Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama PT PLN (Persero) 2016-2018 Sofyan Basir didakwa memfasilitasi pertemuan antara anggota Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, politikus Partai Golkar Idrus Marham dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo untuk mempercepat kesepakatan proyek PLTU Mulut Tambang RIAU-1.
"Terdakwa Sofyan Basir dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan yakni memfasilitasi pertemuan antara Eni Maulani Saragih, Idrus Marham dan Johanes Budisutrisno Ktojo dengan jajaran Direksi PT PLN (Persero)," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Budhi Sarumpaet saat membacakan surat dakwaan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Tujuan pertemuan itu adalah agar mempercepat proses kesepakatan proyek "Independent Power Producer" (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) dengan BNR Ltd dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC,LTd) yang dibawa oleh Johannes Budisutrisno Kotjo.
Baca juga: KPK dalami saksi Nicke Widyawati proses kontrak PLTU Riau
"Padahal terdakwa mengetahui Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham akan mendapat sejumlah uang atau 'fee' sebagai imbalan dari Johannes Budisutrisno Kotjo sehingga Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR RI 2014-2019 dan Idrus Marham menerima hadiah berupa uang secara bertahap seluruhnya berjumlah Rp4,75 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR, Ltd)," tambah jaksa Budhi.
Mantan Direktur Utama PLN Sofyan Basir menjalani sidang dakwaan kasus suap proyek PLTU Riau-1 di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (24/6/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.
Sofyan selaku Dirut PT PLN membawahi beberapa direktu antara lain Direktur Pengadaan Strategis-2 Supangkat Iwan Santoso dan Direktur Perencanaan Korporat Nicke Widyawati merupakan rekan kerja Komisi VII DPR yang membidangi energi, riset dan teknologi serta lingkungan hidup.
Johannes Budisutrisno Kotjo merupakan pemegang saham BNR Ltd sebesar 4,3 persen yaitu sebanyak 40,045 juta lembar saham BNR. BNR punya anak perusahaan yaitu PT Samantaka Batubara yang juga bergerak dalam pertambangan batu bara.
Baca juga: Menteri Jonan penuhi panggilan KPK terkait kasus PLTU Riau-1
Pada 2015, Johannes Kotjo melakukan kesepakatan dengan CHEC Ltd mengenai rencana pemberian "fee" sebagai agen proyek pembangunan PLTU MT RIAU-1 yang diperkirakan nilai proyeknya 900 juta dolar AS dengan "fee" sebesar 2,5 persen atau sejumlah 25 juta dolar AS.
"Fee" itu akan dibagikan kepada:
1. JK yaitu Johanes Budisutrisno Kotjo mendapat sebesar 24 persen atau 6 juta dolar AS
2. SN yaitu Setya Novanto sebesar 24 persen atau sekitar 6 juta dolar AS
3. AR yaitu Andreas Rinaldi sebesar 24 persen atau sekitar 6 juta dolar AS
4. PR yaitu CEO PT BNR Ltd Rickard Philip Cecile sebesar 12 persen atau sekitar 3,125 juta dolar AS
5. Rudy yaitu Direktur Utama PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang sebesar 4 persen atau sekitar 1 juta dolar AS
6. IK yaitu Chairman BNR Ltd Intekhab Khan sebsar 4 persen atau sekitara 1 juta dolar AS
7. James yaitu Direktur PT Samantaka Batubara James Rijanto sebesar 4 persen atau sekitar 1 juta dolar AS
8. Other yaitu pihak-pihak lain yang membantu sebesar 3,5 persen atau sekitar 875 ribu dolar AS.
Direktur PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang pada 1 Oktober 2016 mengajukan permohonan proyek PLTU MT RIAU-1 agar PT PLN memasukan proyek ke dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PT PLN.
Namun, karena setelah beberapa bulan tidak ada tanggapan maka Kotjo menemui Setya Novanto untuk meminta bantuan agar dipertemukan dengan PT PLN.
Setya Novanto lalu memperkenalkan Kotjo dengan Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR. Pada kesempatan itu Setnov menyampaikan kepada Eni agar membantu Kotjo dalam proyek PLTU itu dan akan memberikan "fee" dari bagian yang akan diperoleh Kotjo dari CHEC, yang kemudian disanggupi oleh Eni Saragih.
