Muntok (Antarasumsel.com) - Dalam setiap Lebaran seperti pada Idul Fitri 1438 Hijriah ini, bagi masyarakat Bangka Barat kurang pas tanpa menghidangkan ketupat lengkap dengan opor ayam, rendang daging sapi dan sambal kering.
Ketupat menjadi salah satu hidangan khas masyarakat di Nusantara, termasuk di Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) saat perayaan Idul Fitri.
Namun, di sebagian besar warga Bangka Barat atau mungkin di seluruh Pulau Bangka kehadiran makanan berbahan beras tersebut rasanya tidak lengkap tanpa "lepat" beserta sambal asemnya.
Lepat atau dalam bahasa Jawa disebut "lepet" merupakan makanan yang mirip dengan ketupat, hanya bahannya yang berbeda yaitu terbuat dari beras ketan, parutan kelapa dan sedikit garam.
Dengan bahan dasar itu, lepat memiliki cita rasa gurih mengenyangkan.
Menurut Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat, Bambang Haryo Suseno, bagi masyarakat setempat, lepat menjadi salah satu hidangan wajib saat hari besar.
"Lepat merupakan salah satu menu spesial, jamaknya hanya dihidangkan pada perayaan besar, seperti Idul Fitri, Idul Adha dan sedekah kampung," katanya.
Dengan kekhasan cita rasa yang dimiliki, kuliner jenis makanan berat itu menjadi menu wajib dan selalu dirindukan setiap perayaan hari besar, selain beberapa jenis makanan berat lainnya, seperti soto, lakse, dan tekwan.
"Ciri khas makan lepat ya dicocol sambal asem, 'rasanya lebaran banget'," katanya tanpa bisa mendiskripsikan rasa gurih becampur pedas yang biasanya hanya bisa ditemukan saat lebaran.
Pada hari biasa lepat memang sulit didapatkan, bahkan di pasar atau penjual kue tradisional karena proses pembuatannya cukup lama dan butuh kesabaran.
"Butuh kesabaran dan ketelitian dalam memasak lepat agar mendapatkan cita rasa khas gurihnya," katanya.
Lepat berbahan baku beras ketan putih, parutan kelapa dan garam dengan proses pengerjaan hampir sama dengan memasak ketupat.
Mula-mula cuci beras ketan hingga bersih, direndam sekitar dua jam kemudian ditiriskan dan campurkan parutan kelapa serta garam secukupnya.
Setelah diaduk rata, masukkan adonan ke dalam selongsong terbuat dari bahan janur tanpa lidi yang dililit berbentuk seperti cerobong, sampai hampir penuh.
Kemudian ikat selongsong dengan tali, biarkan ujung janur menjuntai untuk memudahkan pengikatan antara selonsong lepat yang satu dengan lainnya seperti layaknya mengikat ketupat.
Masukkan bahan ke dalam panci besar yang sudah berisi air sampai semuanya terendam lalu masak dengan api sedang.
"Sesekali perlu ditambahkan air panas ke dalam panci agar lepat selalu terendam hingga adonan bahan yang di dalamnya matang merata," kata Nyai Yahya (54).
Mengolah lepat membutuhkan waktu seharian, biasanya dimulai sejak pagi hingga sore hari menjelang waktu shalat Ashar.
"Sehari sebelum lebaran masaknya, bersamaan waktunya dengan ketupat, namun dandangnya beda agar rasanya tidak saling bercampur," ujarnya.
Dalam memasak pun biasanya warga akan menggunakan tungku berbahan bakar kayu karena proses pembuatannya cukup lama.
Penggunaan kayu bakar mempertimbangkan keekonomisan produksi pengolahan lepat yang membutuhkan waktu cukup lama dengan panas tingkat tinggi dan stabil.
Kesabaran dan ketelatenan tidak hanya pada saat menyiapkan lepat, namun juga dalam mengolah sambal asam jodohnya lepat.
