Solo (ANTARA News Sumsel) - Pameran "Serupa Bunyi" yang digelar di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo menampilkan enam karya dari lima seniman tentang gamelan dalam bentuk seni rupa.
Pameran yang berlangsung pada 10-15 Agustus tersebut merupakan peserta International Gamelan Festival.
Kurator "Serupa Bunyi" Suwarno Wisetrotomo saat ditemui di Taman Budaya Jawa Tengah, Jumat, mengatakan seniman yang dipilih untuk terlibat dalam pameran tersebut adalah seniman yang kerap bersinggungan dengan gamelan saat membuat karyanya.
Dalam kuratorialnya dia menyebutkan Serupa Bunyi dimaksudkan sebagai mencari bentuk lain dari yang sejajar atau serupa dengan bunyi gamelan.
"Seniman-seniman ini bebas untuk memaknai dan merayakan gamelan dengan cara-cara yang berbeda, ada yang menginterpretasi ulang gamelan dan ada yang memproduksi pengetahuan baru," kata Suwarno.
Lima perupa yang ikut berpameran adalah Edwin Rahardjo, Hadjar Satoto, Hanafi, Heri Dono, dan Nondotyo Adi Purnomo.
Saat memasuki ruang pameran, pengunjung langsung bertemu dua karya dari Edwin Rahardjo yang berada di sisi kanan dan karya Nidityo Adiprnomo pada sisi kiri.
Lewat karyanya berjudul Harmony in Diversity Edwin membuat instalasi media baru yaitu gamelan kinetik, dengan wayang transparan yang dilengkapi dengan teknik pencahayaan tertentu.
Dengan memencet tombol kuning yang berada di tengah-tengah gamelan kinetik tersebut, maka pemukul-pemukul gamelan bergerak secara otmatis menghasilkan suara yang tidak sesuai dengan pakem-pakem yang berlaku. Wayang-wayang pun akan berpendar bergantian membuat karyanya terliat mewah.
Dia juga meletakkan sebuah keyboard yang dapat digunakan pengunjung sebagai sarana berinteraksi dengan gamelan kinetik tersebut.
Edwin mengatakan karya tersebut lahir dari sikap anak muda yang kian hari kian tidak tertarik dengan seni tradisional.
"Saya lahir ditengah keluarga yang menyukai seni. Kakak saya penari Jawa dan Bali, namun saya bingung kenapa anak saya tidak tertarik dengan seni tradisional," kata dia yang telah mengembangkan karya tersebut selama dua tahun.
Menurut dia, anak muda tidak tertarik dengan seni tradisional karena selama ini kita selalu salah mengemasnya. Seni tradisional kerap ditampilkan seadanya tanpa ekspresi sehingga terkesan hanya sebagai pelengkap.
Dengan karyanya yang glamor tersebut dia ingin menarik minat kaum muda terhadap seni tradisional.
Jika Edwin menghasilkan karya yang canggih, lain halnya dengan Nindityo Adipurnomo yang membawa pengunjung ke era purbakala dalam karyanya "Gamelan Toa".
Nindityo menjajarkan enam batu gamelan toa yang diletakan di atas bantal, dilengkapi bendera batik yang ada disetiap selanya.
Batu-batu gamelan tersebut memiliki dua bentuk, ada yang seperti kempul (jenis gamelan) dan ada yang memiliki lubang seukuran kepala manusia.
Dengan batu yang berlubang tersebut, pengunjung dapat memasukkan kepalanya ke dalam untuk benar-benar mendengar suara gamelan yang bergaung di ruang itu dengan telinga.
"Di tengah zaman teknologi serba modern, kita tidak lagi mendengar dengan telinga. Kita sering mendengar dengan mata atau bahkan melihat dengan telinga. Di dalam karya ini, saya ingin mengajak orang untuk benar-benar mendengar dengan telinga dengan membenamkan wajah di batu ini," kata dia.
Sementara bendera-bendera batik secara simbolis berisikan peristiwa-peristiwa penting di dunia.
Disisi lain ada karya Heri Dono dengan judul Shock Therapy for Global Political Leaders yang ada di tengah ruang pameran dan juga Goro-Goro yang diletakaan di penghujung ruang pameran.
Lewat karya-karyanya Heri mencoba menyuarakan isu sosial politik yang terjadi saat ini. Pada Shock Therapy for Global Political Leaders, Heri berimajinasi menjadi eksekutor di mana dia akan menghukum para pemimpin dunia dengan cara menjungkirbalikan mereka sambil diperdengarkan suara gamelan.
Figugur-figur para tokoh politik dibuat dalam bentuk wayang berbahan kardus, mereka digantung di kusi merah. Di atas kursi merah ada satu gamelan yang dapat digerakan melalui peralatan elektronika.
Tokoh-tokoh yang adala dalam karyanya tersebut antara lain Mohammmed bin Salman, Donald Trump, Vladimir Putin, Kim Jing Un, Angela Merkel, Xi Jin Oing, Benyamin Netanyahu, Recep Tayyip Erdogan, Emmanuel Marcon dan Nicolas Maduro.