"Menindaklanjuti permintaan Johannes Kotjo, pada saat rapat kerja Komisi VII DPR dengan PT PLN, Eni Maulani Saragih menyampaikan kepada terdakwa bahwa ia ditugaskan oleh Setya Novanto untuk mengawal perusahaan Johanes Budisutrisno Kotjo dalam proyek pembangunan PLTU MT RIAU-1 di PLN guna kepentingan mencari dana untuk Partai Golkar dan pemilu legislatif Partai Golkar, untuk itu Eni Maulani meminta terdakwa melakukan pertemuan dengan Setya Novanto di rumah Setya Novantao yang disanggupi terdakwa," tambah jaksa.
Pertemuan dilakukan pada 2016 dimana Sofyan didampingi Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso bersama dengan Eni Maulani Saragih bertemu dengan Setya Novanto di rumahnya.
Dalam pertemuan itu Setya Novanto meminta proyek PLTGU Jawa III kepada Sofyan Basir, namun Sofyan menjawab PLTGU Jawa III sudah ada kandidat dan agar mencari pembangkit listrik lainnya, sehingga Eni berkoordinasi dengan Supangkat terkait proyek PLTU MT RIAU-1.
Beberapa waktu kemudian di Hotel Mulia Senayan, Sofyan kembali bertemu dengan Eni dan Johannes Kotjo membahas proyek pembangunan PLTU MT RIAU-1 dan Jawa sesuai pesan dari Setya Novanto sebelumnya.
"Dalam pertemuan itu terdakwa menyampaikan kepada Johannes Budisutrisno Kotjo agar ikut proyek Riau saja dengan kalimat 'ya sudah kamu di Riau aja, jangan mikirin di Jawa karena sudah melebihi kapasitas', yang kemudian disanggupi oleh Johannes Kotjo," tambah jaksa Budhi.
Selanjutnya pada awal 2017, Johannes Kotjo dan Eni menemui Sofyan di kantor Sofyan untuk membawa proposal penawaran terkait proyek pembangunan PLTU MT RIAU-1 di mana Sofyan kemudian mengarahkan agar proposal diserahkan langsung kepada Supangkat Iwan.
Pertemuan selanjutnya dilakukan di hotel Fairmont Jakarta. Sofyan mengajak Iwan Santoso dan Nicke Widyawati bertemu Eni dan Johannes. Eni dan Johannes dalam pertemuan itu meminta kepada Sofyan agar proyek PLTU MT RIAU-1 tetap dicantumkan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2017-2026.
"Kemudian terdakwa meminta Nicke Widyawati untuk menindaklanjuti permintaan tersebut," tambah jaksa.
Atas permintaan Eni dan Johannes Kotjo tersebut, pada 29 Maret 2017, IPP PLTU MT Riau pun masuk ke dalam RUPTL PT PLN 2017-2026 dan disetujui masuk dalam rencana kerja dan anggaran (RKAP) PT Pembangkit Jawa Bali (PJB). PT PJB sesuai Perpres no 4 tahun 2016 ditunjuk melaksanakan 9 proyek IPP dengan wajib memilik 51 persen saham.
Sofyan kembali bertemu dengan Supangkat Iwan bersama dengan Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo. Atas arahan Sofyan, Supangkat menjelaskan mekanisme pembangunan IPP berdasarkan Perpres No. 4 tahun 2016. Supangkat juga menyampaikan agar mitra akan bekerja sama dengan menyediakan modal untuk anak perusahaan PT PLN dan selanjutnya CHEC akan menjadi penyedia modal.
Pertemuan lanjutkan dilakukan Sofyan dengan Eni dan Johannes Kotjo di BRI Lounge.
"Terdakwa menyampaikan bahwa Johanes Budisutrisno Kotjo akan mendapat proyek PLTU MT RIAU-1 dengan skema penunjukkan langsung dimana anak perusahaan PLN yaitu PT PJB akan memiliki saham perusahaan konsorsium minimal sebesar 51 persen sesuai perpres no 4 tahun 2016," jelas jaksa.
