Jakarta (ANTARA) - Syair Tari Perang dari Nias, Sumatera Utara, berisi nilai-nilai persatuan, solidaritas, dan menjaga harga diri, kata tokoh pemuda adat Desa Bawömataluo, Nias, Tuha Föna Sohahau Duman Wau.
"Syair-syair itu disebut dengan nama Hoho, yang merupakan ritual dan tradisi lisan dari orang Nias. Dalam tari perang syair tersebut dilantunkan di tengah-tengah tarian," kata dia saat ditemui di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Puncak Sail Nias disandingkan dengan final selancar dunia
Duman mengatakan tarian tersebut lahir dari budaya perang yang ada di Nias. Dahulu orang Nias sering perang antarsuku.
"Pemicunya macam-macam, bisa karena perebutan wilayah, bisa juga karena konflik antarpersonal," kata Duman.
Baca juga: Listrik sering padam, masyarakat Nias serahkan barang elektronik rusak
Menurut dia, tarian perang biasa digunakan sebelum dimulainya perang dan sesudah perang. Melalui tarian tersebut para laki-laki memupuk semangat kesatria.
"Meski satu kelompok kalah perang, mereka tetap akan melakukan tarian tersebut demi memupuk semangat kesatria itu," kata Duman.
Baca juga: Gunungsitoli promosikan warisan budaya pada Sail Nias 2019
Tak hanya itu, di dalam tarian juga berfungsi untuk membentuk formasi perang, membangun semangat dan bisa juga digunakan sebagai latihan perang.
Gerakan pada tari tersebut harus dilakukan dengan penuh semangat, dan banyak hentakan, hal itu dilakukan untuk memupuk semangat dan keberanian.
"Saat menari, mereka juga akan memupuk keberanian dan membuang rasa takut, karena ketakutan akan menjadi hal yang tidak baik saat perang," kata dia.
Tarian perang ini akan selalu dilakukan secara kolosal, para penari akan membawa tombak dan tameng, para penari akan menggunakan kostum dengan unsur warna merah, kuning, dan hitam.
Selain itu, tarian ini juga dapat dijumpai dalam acara-acara besar yang digelar oleh bangsawan atau pemuka adat.
"Saat ini tarian perang masih dilakoni oleh warga Nias, namun arahnya lebih menjadi atraksi pertunjukan bagi para wisatawan," katanya.
"Syair-syair itu disebut dengan nama Hoho, yang merupakan ritual dan tradisi lisan dari orang Nias. Dalam tari perang syair tersebut dilantunkan di tengah-tengah tarian," kata dia saat ditemui di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Puncak Sail Nias disandingkan dengan final selancar dunia
Duman mengatakan tarian tersebut lahir dari budaya perang yang ada di Nias. Dahulu orang Nias sering perang antarsuku.
"Pemicunya macam-macam, bisa karena perebutan wilayah, bisa juga karena konflik antarpersonal," kata Duman.
Baca juga: Listrik sering padam, masyarakat Nias serahkan barang elektronik rusak
Menurut dia, tarian perang biasa digunakan sebelum dimulainya perang dan sesudah perang. Melalui tarian tersebut para laki-laki memupuk semangat kesatria.
"Meski satu kelompok kalah perang, mereka tetap akan melakukan tarian tersebut demi memupuk semangat kesatria itu," kata Duman.
Baca juga: Gunungsitoli promosikan warisan budaya pada Sail Nias 2019
Tak hanya itu, di dalam tarian juga berfungsi untuk membentuk formasi perang, membangun semangat dan bisa juga digunakan sebagai latihan perang.
Gerakan pada tari tersebut harus dilakukan dengan penuh semangat, dan banyak hentakan, hal itu dilakukan untuk memupuk semangat dan keberanian.
"Saat menari, mereka juga akan memupuk keberanian dan membuang rasa takut, karena ketakutan akan menjadi hal yang tidak baik saat perang," kata dia.
Tarian perang ini akan selalu dilakukan secara kolosal, para penari akan membawa tombak dan tameng, para penari akan menggunakan kostum dengan unsur warna merah, kuning, dan hitam.
Selain itu, tarian ini juga dapat dijumpai dalam acara-acara besar yang digelar oleh bangsawan atau pemuka adat.
"Saat ini tarian perang masih dilakoni oleh warga Nias, namun arahnya lebih menjadi atraksi pertunjukan bagi para wisatawan," katanya.