Jakarta (ANTARA Sumsel)-Direktur Jenderal Perhubungan Laut Antonius Tonny Budiono
menyatakan minta maaf setelah ditetapkan sebagai tersangka dugaan tindak
pidana korupsi suap terkait perizinan dan pengadaan proyek-proyek di
lingkungan Ditjen Hubla Tahun Anggaran 2016-2017.
KPK pun telah menahan dua tersangka
itu untuk 20 hari pertama. ATB ditahan di Rumah Tahanan Klas I Jakarta
Timur Cabang KPK Pomdam Jaya Guntur dan APK ditahan di Polres Jakarta
Timur.
Tonny saat keluar dari gedung KPK, Jakarta, Jumat dini hari,
menyatakan bahwa atas nama pribadi memohon maaf kepada masyarakat atas
kasus suap yang menjerat dirinya itu.
"Mudah-mudahan ini tidak terulang lagi," kata Tonny yang juga sudah mengenakan rompi oranye khas tahanan KPK itu.
Ia pun menyatakan bahwa uang sekitar Rp20 miliar yang diamankan KPK
terkait kasus itu merupakan uang operasional bagi dirinya.
Namun, ia tak membantah jika uang yang diterimanya itu melanggar aturan.
"Ini untuk operasional tetapi melanggar aturan," ucap Tonny.
Sementara itu, Komisaris PT Adhi Guna Keruktama (AGK) Adiputra
Kurniawan (APK) tersangka pemberi suap kepada Dirjen Hubla memilih
bungkam dan tidak memberikan komentar apapun kepada awak media.
KPK menetapkan dua tersangka dugaan tindak pidana korupsi suap
terkait perizinan dan pengadaan proyek-proyek di lingkungan Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut (Hubla) Tahun Anggaran 2016-2017.
"Setelah pemeriksaan awal yang dilanjutkan gelar perkara,
disimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau
janji terkait perizinan dan pengadaan proyek-proyek barang dan jasa di
lingkungan Ditjen Perhubungan Laut Tahun Anggaran 2016-2017 yang diduga
dilakukan oleh Dirjen Perhubungan Laut Antonius Tonny Budiono (ATB),"
kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat konferensi pers di gedung
KPK, Jakarta, Kamis (24/8) malam.
KPK
meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan sejalan dengan
penetapan dua orang tersangka, yaitu Antonius Tonny Budiono (ATB) dan
Komisaris PT Adhi Guna Keruktama (AGK) Adiputra Kurniawan (APK).
Lebih lanjut, Basaria menyatakan dari kegiatan operasi tangkap
tangan yang dilakukan pada 23-24 Agustus 2017, KPK mengamankan sejumlah
uang dan kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM).
Pertama, empat kartu ATM dari tiga bank penerbit yang berbeda dalam penguasaan ATB.
Kedua, 33 tas berisi uang dalam pecahan mata uang rupiah, dolar AS,
poundsterling, euro, ringgit Malaysia senilai total Rp18,9 miliar dalam
bentuk "cash" dan dalam rekening Bank Mandiri terdapat sisa saldo
Rp1,174 milir.
"Sehingga total uang yang ditemukan di Mess Perwira Dirjen Hubla adalah sekitar Rp20 miliar," kata Basaria.
Diduga, kata Basaria, pemberian uang oleh APK kepada ATB terkait
dengan pekerjaan pengerukan Pelabuhan Tanjung Mas Semarang.
Menurut Basaria, KPK mengungkap modus yang relatif baru dalam
operasi tangkap tangan kali ini karena penyerahan uang dilakukan dalam
bentuk ATM.
"Rekening dibuka oleh pemberi
menggunakan nama pihak lain atau diduga fiktif selanjutnya pemberi
menyerahkan ATM pada pihak penerima. Kemudian pemberi menyetorkan
sejumlah uang pada rekening tersebut karena bertahap dan penerima
menggunakan ATM dalam berbagai transaksi," ucap Basaria.
Sebagai pihak yang diduga pemberi, APK disangkakan melanggar pasal 5
ayat 1 huruf atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat-1 ke-1 KUHP.
Pasal itu yang mengatur mengenai memberi sesuatu kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri
atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara
dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Pihak yang diduga penerima, ATB disangkakan melanggar pasal 12 huruf
a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 yang diubah
dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20
tahun penjara dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1
miliar.