Pada September 2017 di restoran Arkadia Plaza Senayan, Sofyan dan Supangkat Iwan kembali bertemu Eni dan Johannes Kotjo dan pada pertemuan itu, Sofyan memerintahkan Supangkat Iwan untuk mengawasi proses PLTU MT RIAU-1 Dan Eni juga meminta Sofyan dan Supangkat Iwan agar Johannes Kotjo bisa segera mendapat proyek PLTU MT RIAU-1 tersebut.
Pada 14 September 2017 di kantor PLN ditandatangani kontrak induk (heads of agreeement) oleh Dirut PT PJB Iwan Agung Firstantara, Plt Dirut PT PLN Batubara Suwarno, perwakilan CHEC Ltd Wang Kun, CEO BNR Richard Philip Cecile dan Dirut PT Samantaka Rudy Herlambang untuk membentuk konsorsium mengembangkan proyek PLTU MT RIAU-1.
Komposisi saham konsorsium adalah PT PJBI 51 persen, CHEC Ltd 37 persen dan BNR Ltd 12 persen dan pihak penyedia batu bara adalah PT Samantaka Batubara.
Atas arahan Sofyan juga agar Power Purchased Agreement (PPA) proyek PLTU MT RIAU-1 segera ditandatangani maka Supangkat Iwan pada 22-23 September 2017 di Surabaya melakukan rapat konsinyerin dengan beberapa anak perusahaan PT PLN dengan kesepakatan bahwa PPA akan dilakukan terhadap PT PJB dan PLN Batubara yang tujuannya untuk menaikkan posisi tawar anak perusahaan dalam mencari rekanan.
"Hasil rapat konsinyering tersebut oleh Supangkat Iwan kemudian dilaporkan kepada terdakwa dan atas laporan itu, terdakwa meminta agar PPA proyek PLTU MT RIAU-1 segera ditandatangani," tambah jaksa.
Sofyan pun menandatangani PPA proyek PLTU MT RIAU-1 dengan mencantumkan tanggal maju yaitu 6 Oktober 20117 padahal "letter of intent" IPP PLTU MT RIAU-1 baru ditandatangani Supangkat Iwan dan perwakilan perusahaan konsorsium pada 17 Januari 2018 dengan menggunakan tanggal mundur yaitu tertanggal 6 Oktober 2017 berisi masa kontrak 25 tahun dengan tarif dasar 5,4916 dolar AS per kWh dan segera membentuk perusahan proyek yang akan menjadi pihak penjual berdasarkan PPA.
Setelah Setya Novanto ditahan KPK dalam kasus KTP-El, Eni Maulani selanjutnya melaporkan perkembangan proyek PLTU MT RIAU-1 Idrus Marham agar Eni tetap diperhatikan terdakwa karena Idrus saat itu merupakan Sekretaris Jendral Golkar saat itu. Eni juga menyampaikan bahwa akan mendapat "fee" dari Kotjo untuk mengawal proyek tersebut.
Pada 25 September 2017, Eni Maulani melalui telepon berkomunikasi dengan Idrus Marham dan Idrus mengarahakan Eni untuk meminta uang 2,5 juta dolar AS kepada Johannes Kotjo untuk keperluan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar yang disanggupi Eni.
Selanjutnya pada 7 Juni 2018 di kantor pusat PT PLN, Eni kembali memfasilitasi pertemuan antara Direktur Utama PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang dengan Supangkat Iwan dan dilasanakan penandatangan amandemen perjanjian konsorsium PT PJBI, CHEC Ltd dan BNR Ltd yang menyatakan para pihak sepakat untuk pengelolaan proyek dilaksanaan dalam bentuk pengendaliaan bersama dan tunduk kepada hal-hal khusus.
"Pada 2 Juli 2018 sekitar pukul 11.37 WIB, Eni menelepon terdakwa untuk membuat janji pertemuan dengan terdakwa, kemudian Eni menyampaikan 'Terkait yang kemarin, Huadian sudah selesai dan penting juga itu buat Bang Idrus kita. Jadi saya penting ngomong. Karena yang bisa inikan ke Pak Kotjo itu Pak Sofyan, jadi saya perlu untuk bertemu dengan Pak Sofyan sendiri, baru setelah itu saya ajak Pak Kotjo, gitu Pak', yang selanjutnya disanggupi terdakwa," papar jaksa.
