Jakarta (ANTARA News Sumsel) - Saat musim kemarau tiba, ratusan warga Desa Patemon harus bersiap antre air bersih yang dibawa truk tanki PDAM.
Jam berapa pun truk datang, semua saling berebut mendapat air bersih.
Sekitar lima sampai enam truk tanki per hari harus didatangkan agar kebutuhan 1.392 kepala keluarga terpenuhi. Warga desa yang berada di Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang itu, seakan pasrah karena ada mitos bahwa desa mereka tidak bisa dibuat sumur gali.
Akibat kepercayaan itu selama ini sumber air bersih mengambil mata air yang jauhnya empat kilometer lebih melalui pipa-pipa besi dan paralon.
Kalau debitnya mata air turun akhirnya warga cuma pasrah.
Tahun 2012, Sukiman Budiono, seorang aparat desa mencoba menerobos mitos dengan membuat sumur gali. Biaya yang dikeluarkan hampir Rp20 juta karena kedalaman mencapai 36 meter, namun hanya mampu menghasilkan debit 300 sampai 500 liter per hari. Suplai itu tidak cukup untuk kebutuhan keluarga.
Saat musim hujan kalau pagi disedot hanya satu jam sudah habis dan harus menunggu sampai sore baru bisa disedot lagi.
Itu merupakan sekelumit cerita pilu masa lalu, karena sejak awal 2016, warga menemukan kebahagiaan yang luar biasa karena saat ini mitos soal sumur sudah luntur.
Sumur milik Budi, panggilan Sukiman Budiono, debitnya melonjak drastis. Itu semua berkat kesadaran masyarakat membangun sumur resapan di pekarangan.
Budi sendiri membangun dua sumur resapan di pekarangannya. Tetangga kanan kirinya juga ikut membuat sumur resapan. Praktis sumur gali itu dikelilingi lebih dari lima sumur resapan yang dibangun tahun 2014.
Sumur resapan ukuran 2x2 meter dengan kedalaman dua meter itu dibangun di lokasi yang memudahkan air hujan bisa masuk.
Setelah dua kali musim hujan, tepatnya awal 2016 tabungan air di tanah sudah mencukupi dan sumur gali mulai terus naik debitnya. Akhirnya ini sumur itu ikut digunakan oleh 20 tetangga Budi yang lain dengan perkiraan debit air mencapai 24.000 liter per hari. Bahkan saat ini ada delapan sumur lainnya yang dibangun warga dengan debit yang seperti tidak habis-habisnya.
Warga desa itu telah mampu menghapus mitos desa tanpa mata air menjadi desa yang mampu menyumbang cadangan air bagi anak cucu.
Sumbangan cadangan dari sekitar 320 sumur resapan yang ada di desa itu mampu meningkatkan debit mata air Senjoyo yang ada di bawahnya. Mata air itu mengalami peningkatan debit air dari 800 liter per detik di tahun 2012 menjadi 1.100 liter per detik di tahun 2017. Debit itu mendekati data debit tahun 1998 sebesar 1.200 liter per detik.
Mata air itu menjadi sumber air baku bagi PDAM Kota Salatiga serta sejumlah pabrik.
Budi ingin keberhasilan di desanya ditiru desa-desa lain yang mengalami krisis air bersih.
Ia juga mengucapkan terima kepada Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) yang melalui Program Pelayanan Air, Sanitasi dan Kebersihan di Daerah Perkotaan di Indonesia (IUWASH) telah mengenalkan teknologi sumur resapan. Adalah Serikat Paguyuban Petani Qarryah Toyyibah (SPPQT) yang ditunjuk untuk membangun sumur resapan atas biaya USAID IUWASH dan Coca Cola Foundation Indonesia (CCFI) di Desa Patemon, dan lima desa lainnya.
Enam desa itu merupakan daerah tangkapan air untuk mata air Senjoyo. Di Patemon sendiri mendapat jatah 320 sumur resapan.
