Setidaknya ada 21 orang telah mendiami Istana Merdeka yaitu 15 gubernur jenderal Hindia Belanda, tiga Saiko Syikikan (Panglima Tertinggi Tentara XVI Jepang di Jawa), dan tiga Presiden RI.

Namun, dari 15 gubernur jenderal Belanda itu, hanya empat orang yang benar-benar tinggal di israna Merdeka, yang lainnya memilih Istana Bogor.

Presiden RI yang betul-betul tinggal di istana adalah Presiden pertama Soekarno, Presiden keempat Abdurrahman Wahid dan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono yang awalnya memakai Istana Merdeka sebagai tempat tinggal.

Tapi saat atap Istana Merdeka direnovasi SBY dan keluarga pindah ke Istana Negara sampai akhir masa jabatannya.

Presiden Soekarno dan keluarga tidur di kamar-kamar yang tersedia di Istana Merdeka. Kamar tidur Presiden Soekarno tidak mempunyai kamar mandi sendiri, ia dan Ibu Fatmawati menggunakan kamar mandi yang terletak di belakang kamar tidur, bersebelahan dengan kamar tidur Guntur, anak sulung mereka. Semuanya berada di sisi timur Istana Merdeka.

Atas persetujuan Presiden Soeharto, bekas kamar tidur Presiden Soekarno pada 1997 direnovasi dan diubah menjadi tempat menyimpan bendera pusaka, dan naskah asli Proklamasi Kemerdekaan.

Patung dada dua proklamator Soekarno dan Hatta tadinya ditempatkan di ruang itu sudah dipindah keluar dekat ruang resepsi. Pada dinding utara ruang pusaka itu dipasang relief yang menggambarkan Sayuti Melik mengetik teks proklamasi, sedangkan relief pada dinding selatan menggambarkan Ibu Fatmawati menjahit Bendera Pusaka.

Di antara semua Presiden RI, Presiden Habibie yang paling sering membawa tamunya mengunjungi ruang Bendera Pusaka ini

Ketika putra-putri Soekarno masih kecil, mereka tidak dikirim ke sekolah umum. Satu gazebo di pelataran tengah diubah menjadi kelas taman kanak-kanak bagi mereka. Gazebo itu pada masa Hindia-Belanda dipakai sebagai muziek-kopel-tempat para pemusik bermain pada acara-acara pesta kebun.

Guru untuk taman kanak-kanak itu didatangkan ke sana. Anak-anak staf Istana yang seusia juga diajak "bersekolah" di situ untuk menemani putra-putri Bung Karno. Kebanyakan mereka tinggal di bangunan samping untuk karyawan Istana.

Di pelataran juga terdapat sebuah bangunan yang disebut sanggar. Bangunan itu terbuat dari kayu, bertingkat dua, dan sering dipakai Bung Karno sebagai studio untuk melukis atau menulis naskah pidato.

Di atas lokasi ini Presiden Soeharto membangun Puri Bhakti Renatama yang berfungsi sebagai museum untuk menyimpan lukisan dan benda-benda seni. Museum itu lalu pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri diubah menjadi kantor presiden hingga saat ini.

Bekas ruang tidur Ibu Fatmawati di sisi barat, di samping belakang ruang kerja Presiden, diubah menjadi dua ruang tidur untuk istirahat kepala negara, dilengkapi dengan kamar mandi yang telah direnovasi.

Presiden Soeharto hanya menggunakan ruang ini untuk bermalam setiap tanggal 16 Agustus setelah mengikuti upacara renungan suci di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, menjelang upacara peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan.

Satu yang unik, satu bendera kuning bergambar bintang, padi, dan kapas terpancang di ruang tunggu tamu Istana Negara. Pada masa pemerintahan Bung Karno, bendera ini dipakai sebagai penanda keberadaan Presiden. Ia akan berkibar di puncak Istana Negara ketika Presiden ada dan tentu tidak berkibar ketika Presiden sedang di luar. Fungsi bendara ini tak dipakai lagi sejak masa pemerintahan Soeharto.
   
             Jejak Presiden
Dalam buku 17/71: Goresan Juang Kemerdekaan, Koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia yang ditulis Mikke Susanto dan Agus Dermawan T (2016), Ibu Tien Soeharto mendorong suaminya memindahkan satu lukisan warisan Presiden Soekarno dari tempat asalnya yaitu Jenderal Sudirman karya Joes Soepadyo.

Karya seni yang sangat disenangi Presiden Soekarno itu kemudian ditempatkan di ruang Jepara yang biasa digunakan Presiden Soeharto menerima tamu-tamu negara.


Bagian belakang Istana Merdeka Jakarta. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

Konon hal itu disebabkan oleh penghormatan yang bersifat historikal karena Jenderal Sudirman adalah komandan Soeharto pada saat revolusi di Jawa Tengah. Sejak itu, setiap kali televisi menyiarkan pertemuan Soeharto dan tamu-tamunya, lukisan Jenderal Sudirman selalu tampak menemani.

