Timika (ANTARA News Sumsel) - Manajemen PT Freeport Indonesia menyarankan kepada ribuan eks karyawannya atau yang populer menyebut diri karyawan mogok kerja (moker) untuk menempuh jalur hukum ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Juru Bicara PT Freeport Indonesia Riza Pratama di Timika, Kamis, mengatakan jajarannya sedang menyiapkan surat balasan ke Gubernur Papua Lukas Enembe yang sebelumnya meminta perusahaan mempekerjakan kembali eks karyawan, dan membayar hak-hak mereka selama mogok kerja berlangsung sejak Mei 2017.
"Kami sedang menyiapkan surat ke Pak Gubernur. Pada prinsipnya posisi perusahaan yaitu kita menganjurkan eks karyawan tersebut menempuh jalur hukum melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)," jelas Riza.
Riza yang juga menjabat Vice President PT Freeport Indonesia Bidang Coorporate Communication itu menilai penyelesaian melalui jalur PHI merupakan solusi terbaik untuk mengakhiri polemik panjang terkait permasalahan yang menimpa 2.300 eks karyawan permanen Freeport.
"Menurut kami itu jalan yang terbaik. Posisi kami selama ini belum berubah," katanya.
Manajemen Freeport, katanya, menghormati surat Gubernur Papua Lukas Enembe tertanggal 19 Desember 2018 yang baru diserahkan kepada pihak eks karyawan (karyawan moker) pada pertengahan Februari 2019.
Riza menegaskan perusahaan sudah melakukan berbagai cara dan upaya menyikapi kasus mogok kerja ribuan karyawannya sejak Mei 2017, termasuk berkonsultasi dengan pihak Kementerian Tenaga Kerja dan Pengurus Pusat Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan (SP-KEP) SPSI di Jakarta.
"Berbagai pihak itu sudah menyetujui tindakan yang kita lakukan. Sebab jangka waktu yang kita berikan kepada kawan-kawan kita itu cukup lama yaitu mulai dari April hingga Desember 2017. Perusahaan juga sudah mengimbau mereka untuk bekerja kembali lewat kontraktor kita, tapi kebanyakan dari mereka tidak mau mengambil kesempatan itu. Jadi, penyelesaian melalui jalur PHI mungkin merupakan jalan terbaik," jelas Riza.
Konflik ketenagakerjaan di lingkungan PT Freeport terjadi pascapemerintah tidak lagi memperpanjang izin ekspor konsentrat pada pertengahan Januari 2017.
Di saat bersamaan, PT Freeport juga tidak dapat mengirim 40 persen produksi konsentratnya ke pabrik pengolahan smelting di perusahaan Smelter Gresik, Jawa Timur karena saat itu tidak beroperasi.
Menyikapi kondisi itu, manajemen PT Freeport kemudian mengambil langkah-langkah efisiensi, salah satunya dengan merumahkan sejumlah karyawannya.
"Saat itu kami tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja/PHK karyawan, hanya merumahkan beberapa karyawan. Perusahaan tetap membayar gaji kepada karyawan yang dirumahkan. Sampai sekarang ada yang masih menerima gaji, ada yang sudah mengambil paket pensiun dan ada yang sementara dalam proses pensiun," ujar Riza.
Keputusan manajemen Freeport merumahkan sebagian karyawan itu atau yang dikenal dengan kebijakan furlough itu menimbulkan reaksi protes dari Pimpinan Unit Kerja SP-KEP SPSI PT Freeport yang didukung oleh pengurus DPC SP KEP SPSI Kabupaten Mimika pimpinan Aser Gobay.
Pengurus SPSI berpendapat kebijakan furlough yang diterapkan Freeport di luar aturan ketenagakerjaan Indonesia dan mendesak perusahaan melakukan perundingan terlebih dahulu dengan serikat pekerja.
Setelah melalui beberapa kali pertemuan yang difasilitasi Pemkab Mimika, namun kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan, maka ribuan karyawan permanen Freeport dan perusahaan subkontraktornya melakukan mogok kerja sejak Mei 2017 di Timika.
Riza Pratama mengatakan perusahaan menganggap ribuan eks karyawan yang memilih mogok kerja tersebut mangkir alias tidak mau bekerja lagi.
"Pada waktu bulan April 2017 itu ada kelompok lain di luar dari kelompok karyawan yang dirumahkan yang mangkir. Perusahaan menganggap mereka tidak mau bekerja dengan kita lagi," kata Riza.
Selama mogok kerja berlangsung sejak Mei 2017 sampai saat ini, para karyawan moker menempuh berbagai upaya untuk memperjuangkan nasib mereka termasuk menginap selama berminggu-minggu di depan Istana Negara, Jakarta guna menemui Presiden Joko Widodo.