Teknologi Sederhana Sumur resapan merupakan teknologi sederhana untuk mengembalikan air limpasan ke dalam tanah sehingga cadangan air dalam tanah terus bertambah. Cadangan air yang cukup akan meningkatkan debit pada mata air alami maupun sumur gali yang ada di sekitarnya.
Asep Mulyana yang juga Ahli Sumber Daya Air dari Program Pelayanan Air, Program IUWASH mengatakan teknologi sumur resapan ini sudah lama dikenal, dan sederhana pembuatannya.
Sarjana geologi itu menjelaskan, menjelaskan sumur resapan yang dibuat dengan menggali tanah 2x2 meter dan kedalaman dua meter. Dinding dibuat bata yang disemen sementara bagian bawahnya tetap tanah. Lalu diisi kerikil setebal 30 centimeter dan diatasnya diberi ijuk setebal 20-30 centimeter. Setelah itu dibuat saluran agar air hujan mudah masuk dimana sebelum masuk sumur resapan dibuat bak kontrol untuk mengendapkan lumpur yang ikut terbawa air hujan.
Syarat teknis lainnya menurut Asep yaitu tanah yang mempunyai sifat porus, berada pada lahan tanah datar. Sumur resapan jangan dibuat pada lahan di lereng karena berpotensi mengakibatkan longsor.
Perawatan sumur resapan cukup mudah yaitu menjaga jangan sampai lubang masuknya air (inlet) dipenuhi sampah atau lumpur, perlu dibersihkan sebulan sekali. Sementara ijuk harus dibersihkan setahun sekali saat musim kemarau.
Penolakan
Ketika pertama kali diperkenalkan, banyak warga yang menolak karena kata sumur resapan terasa aneh bagi warga, apalagi mereka harus merelakan lahannya untuk tapak sumur. Ada yang minta uang sewa, ada juga yang minta ganti rugi tanah.
Sejumlah tokoh masyarakat didekati dan kemudian mendapat pendampingan termasuk diberi kesempatan studi banding di sebuah desa di Mojokerto yang sudah mendapat manfaat sumur resapan.
Tetapi berkat dukungan tokoh masyarakat yang sudah mengerti arti kelestarian air itu, pembangunan sumur resapan dilakukan tahun 2014.
Bahkan sebelum mereka mendapat hasil dari tabungan air itu,Badan Perwakilan Desa (BPD) bersama Pemerintah Desa Patemon membuat Perdes No.3 tahun 2015 tentang Tata Kelola Sumber Daya Air. Dalam perdes itu setiap warga yang memiliki atau mendirikan bangunan wajib membangun sumur resapan secara swadaya.
Perusahaan yang mendirikan pabrik di sana juga wajib membuat sumur resapan dengan volume 20 meter kubik. Pembahasan soal kewajiban itu dibicarakan dengan perwakilan perusahaan itu dan juga menerima aturan itu.
Kepala Desa Patemon Puji Rahayu juga mengungkapkan, program sumur resapan sudah masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RJPMDes) 2013-2019. Dengan dasar itu Pemerintah Desa mengalokasikan dana untuk pembangunan dan perawatan dua sumur resapan per tahun.
Jumlah sumur resapan yang dibangun dengan dana desa dan swadaya sejak 2015 sampai 2017 mencapai lima sumur resapan per tahun. Tahun 2018 direncanakan 8 sumur resapan dimana lima sumur dibangun atas biaya pemilik pabrik yang ada di Patemon.
Joko Waluyo, tokoh masyarakat setempat dan Ketua BPD Kabul Budiono sepakat untuk mendukung program 1.000 sumur resapan di desanya.
Mereka ingin menyumbang cadangan air bagi anak cucu mereka. Tidak peduli yang menerima manfaat mungkin warga dari kampung yang lain yang berada jauh di bawah Desa Patemon. Mereka juga tak mau menyumbang air banjir bagi daerah yang ada di bawahnya.