Sambal asam berbahan cabai merah besar dan kecil, bawang bombai, bawang merah, santan kelapa, gula kabung, asam jawa, garam dan sebagai penyedap rasa digunakan udang rebon.
Proses pembuatannya seperti mengolah sambal pada umumnya, namun akan terasa lebih lekat dan lezat rasanya jika seluruh bahan dilakukan dengan proses penumbukan manual.
"Lebih nikmat jika ditumbuk manual, kalau diblender nikmatnya kurang pas," kata perempuan yang mengaku sejak remaja selalu mendapat tugas memasak lepat untuk hidangan hari raya itu.
Menurut perempuan yang sudah memiliki empat orang cucu itu, lepat dan sambal asam merupakan menu wajib dan rasanya kurang afdal jika tidak terhidang di hari raya.
Bagi keluarga lama yang akan banyak dikunjungi tamu dan sanak saudara selalu menyajikan hidangan tersebut, bersamaan penyajiannya dengan ketupat, meskipun di meja sudah ada berbagai jenis makanan produk pabrik yang beraneka ragam warna dan rasa.
"Setiap tamu yang datang kami ajak makan lepat, kalau pantang ketan bisa memilih ketupat," katanya.
Selama menyantap hidangan, percakapan antara tuan rumah dan para tamu berlangsung akrab, sesekali diselingi senda gurau.
Suasana penuh keakraban dengan saling berbalas kunjungan di ujung barat Pulau Bangka tersebut sangat terasa, bukan hanya pada saat hari raya, namun berlangsung hingga satu minggu.
"Saling berbalas kunjungan saat lebaran merupakan salah satu budaya turun temurun yang tetap dipertahankan hingga saat ini," kata warga Sungaibaru, Paiman (65).
Menurut pensiunan salah satu perusahaan negara itu, budaya saling berbalas kunjungan saat Lebaran merupakan kebiasaan turun temurun dan perlu dilestarikan agar bisa diwariskan ke generasi selanjutnya.
"Dari zaman saya kecil sudah ada saling berbalas kunjungan seperti ini," katanya
Saat hari raya Idul Fitri, keluarga yang lebih muda mengunjungi rumah tetangga yang dianggap lebih tua atau yang dituakan untuk memberi ucapan hari raya dan saling memaafkan.
Bagi keluarga yang sudah dikunjungi, biasanya akan membalas kunjungan ke tetangga dan sanak saudara yang sudah bertamu, meskipun jarak rumah jauh, namun tetap membalas kunjungan.
Menurut Tri, warga pendatang dari Pulau Jawa yang sudah tujuh tahun menetap di Muntok, kebiasaan berbalas kunjungan tidak ditemukan di daerah asalnya.
"Di daerah kami, pada saat lebaran kalau sudah bertamu di tetangga atau kerabat sudah sah, tidak perlu berbalas kunjungan, mungkin ini yang membedakan tradisi berlebaran di Jawa dan Bangka," katanya.
Budaya saling balas kunjungan lengkap dengan suguhan lepat-sambal asam menjadi sebuah pembeda.
Kehadiran "lepat" atau lepet bukan sekadar menggenapi ketupat, namun menjadi ciri khas daerah bersama budaya saling kunjung.
Ketupat atau dalam bahasa Jawa kupat memiliki arti "ngaku lepat" atau mengakui setiap kesalahan lahir dan batin seperti yang diucapkan dalam hari raya Idul Fitri.
Kebesaran hati untuk memaafkan dan meminta maaf dengan kerendahan hati kepada orang tua, sanak saudara dan sesama tergambar melalui kehadiran ketupat.
Sedangkan "lepat" atau lepet (Jawa) merupakan singkatan dari "silep kang rapet" yang bermakna menutup rapat segala kesalahan yang sudah dimaafkan dan berjanji untuk tidak mengulanginya.
