Pekanbaru (ANTARA Sumsel) - Tanjak yang merupakan tutup kepala khas Melayu Riau dengan filosofinya atau seperti blangkon pada masyarakat Jawa kian dikenal warga Riau hingga nusantara dan kini pemasarannya mulai marak.
Pemilik usaha Tanjak Caraka Corporation Alfa Noni di Pekanbaru, Minggu, menyatakan, dalam 2-3 minggu ini pihaknya sudah memasarkan ratusan Tanjak sebagai unit usaha yang baru digelutinya selain katering dan ajang atau event.
"Kami pasarkan Tanjak saat ada kegiatan pemerintah seperti Rapat Koordinasi, pameran termasuk di luar Riau serta dibawa utusan Riau yang punya kegiatan di daerah lain," ujarnya.
Ia juga berniat mengisi kebutuhan tanjak di anjungan Riau di Taman Mini Indonesia Indah untuk dipasarkan kepada pengunjung sebagai suvenir dengan permintaan 100 unit setiap kali pesan. "Kami belum berani MoU karena produksinya masih terbatas dan takut tidak bisa memenuhi kesepakatan," ujar Noni sambil menjelaskan hanya ada lima pekerja yang memproduksi tanjak di tempat usahanya.
Tanjak yang diproduksinya lebih untuk kebutuhan suvenir sekalian mengenalkan peci khas Melayu kepada masyarakat Indonesia. Atas dasar itu ia juga aktif memiralkan dan memasarkan tanjak melalui media sosial dan online.
Untuk tanjak yang biasa dipakai raja atau hulubalang dengan menggunakan kain tenus asli Siak, harganya ratusan ribu rupiah, sementara tanjak yang dipasarkan dengan corak Melayu berkisar seharga Rp50-100 ribu saja perbuahnya.
Noni menjelaskan sudah minta izin untuk memroduksi tanjak secara masif. "Kalau mengacu ke lembaga adat Melayu bentuk tanjak itu beda-beda ada yang motif Dendam Tak Sudah, Hulubalang dan Elang, namun yang kita produksi murni untuk suvenir," jelasnya.
Saat ini Tanjak mulai marak dipasarkan di arena pameran, di gerai penjualan suvenir, Pasar Bawah Pekanbaru, hingga distro yang bisa memasarkan busana kasual ikut menjual tanjak.
"Dewan Kerajinan Nasional Daerah di berbagai kabupaten dan kota di Riau ikut membuat tanjak. Kita berharap ada regulasi pemerintah agar penggunaan tanjak kian marak dalam mengkristalkan Riau sebagai entitas Melayu," ujarnya.
Siak yang merupakan pusat dari kerajaan Melayu di Riau menurut Bupati Siak Syamsuar pihaknya akan mendorong pengrajin agar lebih banyak lagi memproduksi Tanjak. "Setiap tamu yang datang ke Siak, akan dikasih cenderamata, salah satunya Tanjak," ujarnya.
Ia menyatakan tamu khusus yang datang ke Siak akan dikasih Tanjak sebagai bentuk melestarikan budaya Melayu, apalagi Siak merupakan muasal berkembangnya kebudayaan Melayu di Riau. Kalau ingin mengetahui sejarah Melayu, ya memang di Siak ini tempatnya," jelas Syamsuar.
Di Riau kini juga sudah ada komunitas Tanjak yang anggotanya sebagian besar anak muda. Mereka mempopulerkan kembali Tanjak ini sebagai identitas pria Melayu.
Pemilik usaha Tanjak Caraka Corporation Alfa Noni di Pekanbaru, Minggu, menyatakan, dalam 2-3 minggu ini pihaknya sudah memasarkan ratusan Tanjak sebagai unit usaha yang baru digelutinya selain katering dan ajang atau event.
"Kami pasarkan Tanjak saat ada kegiatan pemerintah seperti Rapat Koordinasi, pameran termasuk di luar Riau serta dibawa utusan Riau yang punya kegiatan di daerah lain," ujarnya.
Ia juga berniat mengisi kebutuhan tanjak di anjungan Riau di Taman Mini Indonesia Indah untuk dipasarkan kepada pengunjung sebagai suvenir dengan permintaan 100 unit setiap kali pesan. "Kami belum berani MoU karena produksinya masih terbatas dan takut tidak bisa memenuhi kesepakatan," ujar Noni sambil menjelaskan hanya ada lima pekerja yang memproduksi tanjak di tempat usahanya.
Tanjak yang diproduksinya lebih untuk kebutuhan suvenir sekalian mengenalkan peci khas Melayu kepada masyarakat Indonesia. Atas dasar itu ia juga aktif memiralkan dan memasarkan tanjak melalui media sosial dan online.
Untuk tanjak yang biasa dipakai raja atau hulubalang dengan menggunakan kain tenus asli Siak, harganya ratusan ribu rupiah, sementara tanjak yang dipasarkan dengan corak Melayu berkisar seharga Rp50-100 ribu saja perbuahnya.
Noni menjelaskan sudah minta izin untuk memroduksi tanjak secara masif. "Kalau mengacu ke lembaga adat Melayu bentuk tanjak itu beda-beda ada yang motif Dendam Tak Sudah, Hulubalang dan Elang, namun yang kita produksi murni untuk suvenir," jelasnya.
Saat ini Tanjak mulai marak dipasarkan di arena pameran, di gerai penjualan suvenir, Pasar Bawah Pekanbaru, hingga distro yang bisa memasarkan busana kasual ikut menjual tanjak.
"Dewan Kerajinan Nasional Daerah di berbagai kabupaten dan kota di Riau ikut membuat tanjak. Kita berharap ada regulasi pemerintah agar penggunaan tanjak kian marak dalam mengkristalkan Riau sebagai entitas Melayu," ujarnya.
Siak yang merupakan pusat dari kerajaan Melayu di Riau menurut Bupati Siak Syamsuar pihaknya akan mendorong pengrajin agar lebih banyak lagi memproduksi Tanjak. "Setiap tamu yang datang ke Siak, akan dikasih cenderamata, salah satunya Tanjak," ujarnya.
Ia menyatakan tamu khusus yang datang ke Siak akan dikasih Tanjak sebagai bentuk melestarikan budaya Melayu, apalagi Siak merupakan muasal berkembangnya kebudayaan Melayu di Riau. Kalau ingin mengetahui sejarah Melayu, ya memang di Siak ini tempatnya," jelas Syamsuar.
Di Riau kini juga sudah ada komunitas Tanjak yang anggotanya sebagian besar anak muda. Mereka mempopulerkan kembali Tanjak ini sebagai identitas pria Melayu.