Pertemuan selanjutnya pada 3 Juli 2018 di house of Yuen Dining and Restaurant Fairmont Hotel antara Sofyan dan Eni, Eni menjelaskan bahwa kesepakatan PPA PLTU MT RIAU harus jelas sehingga perlu ada finalisasi kesepakatan kembali dengan Johannes Kotjo. Eni lalu melaporkan pertemuan itu kepada Idrus dan menyampaikan ada pembagian "fee" kepada Sofyan, Eni dan Idrus setelah proses kesepakatan proyek.
Atas bantuan Sofyan telah memfasilitasi Eni untuk mempercepat proses kesepaktan IPP PLTU MT RIAU maka untuk kepentingan munaslub partai Golkar dan biaya kampanye pilkada suami Eni Maulani Saragih sebagai calon Bupati Temanggung yang diusung partai Golkar, Eni bersama Idrus menerima imbalan berupa uang seluruhnya Rp4,75 miliar yang diterima secara bertahap melalui tenaga ahli Eni Maulani Tahta Maharaya di kantor Johannes Kotjo, Graha BIP Jakarta.
Pemberian uang itu yaitu pada 18 Desember 2018 senilai Rp2 miliar, 14 Maret 2018 sejumlah Rp2 miliar, 8 Juni 2018 sejumlah Rp250 juta dan pada 13 Juli 2018 sejumlah Rp500 juta.
Selanjutnya sesaat setelah pemberian uang pada 13 Juli 2018, Johanes Kotjo dan Eni Maulani diamankan oleh petugas KPK beserta uang sejumlah Rp500 juta.
Dari total penerimaan uang dari Johanes Kotjo sejumlah Rp4,75 miliar tersebut, sejumlah Rp713 juta diserahkan oleh Eni Maulani selaku Bendahara Munaslub Partai Golkar kepada Muhammad Sarmuji selaku Wakil Sekretaris Steering Committe Munaslub Partai Golkar 2017 sesuai dengan keinginan Idrus Marham, sedangkan sisanya dipergunakan oleh Eni untuk kepentingan kampanye suaminya dalam Pilkada Temanggung.
Atas perbuatannya, Sofyan Basir diancam pidana dalam pasal 12 huruf a jo pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 56 ke-2 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.
Terhadap dakwaan itu, Sofyan Basir langsung mengajukan keberatan (eksepsi) yang sudah dibacakan dalam sidang. Sidang dilanjutkan pada 1 Juli 2019.
"Terdakwa Sofyan Basir dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan yakni memfasilitasi pertemuan antara Eni Maulani Saragih, Idrus Marham dan Johanes Budisutrisno Ktojo dengan jajaran Direksi PT PLN (Persero)," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Budhi Sarumpaet saat membacakan surat dakwaan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Tujuan pertemuan itu adalah agar mempercepat proses kesepakatan proyek "Independent Power Producer" (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) dengan BNR Ltd dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC,LTd) yang dibawa oleh Johannes Budisutrisno Kotjo.
Baca juga: KPK dalami saksi Nicke Widyawati proses kontrak PLTU Riau
"Padahal terdakwa mengetahui Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham akan mendapat sejumlah uang atau 'fee' sebagai imbalan dari Johannes Budisutrisno Kotjo sehingga Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR RI 2014-2019 dan Idrus Marham menerima hadiah berupa uang secara bertahap seluruhnya berjumlah Rp4,75 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR, Ltd)," tambah jaksa Budhi.
Sofyan selaku Dirut PT PLN membawahi beberapa direktu antara lain Direktur Pengadaan Strategis-2 Supangkat Iwan Santoso dan Direktur Perencanaan Korporat Nicke Widyawati merupakan rekan kerja Komisi VII DPR yang membidangi energi, riset dan teknologi serta lingkungan hidup.
Johannes Budisutrisno Kotjo merupakan pemegang saham BNR Ltd sebesar 4,3 persen yaitu sebanyak 40,045 juta lembar saham BNR. BNR punya anak perusahaan yaitu PT Samantaka Batubara yang juga bergerak dalam pertambangan batu bara.
Baca juga: Menteri Jonan penuhi panggilan KPK terkait kasus PLTU Riau-1
Pada 2015, Johannes Kotjo melakukan kesepakatan dengan CHEC Ltd mengenai rencana pemberian "fee" sebagai agen proyek pembangunan PLTU MT RIAU-1 yang diperkirakan nilai proyeknya 900 juta dolar AS dengan "fee" sebesar 2,5 persen atau sejumlah 25 juta dolar AS.