Presiden ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie yang hanya punya masa pemerintahan yang singkat, namun Habibie sempat meninggalkan jejak yang khas.

Ia mencopot dua lukisan karya Basoeki Abdullah, Gatotkaca yang menggambarkan kisah penculikan Shinta dan Pergiwa Pergiwati serta Joko Tarub dari ruang resepsi Istana. Dua lukisan berukuran besar itu menunjukkan gambar wanita-wanita cantik dan sensual.

"Sebenarnya saya sudah ingin menurunkan itu sejak saya jadi Wakil Presiden" kata BJ Habibie seperti dikutip dalam buku tersebut. Akhirnya kedua lukisan itu dilimpahkan ke Istana Yogyakarta.

Dinding lebar yang ditinggalkan kosong lalu diisi dua cermin besar. Cermin raksasa di tengah ruang resepsi memang tak lazim di istana-istana kepala negara lain di seluruh dunia.

Habibie juga sempat melakukan beberapa pemugaran bagian belakang Istana Merdeka. Dinding berkaca yang sebelumnya terletak di sana dibongkar sebab dianggap menciptakan sekat.

Ruangan pun serta merta berubah menjadi serambi. Pada dindingnya kemudian diletakkan pahatan tujuh panel relief kaligrafi Arab yang terbuat dari gipsum.

Habibi memang dikenal sebagai sosok Islami yang juga menjadi pimpinan tertinggi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) saat itu.

Pada masa kepemimpinan Kiai Haji Abdurrahman Wahid alias Gusdur pada 1999-2001, istana dijadikan rumah rakyat. Semua hal yang bersifat protokoler dikendurkan, keluar masuk istana jadi lebih mudah dibanding sebelumnya.

Gus Dur relatif hanya menggunakan kedua istana di Jakarta sebagai kediaman dan tempatnya bekerja. Ia juga bekerja di ruang kerja Bung Karno. Gus Dur memindahkan keluarganya ke Istana Merdeka. Ia menggunakan ruang tidur yang semula dipergunakan Bung Karno di Istana Merdeka.

Ia membiarkan keadaan istana seperti sedia kala. Aneka keramik berbentuk vas besar, piring dan guci dibiarkan tertata di sejumlah almari dan sudut ruangan. Saat ditawari untuk mengubahnya, Gus Dur menolak.

"Lha diubah bagaimana pun saya juga gak lihat, Jadi buat apa?" katanya serius.

Gus Dur punya dua 2 kantor kepresidenan di kompleks Istana Presiden yakni Gedung Bina Graha yang sebelumnya juga digunakan Presiden Soeharto dan gedung di sayap kanan Istana Merdeka.

Interior kantor Presiden di Bina Graha tidak diubah sedikit pun, bahkan penyekat ruang berupa kulit bertatah wayang dari Soeharto untuk meisahkan ruang makan tak banyak bergeser. Begitu pula hiasan dinding di lorong kantor sayap kiri Istana. Lukisan Gajah Mada karya Henk Ngantung serta lukisan pemandangan karya Basoeki Abdullah tetap terpajang.

Gus Dur beserta keluarganya tinggal di sayap kiri dan kanan Istana Merdeka. Di sisi bangunan terlihat sentuhan seni ibu negara, Siti Nuriyah Abdurrahman Wahid yang menjadikan sebagian besar elemen rumah mulai dari gorden sampai permadani didominasi warna biru. Alasannya, istana-istana negara yang pernah ia kunjungi di dunia tidak ada yang berwarna biru.

Ibu Siti Nuriyah memaknai biru sebagai warna yang membawa ketenangan hati, bagai kemilau langit tak berawan, bagai laut tak bercakrawala. Ia meletakkan khat atau gambar kaligrafi Arab di dinding ruangan.

Hanya satu perubahan prinsip yang dilakukan Gus Dur. Semua patung atau karya seni tiga dimensi terutama di ruang kerja presiden dan staf-stafnya disingkrikan.

Karya-karya seniman Indonesia dan berbagai negara itu dipindahkan keluar ruang, seperti taman atau lapangan. Sementara patung-patung yang ukurangnya kecil oleh pihak pengelola benda seni istana dimasukkan ke dalam gudang Sanggar Lukisan Istana Presiden.

Gagasan menyingkirkan patung-patung sesungguhnya bukan murni dari Gus Dur tapi dari beberapa penasihatnya yang menganggap patung sebagai embrio berhala. Meski demikian Gus Dur menyatakan bertanggung jawab atas semua langkah itu.

Ia meyakini para penasihatnya paham bahwa pasal keberhalaan dalam Islam adalah tafsir masa silam yang sudah dikaji berdasarkan latar belakang turunnya hadis. Untuk masa sekarang, patung-patung figuratif itu sesungguhnya sudah bersifat mubah atau boleh jadi penyingkiran itu hanya soal estetika dekorasi istana saja. (Bersambung)

(T.D017/Santoso)
    








Pewarta : Desca Lidya Natalia
Editor : Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024