
"Kenyamanan mereka melakukan korupsi tampaknya memang sangat terganggu dengan kerja KPK, terganggu dengan masyarakat yang selalu mendukung KPK ketika ada upaya-upaya melumpuhkan KPK," tambah Agus.
Korupsi pun menjadi biaya tambahan yang justru akan semakin membebani para pelaku usaha dan membuat investor berhitung ulang jika ingin memutuskan investasinya di sebuah negara.
"Di tengah upaya Presiden meyakinkan para investor untuk menanamkan modal di Indonesia, maka penguatan pemberantasan korupsi akan menjadi bagian dari strategi tersebut," ungkap Agus.
Pelaku pejabat publik terbanyak adalah para anggota DPR dan DPRD yaitu dalam 255 perkara. Kemudian kepala daerah berjumlah 110 perkara.
"Mereka diproses dalam kasus korupsi dan ada juga yang dijerat pencucian uang. Ini baru data sampai Juni 2019. Setelah itu, sejumlah politikus kembali diproses," tambah Agus.
Selama upaya pemberantasan korupsi dilakukan di Indonesia, mungkin tidak akan pernah terbayangkan ratusan wakil rakyat dan kepala daerah tersentuh hukum.
"Adagium hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas sering sekali kita dengar. Namun dengan dukungan publik yang kuat, KPK berupaya untuk terus menjalankan tugasnya," ungkap Agus.
Baca juga: Abraham Samad soroti enam poin revisi UU KPK
Selain anggota DPR, DPRD, Kepala Daerah, ada 27 Menteri dan Kepala Lembaga yang dijerat, dan 208 perkara yang menjerat pejabat tinggi di instansi, yaitu setingkat eselon I, II dan III. Tercatat, Ketua DPR RI dan Ketua DPD aktif, dan sejumlah menteri aktif yang melakukan korupsi juga ikut diproses.
"Karena itu, saya kembali mengajak masyarakat untuk tetap menjaga rumah bersama ini. Rumah yang tegak lurus karena cita-cita yang luhur dan kepemilikan dari seluruh masyarakat Indonesia yang antikorupsi. Banyak badai yang harus kita hadapi, termasuk upaya revisi UU KPK yang kembali dimunculkan. Jika demikian isi peraturannya, KPK akan lumpuh," tegas Agus.
Baca juga: Pengamat: Percayakann proses seleksi capim KPK ke DPR RI
Sebilan persoalan dalam konsep RUU KPK tersebut adalah (1) Independensi KPK terancam, (2) Penyadapan dipersulit dan dibatasi, (3) Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, (4) Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi, (5) Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Selanjutnya (6) Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, (7) Kewenangan pengambilalihan perkara di tahap penuntutan dipangkas, (8) Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, (9) Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.