"Fee" itu akan dibagikan kepada:
1. JK yaitu Johanes Budisutrisno Kotjo mendapat sebesar 24 persen atau 6 juta dolar AS
2. SN yaitu Setya Novanto sebesar 24 persen atau sekitar 6 juta dolar AS
3. AR yaitu Andreas Rinaldi sebesar 24 persen atau sekitar 6 juta dolar AS
4. PR yaitu CEO PT BNR Ltd Rickard Philip Cecile sebesar 12 persen atau sekitar 3,125 juta dolar AS
5. Rudy yaitu Direktur Utama PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang sebesar 4 persen atau sekitar 1 juta dolar AS
6. IK yaitu Chairman BNR Ltd Intekhab Khan sebsar 4 persen atau sekitara 1 juta dolar AS
7. James yaitu Direktur PT Samantaka Batubara James Rijanto sebesar 4 persen atau sekitar 1 juta dolar AS
8. Other yaitu pihak-pihak lain yang membantu sebesar 3,5 persen atau sekitar 875 ribu dolar AS.
Direktur PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang pada 1 Oktober 2016 mengajukan permohonan proyek PLTU MT RIAU-1 agar PT PLN memasukan proyek ke dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PT PLN.
Namun, karena setelah beberapa bulan tidak ada tanggapan maka Kotjo menemui Setya Novanto untuk meminta bantuan agar dipertemukan dengan PT PLN.
Setya Novanto lalu memperkenalkan Kotjo dengan Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR. Pada kesempatan itu Setnov menyampaikan kepada Eni agar membantu Kotjo dalam proyek PLTU itu dan akan memberikan "fee" dari bagian yang akan diperoleh Kotjo dari CHEC, yang kemudian disanggupi oleh Eni Saragih.
"Menindaklanjuti permintaan Johannes Kotjo, pada saat rapat kerja Komisi VII DPR dengan PT PLN, Eni Maulani Saragih menyampaikan kepada terdakwa bahwa ia ditugaskan oleh Setya Novanto untuk mengawal perusahaan Johanes Budisutrisno Kotjo dalam proyek pembangunan PLTU MT RIAU-1 di PLN guna kepentingan mencari dana untuk Partai Golkar dan pemilu legislatif Partai Golkar, untuk itu Eni Maulani meminta terdakwa melakukan pertemuan dengan Setya Novanto di rumah Setya Novantao yang disanggupi terdakwa," tambah jaksa.
Pertemuan dilakukan pada 2016 dimana Sofyan didampingi Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso bersama dengan Eni Maulani Saragih bertemu dengan Setya Novanto di rumahnya.
Dalam pertemuan itu Setya Novanto meminta proyek PLTGU Jawa III kepada Sofyan Basir, namun Sofyan menjawab PLTGU Jawa III sudah ada kandidat dan agar mencari pembangkit listrik lainnya, sehingga Eni berkoordinasi dengan Supangkat terkait proyek PLTU MT RIAU-1.
Beberapa waktu kemudian di Hotel Mulia Senayan, Sofyan kembali bertemu dengan Eni dan Johannes Kotjo membahas proyek pembangunan PLTU MT RIAU-1 dan Jawa sesuai pesan dari Setya Novanto sebelumnya.
"Dalam pertemuan itu terdakwa menyampaikan kepada Johannes Budisutrisno Kotjo agar ikut proyek Riau saja dengan kalimat 'ya sudah kamu di Riau aja, jangan mikirin di Jawa karena sudah melebihi kapasitas', yang kemudian disanggupi oleh Johannes Kotjo," tambah jaksa Budhi.
Selanjutnya pada awal 2017, Johannes Kotjo dan Eni menemui Sofyan di kantor Sofyan untuk membawa proposal penawaran terkait proyek pembangunan PLTU MT RIAU-1 di mana Sofyan kemudian mengarahkan agar proposal diserahkan langsung kepada Supangkat Iwan.