Dengan menyantap makanan gurih tersebut memunculkan pengharapan akan semakin eratnya tali persaudaraan seperti lengketnya ketan dalam sepotong "lepat".
Ketupat menjadi salah satu hidangan khas masyarakat di Nusantara, termasuk di Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) saat perayaan Idul Fitri.
Namun, di sebagian besar warga Bangka Barat atau mungkin di seluruh Pulau Bangka kehadiran makanan berbahan beras tersebut rasanya tidak lengkap tanpa "lepat" beserta sambal asemnya.
Lepat atau dalam bahasa Jawa disebut "lepet" merupakan makanan yang mirip dengan ketupat, hanya bahannya yang berbeda yaitu terbuat dari beras ketan, parutan kelapa dan sedikit garam.
Dengan bahan dasar itu, lepat memiliki cita rasa gurih mengenyangkan.
Menurut Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat, Bambang Haryo Suseno, bagi masyarakat setempat, lepat menjadi salah satu hidangan wajib saat hari besar.
"Lepat merupakan salah satu menu spesial, jamaknya hanya dihidangkan pada perayaan besar, seperti Idul Fitri, Idul Adha dan sedekah kampung," katanya.
Dengan kekhasan cita rasa yang dimiliki, kuliner jenis makanan berat itu menjadi menu wajib dan selalu dirindukan setiap perayaan hari besar, selain beberapa jenis makanan berat lainnya, seperti soto, lakse, dan tekwan.
"Ciri khas makan lepat ya dicocol sambal asem, 'rasanya lebaran banget'," katanya tanpa bisa mendiskripsikan rasa gurih becampur pedas yang biasanya hanya bisa ditemukan saat lebaran.
Pada hari biasa lepat memang sulit didapatkan, bahkan di pasar atau penjual kue tradisional karena proses pembuatannya cukup lama dan butuh kesabaran.
"Butuh kesabaran dan ketelitian dalam memasak lepat agar mendapatkan cita rasa khas gurihnya," katanya.
Lepat berbahan baku beras ketan putih, parutan kelapa dan garam dengan proses pengerjaan hampir sama dengan memasak ketupat.
Mula-mula cuci beras ketan hingga bersih, direndam sekitar dua jam kemudian ditiriskan dan campurkan parutan kelapa serta garam secukupnya.
Setelah diaduk rata, masukkan adonan ke dalam selongsong terbuat dari bahan janur tanpa lidi yang dililit berbentuk seperti cerobong, sampai hampir penuh.
Kemudian ikat selongsong dengan tali, biarkan ujung janur menjuntai untuk memudahkan pengikatan antara selonsong lepat yang satu dengan lainnya seperti layaknya mengikat ketupat.
Masukkan bahan ke dalam panci besar yang sudah berisi air sampai semuanya terendam lalu masak dengan api sedang.
"Sesekali perlu ditambahkan air panas ke dalam panci agar lepat selalu terendam hingga adonan bahan yang di dalamnya matang merata," kata Nyai Yahya (54).
Mengolah lepat membutuhkan waktu seharian, biasanya dimulai sejak pagi hingga sore hari menjelang waktu shalat Ashar.
"Sehari sebelum lebaran masaknya, bersamaan waktunya dengan ketupat, namun dandangnya beda agar rasanya tidak saling bercampur," ujarnya.
Dalam memasak pun biasanya warga akan menggunakan tungku berbahan bakar kayu karena proses pembuatannya cukup lama.
Penggunaan kayu bakar mempertimbangkan keekonomisan produksi pengolahan lepat yang membutuhkan waktu cukup lama dengan panas tingkat tinggi dan stabil.
Kesabaran dan ketelatenan tidak hanya pada saat menyiapkan lepat, namun juga dalam mengolah sambal asam jodohnya lepat.
Sambal asam berbahan cabai merah besar dan kecil, bawang bombai, bawang merah, santan kelapa, gula kabung, asam jawa, garam dan sebagai penyedap rasa digunakan udang rebon.