(T.B013/a011)
Jam berapa pun truk datang, semua saling berebut mendapat air bersih.
Sekitar lima sampai enam truk tanki per hari harus didatangkan agar kebutuhan 1.392 kepala keluarga terpenuhi. Warga desa yang berada di Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang itu, seakan pasrah karena ada mitos bahwa desa mereka tidak bisa dibuat sumur gali.
Akibat kepercayaan itu selama ini sumber air bersih mengambil mata air yang jauhnya empat kilometer lebih melalui pipa-pipa besi dan paralon.
Kalau debitnya mata air turun akhirnya warga cuma pasrah.
Tahun 2012, Sukiman Budiono, seorang aparat desa mencoba menerobos mitos dengan membuat sumur gali. Biaya yang dikeluarkan hampir Rp20 juta karena kedalaman mencapai 36 meter, namun hanya mampu menghasilkan debit 300 sampai 500 liter per hari. Suplai itu tidak cukup untuk kebutuhan keluarga.
Saat musim hujan kalau pagi disedot hanya satu jam sudah habis dan harus menunggu sampai sore baru bisa disedot lagi.
Itu merupakan sekelumit cerita pilu masa lalu, karena sejak awal 2016, warga menemukan kebahagiaan yang luar biasa karena saat ini mitos soal sumur sudah luntur.
Sumur milik Budi, panggilan Sukiman Budiono, debitnya melonjak drastis. Itu semua berkat kesadaran masyarakat membangun sumur resapan di pekarangan.
Budi sendiri membangun dua sumur resapan di pekarangannya. Tetangga kanan kirinya juga ikut membuat sumur resapan. Praktis sumur gali itu dikelilingi lebih dari lima sumur resapan yang dibangun tahun 2014.
Sumur resapan ukuran 2x2 meter dengan kedalaman dua meter itu dibangun di lokasi yang memudahkan air hujan bisa masuk.
Setelah dua kali musim hujan, tepatnya awal 2016 tabungan air di tanah sudah mencukupi dan sumur gali mulai terus naik debitnya. Akhirnya ini sumur itu ikut digunakan oleh 20 tetangga Budi yang lain dengan perkiraan debit air mencapai 24.000 liter per hari. Bahkan saat ini ada delapan sumur lainnya yang dibangun warga dengan debit yang seperti tidak habis-habisnya.
Warga desa itu telah mampu menghapus mitos desa tanpa mata air menjadi desa yang mampu menyumbang cadangan air bagi anak cucu.
Sumbangan cadangan dari sekitar 320 sumur resapan yang ada di desa itu mampu meningkatkan debit mata air Senjoyo yang ada di bawahnya. Mata air itu mengalami peningkatan debit air dari 800 liter per detik di tahun 2012 menjadi 1.100 liter per detik di tahun 2017. Debit itu mendekati data debit tahun 1998 sebesar 1.200 liter per detik.
Mata air itu menjadi sumber air baku bagi PDAM Kota Salatiga serta sejumlah pabrik.
Budi ingin keberhasilan di desanya ditiru desa-desa lain yang mengalami krisis air bersih.
Ia juga mengucapkan terima kepada Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) yang melalui Program Pelayanan Air, Sanitasi dan Kebersihan di Daerah Perkotaan di Indonesia (IUWASH) telah mengenalkan teknologi sumur resapan. Adalah Serikat Paguyuban Petani Qarryah Toyyibah (SPPQT) yang ditunjuk untuk membangun sumur resapan atas biaya USAID IUWASH dan Coca Cola Foundation Indonesia (CCFI) di Desa Patemon, dan lima desa lainnya.
Enam desa itu merupakan daerah tangkapan air untuk mata air Senjoyo. Di Patemon sendiri mendapat jatah 320 sumur resapan.