Pertemuan selanjutnya dilakukan di hotel Fairmont Jakarta. Sofyan mengajak Iwan Santoso dan Nicke Widyawati bertemu Eni dan Johannes. Eni dan Johannes dalam pertemuan itu meminta kepada Sofyan agar proyek PLTU MT RIAU-1 tetap dicantumkan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2017-2026.
"Kemudian terdakwa meminta Nicke Widyawati untuk menindaklanjuti permintaan tersebut," tambah jaksa.
Atas permintaan Eni dan Johannes Kotjo tersebut, pada 29 Maret 2017, IPP PLTU MT Riau pun masuk ke dalam RUPTL PT PLN 2017-2026 dan disetujui masuk dalam rencana kerja dan anggaran (RKAP) PT Pembangkit Jawa Bali (PJB). PT PJB sesuai Perpres no 4 tahun 2016 ditunjuk melaksanakan 9 proyek IPP dengan wajib memilik 51 persen saham.
Sofyan kembali bertemu dengan Supangkat Iwan bersama dengan Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo. Atas arahan Sofyan, Supangkat menjelaskan mekanisme pembangunan IPP berdasarkan Perpres No. 4 tahun 2016. Supangkat juga menyampaikan agar mitra akan bekerja sama dengan menyediakan modal untuk anak perusahaan PT PLN dan selanjutnya CHEC akan menjadi penyedia modal.
Pertemuan lanjutkan dilakukan Sofyan dengan Eni dan Johannes Kotjo di BRI Lounge.
"Terdakwa menyampaikan bahwa Johanes Budisutrisno Kotjo akan mendapat proyek PLTU MT RIAU-1 dengan skema penunjukkan langsung dimana anak perusahaan PLN yaitu PT PJB akan memiliki saham perusahaan konsorsium minimal sebesar 51 persen sesuai perpres no 4 tahun 2016," jelas jaksa.
Pada September 2017 di restoran Arkadia Plaza Senayan, Sofyan dan Supangkat Iwan kembali bertemu Eni dan Johannes Kotjo dan pada pertemuan itu, Sofyan memerintahkan Supangkat Iwan untuk mengawasi proses PLTU MT RIAU-1 Dan Eni juga meminta Sofyan dan Supangkat Iwan agar Johannes Kotjo bisa segera mendapat proyek PLTU MT RIAU-1 tersebut.
Pada 14 September 2017 di kantor PLN ditandatangani kontrak induk (heads of agreeement) oleh Dirut PT PJB Iwan Agung Firstantara, Plt Dirut PT PLN Batubara Suwarno, perwakilan CHEC Ltd Wang Kun, CEO BNR Richard Philip Cecile dan Dirut PT Samantaka Rudy Herlambang untuk membentuk konsorsium mengembangkan proyek PLTU MT RIAU-1.
Komposisi saham konsorsium adalah PT PJBI 51 persen, CHEC Ltd 37 persen dan BNR Ltd 12 persen dan pihak penyedia batu bara adalah PT Samantaka Batubara.
Atas arahan Sofyan juga agar Power Purchased Agreement (PPA) proyek PLTU MT RIAU-1 segera ditandatangani maka Supangkat Iwan pada 22-23 September 2017 di Surabaya melakukan rapat konsinyerin dengan beberapa anak perusahaan PT PLN dengan kesepakatan bahwa PPA akan dilakukan terhadap PT PJB dan PLN Batubara yang tujuannya untuk menaikkan posisi tawar anak perusahaan dalam mencari rekanan.
"Hasil rapat konsinyering tersebut oleh Supangkat Iwan kemudian dilaporkan kepada terdakwa dan atas laporan itu, terdakwa meminta agar PPA proyek PLTU MT RIAU-1 segera ditandatangani," tambah jaksa.
Sofyan pun menandatangani PPA proyek PLTU MT RIAU-1 dengan mencantumkan tanggal maju yaitu 6 Oktober 20117 padahal "letter of intent" IPP PLTU MT RIAU-1 baru ditandatangani Supangkat Iwan dan perwakilan perusahaan konsorsium pada 17 Januari 2018 dengan menggunakan tanggal mundur yaitu tertanggal 6 Oktober 2017 berisi masa kontrak 25 tahun dengan tarif dasar 5,4916 dolar AS per kWh dan segera membentuk perusahan proyek yang akan menjadi pihak penjual berdasarkan PPA.