Dalam "Gamelan Goro-Goro" dia membuat satu diorama dimana ada figur-figur masyarakat yang kasak-kusuk ketika gamelan berbunyi. Sementara itu di sisi kiri berdiri tiga buah menara air yang saling bersambung, disitu ada figur yang menimba air.
Karya mengisyaratkan simbol tradisi kasak-kusuk ketika orang menciptakan rumor yang belum terbukti kebenarannya, sementara elemen air menjadi tempat terkuatknya kabar burung tersebut.
Karya tersebut sebenarnya dibuat pada 2001, atas responsnya terhadap menjamurnya meida saat awal reformasi dan media-media tersebut sering menyebar berita tidak benar sehingga meresahkan masyarakat.
Meski telah dibuat sekitar 17 tahun yang lalu, karya tersebut masih relevan dengan masa kini, dimana berita palsu yang sering menyebar lewat media sosial menjadi konsumsi kita sehari-hari.
Almarhum Hajar Satoso memilih membuat gamelan dalam bentuk sebenarnya, dengan tempaan dan olahan dari berbagai bijih besi sehingga setiap bilah memiliki pamor atau motif.
Untuk menghasilkan pamor tersebut maka seniman harus memilih material yang tepat. Tak hanya mengeksplorasi rupanya saja, Hajar juga menimbang bunyi yang dihasilkan.
Karya terakhir lahir dari tangan perupa Hanafi, jika lima karya yang dipamerkan berbentuk instalasi, Hanafi mengubah bentuk gamelan dalam sembilan lukisan yang disusun berjajar dalam karya berjudul "8 Benih Suara".
Dari deretan karya tersebut, ada satu lukisan yang paling berbeda dan mencolok, lukisan itu paling besar diantara lukisan lainnya, dia berada di tengah-tengah lukisan abstrak lainnya.
Lukisan tersebut gambar seorang laki-laki dari tampak belakang, dengan menggunakan jarik di pingangnya terselip sebuah keris. Tangannya mengayun memegang tongkat seakan sedang memimpin okestra dari delapan benih bunyi yang menjelma menjadi delapan lukisan di samping kiri dan kanan sang konduktor.
Secara keseluruhan pameran "Serupa Bunyi" memberikan pengalaman baru menikmati gamelan, tak hanya itu para perupa juga memberikan nilai bawha gamelan adalah benda yang lentur, dia dapat bertransformasi tanpa batas.*
Baca juga: Gending Puspowarno buka Festival Gamelan Internasional
Baca juga: Solo bawa pemain gamelan internasional "pulang kampung"
Pameran yang berlangsung pada 10-15 Agustus tersebut merupakan peserta International Gamelan Festival.
Kurator "Serupa Bunyi" Suwarno Wisetrotomo saat ditemui di Taman Budaya Jawa Tengah, Jumat, mengatakan seniman yang dipilih untuk terlibat dalam pameran tersebut adalah seniman yang kerap bersinggungan dengan gamelan saat membuat karyanya.
Dalam kuratorialnya dia menyebutkan Serupa Bunyi dimaksudkan sebagai mencari bentuk lain dari yang sejajar atau serupa dengan bunyi gamelan.
"Seniman-seniman ini bebas untuk memaknai dan merayakan gamelan dengan cara-cara yang berbeda, ada yang menginterpretasi ulang gamelan dan ada yang memproduksi pengetahuan baru," kata Suwarno.
Lima perupa yang ikut berpameran adalah Edwin Rahardjo, Hadjar Satoto, Hanafi, Heri Dono, dan Nondotyo Adi Purnomo.
Saat memasuki ruang pameran, pengunjung langsung bertemu dua karya dari Edwin Rahardjo yang berada di sisi kanan dan karya Nidityo Adiprnomo pada sisi kiri.
Lewat karyanya berjudul Harmony in Diversity Edwin membuat instalasi media baru yaitu gamelan kinetik, dengan wayang transparan yang dilengkapi dengan teknik pencahayaan tertentu.
Dengan memencet tombol kuning yang berada di tengah-tengah gamelan kinetik tersebut, maka pemukul-pemukul gamelan bergerak secara otmatis menghasilkan suara yang tidak sesuai dengan pakem-pakem yang berlaku. Wayang-wayang pun akan berpendar bergantian membuat karyanya terliat mewah.
Dia juga meletakkan sebuah keyboard yang dapat digunakan pengunjung sebagai sarana berinteraksi dengan gamelan kinetik tersebut.
Edwin mengatakan karya tersebut lahir dari sikap anak muda yang kian hari kian tidak tertarik dengan seni tradisional.
"Saya lahir ditengah keluarga yang menyukai seni. Kakak saya penari Jawa dan Bali, namun saya bingung kenapa anak saya tidak tertarik dengan seni tradisional," kata dia yang telah mengembangkan karya tersebut selama dua tahun.
Menurut dia, anak muda tidak tertarik dengan seni tradisional karena selama ini kita selalu salah mengemasnya. Seni tradisional kerap ditampilkan seadanya tanpa ekspresi sehingga terkesan hanya sebagai pelengkap.