Teknologi Sederhana Sumur resapan merupakan teknologi sederhana untuk mengembalikan air limpasan ke dalam tanah sehingga cadangan air dalam tanah terus bertambah. Cadangan air yang cukup akan meningkatkan debit pada mata air alami maupun sumur gali yang ada di sekitarnya.
Asep Mulyana yang juga Ahli Sumber Daya Air dari Program Pelayanan Air, Program IUWASH mengatakan teknologi sumur resapan ini sudah lama dikenal, dan sederhana pembuatannya.
Sarjana geologi itu menjelaskan, menjelaskan sumur resapan yang dibuat dengan menggali tanah 2x2 meter dan kedalaman dua meter. Dinding dibuat bata yang disemen sementara bagian bawahnya tetap tanah. Lalu diisi kerikil setebal 30 centimeter dan diatasnya diberi ijuk setebal 20-30 centimeter. Setelah itu dibuat saluran agar air hujan mudah masuk dimana sebelum masuk sumur resapan dibuat bak kontrol untuk mengendapkan lumpur yang ikut terbawa air hujan.
Syarat teknis lainnya menurut Asep yaitu tanah yang mempunyai sifat porus, berada pada lahan tanah datar. Sumur resapan jangan dibuat pada lahan di lereng karena berpotensi mengakibatkan longsor.
Perawatan sumur resapan cukup mudah yaitu menjaga jangan sampai lubang masuknya air (inlet) dipenuhi sampah atau lumpur, perlu dibersihkan sebulan sekali. Sementara ijuk harus dibersihkan setahun sekali saat musim kemarau.
Penolakan
Ketika pertama kali diperkenalkan, banyak warga yang menolak karena kata sumur resapan terasa aneh bagi warga, apalagi mereka harus merelakan lahannya untuk tapak sumur. Ada yang minta uang sewa, ada juga yang minta ganti rugi tanah.
Sejumlah tokoh masyarakat didekati dan kemudian mendapat pendampingan termasuk diberi kesempatan studi banding di sebuah desa di Mojokerto yang sudah mendapat manfaat sumur resapan.
Tetapi berkat dukungan tokoh masyarakat yang sudah mengerti arti kelestarian air itu, pembangunan sumur resapan dilakukan tahun 2014.
Bahkan sebelum mereka mendapat hasil dari tabungan air itu,Badan Perwakilan Desa (BPD) bersama Pemerintah Desa Patemon membuat Perdes No.3 tahun 2015 tentang Tata Kelola Sumber Daya Air. Dalam perdes itu setiap warga yang memiliki atau mendirikan bangunan wajib membangun sumur resapan secara swadaya.
Perusahaan yang mendirikan pabrik di sana juga wajib membuat sumur resapan dengan volume 20 meter kubik. Pembahasan soal kewajiban itu dibicarakan dengan perwakilan perusahaan itu dan juga menerima aturan itu.
Kepala Desa Patemon Puji Rahayu juga mengungkapkan, program sumur resapan sudah masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RJPMDes) 2013-2019. Dengan dasar itu Pemerintah Desa mengalokasikan dana untuk pembangunan dan perawatan dua sumur resapan per tahun.
Jumlah sumur resapan yang dibangun dengan dana desa dan swadaya sejak 2015 sampai 2017 mencapai lima sumur resapan per tahun. Tahun 2018 direncanakan 8 sumur resapan dimana lima sumur dibangun atas biaya pemilik pabrik yang ada di Patemon.
Joko Waluyo, tokoh masyarakat setempat dan Ketua BPD Kabul Budiono sepakat untuk mendukung program 1.000 sumur resapan di desanya.
Mereka ingin menyumbang cadangan air bagi anak cucu mereka. Tidak peduli yang menerima manfaat mungkin warga dari kampung yang lain yang berada jauh di bawah Desa Patemon. Mereka juga tak mau menyumbang air banjir bagi daerah yang ada di bawahnya.
(T.B013/a011)