Setelah Setya Novanto ditahan KPK dalam kasus KTP-El, Eni Maulani selanjutnya melaporkan perkembangan proyek PLTU MT RIAU-1 Idrus Marham agar Eni tetap diperhatikan terdakwa karena Idrus saat itu merupakan Sekretaris Jendral Golkar saat itu. Eni juga menyampaikan bahwa akan mendapat "fee" dari Kotjo untuk mengawal proyek tersebut.
Pada 25 September 2017, Eni Maulani melalui telepon berkomunikasi dengan Idrus Marham dan Idrus mengarahakan Eni untuk meminta uang 2,5 juta dolar AS kepada Johannes Kotjo untuk keperluan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar yang disanggupi Eni.
Selanjutnya pada 7 Juni 2018 di kantor pusat PT PLN, Eni kembali memfasilitasi pertemuan antara Direktur Utama PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang dengan Supangkat Iwan dan dilasanakan penandatangan amandemen perjanjian konsorsium PT PJBI, CHEC Ltd dan BNR Ltd yang menyatakan para pihak sepakat untuk pengelolaan proyek dilaksanaan dalam bentuk pengendaliaan bersama dan tunduk kepada hal-hal khusus.
"Pada 2 Juli 2018 sekitar pukul 11.37 WIB, Eni menelepon terdakwa untuk membuat janji pertemuan dengan terdakwa, kemudian Eni menyampaikan 'Terkait yang kemarin, Huadian sudah selesai dan penting juga itu buat Bang Idrus kita. Jadi saya penting ngomong. Karena yang bisa inikan ke Pak Kotjo itu Pak Sofyan, jadi saya perlu untuk bertemu dengan Pak Sofyan sendiri, baru setelah itu saya ajak Pak Kotjo, gitu Pak', yang selanjutnya disanggupi terdakwa," papar jaksa.
Pertemuan selanjutnya pada 3 Juli 2018 di house of Yuen Dining and Restaurant Fairmont Hotel antara Sofyan dan Eni, Eni menjelaskan bahwa kesepakatan PPA PLTU MT RIAU harus jelas sehingga perlu ada finalisasi kesepakatan kembali dengan Johannes Kotjo. Eni lalu melaporkan pertemuan itu kepada Idrus dan menyampaikan ada pembagian "fee" kepada Sofyan, Eni dan Idrus setelah proses kesepakatan proyek.
Atas bantuan Sofyan telah memfasilitasi Eni untuk mempercepat proses kesepaktan IPP PLTU MT RIAU maka untuk kepentingan munaslub partai Golkar dan biaya kampanye pilkada suami Eni Maulani Saragih sebagai calon Bupati Temanggung yang diusung partai Golkar, Eni bersama Idrus menerima imbalan berupa uang seluruhnya Rp4,75 miliar yang diterima secara bertahap melalui tenaga ahli Eni Maulani Tahta Maharaya di kantor Johannes Kotjo, Graha BIP Jakarta.
Pemberian uang itu yaitu pada 18 Desember 2018 senilai Rp2 miliar, 14 Maret 2018 sejumlah Rp2 miliar, 8 Juni 2018 sejumlah Rp250 juta dan pada 13 Juli 2018 sejumlah Rp500 juta.
Selanjutnya sesaat setelah pemberian uang pada 13 Juli 2018, Johanes Kotjo dan Eni Maulani diamankan oleh petugas KPK beserta uang sejumlah Rp500 juta.
Dari total penerimaan uang dari Johanes Kotjo sejumlah Rp4,75 miliar tersebut, sejumlah Rp713 juta diserahkan oleh Eni Maulani selaku Bendahara Munaslub Partai Golkar kepada Muhammad Sarmuji selaku Wakil Sekretaris Steering Committe Munaslub Partai Golkar 2017 sesuai dengan keinginan Idrus Marham, sedangkan sisanya dipergunakan oleh Eni untuk kepentingan kampanye suaminya dalam Pilkada Temanggung.
Atas perbuatannya, Sofyan Basir diancam pidana dalam pasal 12 huruf a jo pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 56 ke-2 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.
Terhadap dakwaan itu, Sofyan Basir langsung mengajukan keberatan (eksepsi) yang sudah dibacakan dalam sidang. Sidang dilanjutkan pada 1 Juli 2019.