Juru Bicara PT Freeport Indonesia Riza Pratama di Timika, Kamis, mengatakan jajarannya sedang menyiapkan surat balasan ke Gubernur Papua Lukas Enembe yang sebelumnya meminta perusahaan mempekerjakan kembali eks karyawan, dan membayar hak-hak mereka selama mogok kerja berlangsung sejak Mei 2017.
"Kami sedang menyiapkan surat ke Pak Gubernur. Pada prinsipnya posisi perusahaan yaitu kita menganjurkan eks karyawan tersebut menempuh jalur hukum melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)," jelas Riza.
Riza yang juga menjabat Vice President PT Freeport Indonesia Bidang Coorporate Communication itu menilai penyelesaian melalui jalur PHI merupakan solusi terbaik untuk mengakhiri polemik panjang terkait permasalahan yang menimpa 2.300 eks karyawan permanen Freeport.
"Menurut kami itu jalan yang terbaik. Posisi kami selama ini belum berubah," katanya.
Manajemen Freeport, katanya, menghormati surat Gubernur Papua Lukas Enembe tertanggal 19 Desember 2018 yang baru diserahkan kepada pihak eks karyawan (karyawan moker) pada pertengahan Februari 2019.
Riza menegaskan perusahaan sudah melakukan berbagai cara dan upaya menyikapi kasus mogok kerja ribuan karyawannya sejak Mei 2017, termasuk berkonsultasi dengan pihak Kementerian Tenaga Kerja dan Pengurus Pusat Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan (SP-KEP) SPSI di Jakarta.
"Berbagai pihak itu sudah menyetujui tindakan yang kita lakukan. Sebab jangka waktu yang kita berikan kepada kawan-kawan kita itu cukup lama yaitu mulai dari April hingga Desember 2017. Perusahaan juga sudah mengimbau mereka untuk bekerja kembali lewat kontraktor kita, tapi kebanyakan dari mereka tidak mau mengambil kesempatan itu. Jadi, penyelesaian melalui jalur PHI mungkin merupakan jalan terbaik," jelas Riza.
Konflik ketenagakerjaan di lingkungan PT Freeport terjadi pascapemerintah tidak lagi memperpanjang izin ekspor konsentrat pada pertengahan Januari 2017.
Di saat bersamaan, PT Freeport juga tidak dapat mengirim 40 persen produksi konsentratnya ke pabrik pengolahan smelting di perusahaan Smelter Gresik, Jawa Timur karena saat itu tidak beroperasi.
Menyikapi kondisi itu, manajemen PT Freeport kemudian mengambil langkah-langkah efisiensi, salah satunya dengan merumahkan sejumlah karyawannya.
"Saat itu kami tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja/PHK karyawan, hanya merumahkan beberapa karyawan. Perusahaan tetap membayar gaji kepada karyawan yang dirumahkan. Sampai sekarang ada yang masih menerima gaji, ada yang sudah mengambil paket pensiun dan ada yang sementara dalam proses pensiun," ujar Riza.
Keputusan manajemen Freeport merumahkan sebagian karyawan itu atau yang dikenal dengan kebijakan furlough itu menimbulkan reaksi protes dari Pimpinan Unit Kerja SP-KEP SPSI PT Freeport yang didukung oleh pengurus DPC SP KEP SPSI Kabupaten Mimika pimpinan Aser Gobay.
Pengurus SPSI berpendapat kebijakan furlough yang diterapkan Freeport di luar aturan ketenagakerjaan Indonesia dan mendesak perusahaan melakukan perundingan terlebih dahulu dengan serikat pekerja.
Setelah melalui beberapa kali pertemuan yang difasilitasi Pemkab Mimika, namun kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan, maka ribuan karyawan permanen Freeport dan perusahaan subkontraktornya melakukan mogok kerja sejak Mei 2017 di Timika.
Riza Pratama mengatakan perusahaan menganggap ribuan eks karyawan yang memilih mogok kerja tersebut mangkir alias tidak mau bekerja lagi.
"Pada waktu bulan April 2017 itu ada kelompok lain di luar dari kelompok karyawan yang dirumahkan yang mangkir. Perusahaan menganggap mereka tidak mau bekerja dengan kita lagi," kata Riza.
Selama mogok kerja berlangsung sejak Mei 2017 sampai saat ini, para karyawan moker menempuh berbagai upaya untuk memperjuangkan nasib mereka termasuk menginap selama berminggu-minggu di depan Istana Negara, Jakarta guna menemui Presiden Joko Widodo.