Proses pembuatannya seperti mengolah sambal pada umumnya, namun akan terasa lebih lekat dan lezat rasanya jika seluruh bahan dilakukan dengan proses penumbukan manual.
"Lebih nikmat jika ditumbuk manual, kalau diblender nikmatnya kurang pas," kata perempuan yang mengaku sejak remaja selalu mendapat tugas memasak lepat untuk hidangan hari raya itu.
Menurut perempuan yang sudah memiliki empat orang cucu itu, lepat dan sambal asam merupakan menu wajib dan rasanya kurang afdal jika tidak terhidang di hari raya.
Bagi keluarga lama yang akan banyak dikunjungi tamu dan sanak saudara selalu menyajikan hidangan tersebut, bersamaan penyajiannya dengan ketupat, meskipun di meja sudah ada berbagai jenis makanan produk pabrik yang beraneka ragam warna dan rasa.
"Setiap tamu yang datang kami ajak makan lepat, kalau pantang ketan bisa memilih ketupat," katanya.
Selama menyantap hidangan, percakapan antara tuan rumah dan para tamu berlangsung akrab, sesekali diselingi senda gurau.
Suasana penuh keakraban dengan saling berbalas kunjungan di ujung barat Pulau Bangka tersebut sangat terasa, bukan hanya pada saat hari raya, namun berlangsung hingga satu minggu.
"Saling berbalas kunjungan saat lebaran merupakan salah satu budaya turun temurun yang tetap dipertahankan hingga saat ini," kata warga Sungaibaru, Paiman (65).
Menurut pensiunan salah satu perusahaan negara itu, budaya saling berbalas kunjungan saat Lebaran merupakan kebiasaan turun temurun dan perlu dilestarikan agar bisa diwariskan ke generasi selanjutnya.
"Dari zaman saya kecil sudah ada saling berbalas kunjungan seperti ini," katanya
Saat hari raya Idul Fitri, keluarga yang lebih muda mengunjungi rumah tetangga yang dianggap lebih tua atau yang dituakan untuk memberi ucapan hari raya dan saling memaafkan.
Bagi keluarga yang sudah dikunjungi, biasanya akan membalas kunjungan ke tetangga dan sanak saudara yang sudah bertamu, meskipun jarak rumah jauh, namun tetap membalas kunjungan.
Menurut Tri, warga pendatang dari Pulau Jawa yang sudah tujuh tahun menetap di Muntok, kebiasaan berbalas kunjungan tidak ditemukan di daerah asalnya.
"Di daerah kami, pada saat lebaran kalau sudah bertamu di tetangga atau kerabat sudah sah, tidak perlu berbalas kunjungan, mungkin ini yang membedakan tradisi berlebaran di Jawa dan Bangka," katanya.
Budaya saling balas kunjungan lengkap dengan suguhan lepat-sambal asam menjadi sebuah pembeda.
Kehadiran "lepat" atau lepet bukan sekadar menggenapi ketupat, namun menjadi ciri khas daerah bersama budaya saling kunjung.
Ketupat atau dalam bahasa Jawa kupat memiliki arti "ngaku lepat" atau mengakui setiap kesalahan lahir dan batin seperti yang diucapkan dalam hari raya Idul Fitri.
Kebesaran hati untuk memaafkan dan meminta maaf dengan kerendahan hati kepada orang tua, sanak saudara dan sesama tergambar melalui kehadiran ketupat.
Sedangkan "lepat" atau lepet (Jawa) merupakan singkatan dari "silep kang rapet" yang bermakna menutup rapat segala kesalahan yang sudah dimaafkan dan berjanji untuk tidak mengulanginya.
Dengan menyantap makanan gurih tersebut memunculkan pengharapan akan semakin eratnya tali persaudaraan seperti lengketnya ketan dalam sepotong "lepat".