Dengan karyanya yang glamor tersebut dia ingin menarik minat kaum muda terhadap seni tradisional.
Jika Edwin menghasilkan karya yang canggih, lain halnya dengan Nindityo Adipurnomo yang membawa pengunjung ke era purbakala dalam karyanya "Gamelan Toa".
Nindityo menjajarkan enam batu gamelan toa yang diletakan di atas bantal, dilengkapi bendera batik yang ada disetiap selanya.
Batu-batu gamelan tersebut memiliki dua bentuk, ada yang seperti kempul (jenis gamelan) dan ada yang memiliki lubang seukuran kepala manusia.
Dengan batu yang berlubang tersebut, pengunjung dapat memasukkan kepalanya ke dalam untuk benar-benar mendengar suara gamelan yang bergaung di ruang itu dengan telinga.
"Di tengah zaman teknologi serba modern, kita tidak lagi mendengar dengan telinga. Kita sering mendengar dengan mata atau bahkan melihat dengan telinga. Di dalam karya ini, saya ingin mengajak orang untuk benar-benar mendengar dengan telinga dengan membenamkan wajah di batu ini," kata dia.
Sementara bendera-bendera batik secara simbolis berisikan peristiwa-peristiwa penting di dunia.
Disisi lain ada karya Heri Dono dengan judul Shock Therapy for Global Political Leaders yang ada di tengah ruang pameran dan juga Goro-Goro yang diletakaan di penghujung ruang pameran.
Lewat karya-karyanya Heri mencoba menyuarakan isu sosial politik yang terjadi saat ini. Pada Shock Therapy for Global Political Leaders, Heri berimajinasi menjadi eksekutor di mana dia akan menghukum para pemimpin dunia dengan cara menjungkirbalikan mereka sambil diperdengarkan suara gamelan.
Figugur-figur para tokoh politik dibuat dalam bentuk wayang berbahan kardus, mereka digantung di kusi merah. Di atas kursi merah ada satu gamelan yang dapat digerakan melalui peralatan elektronika.
Tokoh-tokoh yang adala dalam karyanya tersebut antara lain Mohammmed bin Salman, Donald Trump, Vladimir Putin, Kim Jing Un, Angela Merkel, Xi Jin Oing, Benyamin Netanyahu, Recep Tayyip Erdogan, Emmanuel Marcon dan Nicolas Maduro.
Dalam "Gamelan Goro-Goro" dia membuat satu diorama dimana ada figur-figur masyarakat yang kasak-kusuk ketika gamelan berbunyi. Sementara itu di sisi kiri berdiri tiga buah menara air yang saling bersambung, disitu ada figur yang menimba air.
Karya mengisyaratkan simbol tradisi kasak-kusuk ketika orang menciptakan rumor yang belum terbukti kebenarannya, sementara elemen air menjadi tempat terkuatknya kabar burung tersebut.
Karya tersebut sebenarnya dibuat pada 2001, atas responsnya terhadap menjamurnya meida saat awal reformasi dan media-media tersebut sering menyebar berita tidak benar sehingga meresahkan masyarakat.
Meski telah dibuat sekitar 17 tahun yang lalu, karya tersebut masih relevan dengan masa kini, dimana berita palsu yang sering menyebar lewat media sosial menjadi konsumsi kita sehari-hari.
Almarhum Hajar Satoso memilih membuat gamelan dalam bentuk sebenarnya, dengan tempaan dan olahan dari berbagai bijih besi sehingga setiap bilah memiliki pamor atau motif.
Untuk menghasilkan pamor tersebut maka seniman harus memilih material yang tepat. Tak hanya mengeksplorasi rupanya saja, Hajar juga menimbang bunyi yang dihasilkan.
Karya terakhir lahir dari tangan perupa Hanafi, jika lima karya yang dipamerkan berbentuk instalasi, Hanafi mengubah bentuk gamelan dalam sembilan lukisan yang disusun berjajar dalam karya berjudul "8 Benih Suara".
Dari deretan karya tersebut, ada satu lukisan yang paling berbeda dan mencolok, lukisan itu paling besar diantara lukisan lainnya, dia berada di tengah-tengah lukisan abstrak lainnya.
Lukisan tersebut gambar seorang laki-laki dari tampak belakang, dengan menggunakan jarik di pingangnya terselip sebuah keris. Tangannya mengayun memegang tongkat seakan sedang memimpin okestra dari delapan benih bunyi yang menjelma menjadi delapan lukisan di samping kiri dan kanan sang konduktor.
Secara keseluruhan pameran "Serupa Bunyi" memberikan pengalaman baru menikmati gamelan, tak hanya itu para perupa juga memberikan nilai bawha gamelan adalah benda yang lentur, dia dapat bertransformasi tanpa batas.*
Baca juga: Gending Puspowarno buka Festival Gamelan Internasional
Baca juga: Solo bawa pemain gamelan internasional "pulang kampung"
Pewarta: