Jakarta (Antarasumsel.com) - Pemerintah menempuh upaya hukum menyusul keputusan pada Senin (8/5) untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sedangkan pihak HTI bersiap menyampaikan pembelaan bahwa organisasi kemasyarakatan (ormas) keislaman itu tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan memang diatur soal mekanisme pembubaran ormas.
Pada Bab XVII UU tersebut mengatur soal sanksi dan diatur dari pasal 60 hingga pasal 82.
Satu hal yang menarik dari kasus ini adalah pemerintah melalui Menko Polhukam Wiranto saat mengumumkan keputusan soal HTI, setelah rapat polhukam terbatas yang dihadiri antara lain oleh Mendagri Tjahjo Kumolo, Menkumham Yasonna Laoly, dan Kapolri Tito Karnavian, di Kementerian Polhukam, langsung menyampaikan lima butir keputusan, tidak menjelaskan berbagai tahapan mekanisme untuk membubarkan sebuah ormas.
Lima butir keputusan yang dibacakan oleh Wiranto adalah, pertama, sebagai organisasi kemasyarakatan berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Ketiga, aktivitas yang dilakukan oleh HTI nyata-nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat yang pada gilirannya dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat, mencermati berbagai perkembangan di atas serta menyerap aspirasi masyarakat maka pemerintah perlu mengambil langkah-langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI.
Kelima, keputusan ini diambil bukan berarti pemerintah anti terhadap ormas Islam namun semata-mata dalam rangka merawat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Sesuai ketentuan tentang sanksi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2017, mekanisme pembubaran ormas dilalui dengan berbagai tahapan.
Pertama adalah sanksi administratif terdiri atas peringatan tertulis (peringatan tertulis kesatu, kedua, dan ketiga dengan masa berlaku masing-masing jenjang peringatan tertulis itu paling lama 30 hari).
Bila seluruh jenjang peringatan tertulis itu tidak dipatuhi maka pemerintah menjatuhkan sanksi administratif lainnya berupa penghentian bantuan dan/atau hibah, penghentian sementara kegiatan, dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Pertimbangan MA
Dalam penghentian sementara kegiatan pun, pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung (pasal 65).
Apabila dalam jangka waktu paling lama 14 hari, Mahkamah Agung tidak memberikan pertimbangan hukum, pemerintah berwenang menjatuhkan sanksi penghentian sementara kegiatan ormas tersebut.
Penghentian sementara kegiatan ormas tersebut dijatuhkan untuk jangka waktu paling lama enam bulan (pasal 66 ayat 1).
Bila tidak mematuhi sanksi penghentian sementara, pemerintah dapat menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran ormas berbadan hukum.
Permohonan pembubaran ormas diajukan ke pengadilan negeri oleh kejaksaan hanya atas permintaan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Permohonan diajukan kepada ketua pengadilan negeri sesuai dengan tempat domisili hukum ormas dan panitera mencatat pendaftaran permohonan pembubaran sesuai dengan tanggal pengajuan.
Permohonan harus disertai bukti penjatuhan sanksi administratif oleh pemerintah (pasal 70 ayat 3).
Bila permohonan tidak disertai bukti penjatuhan sanksi administratif maka permohonan pembubaran ormas berbadan hukum tidak dapat diterima.
Dalam sidang pemeriksaan, ormas sebagai pihak termohon diberi hak untuk membela diri dengan memberikan keterangan dan bukti di persidangan.
Permohonan pembubaran ormas harus diputus oleh pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 60 hari terhitung sejak tanggap permohonan dicatat (pasal 71 ayat 1). Jangka waktu itu dapat diperpanjang paling lama 20 hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Para pihak pemohon dan termohon juga dapat mengajukan upaya hukum kasasi dari putusan pengadilan negeri, dalam jangka waktu 14 hari sejak tanggal putusan pengadilan negeri diucapkan dihadiri oleh para pihak.
Mahkamah Agung wajib mempelajari permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang dalam jangka waktu paling lama lima hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan kasasi dicatat oleh panitera Mahkamah Agung.
Permohonan kasasi harus diputus dalam jangka waktu paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal permohonan kasasi dicatat oleh panitera Mahkamah Agung (pasal 77 ayat 2).
Ormas legal
Sementara itu Juru Bicara DPP HTI Ismail Yusanto menanggapi bahwa HTI tidak pernah menerima pemberitahuan apapun terkait rencana pembubaran HTI, hingga akhirnya keputusan itu diambil pemerintah padahal HTI adalah organisasi legal yang beraktivitas berdakwah di Tanah Air selama 25 tahun. HTI pun belum pernah menerima sanksi administratif.
Atas keputusan pemerintah tersebut, HTI akan melakukan pembelaan di persidangan kelak.
Praktisi hukum Yusril Ihza Mahendra yang juga mantan Menkumham menanggapi bahwa pemerintah harus bersikap hati-hati dengan lebih dulu menempuh langkah persuasif baru kemudian menempuh langkah hukum untuk membubarkannya.
Langkah hukum itupun benar-benar harus didasarkan atas kajian yang mendalam dengan alat bukti yang kokoh, sebab jika tidak, permohonan pembubaran yang diajukan oleh jaksa atas permintaan Menkumham itu bisa dikalahkan di pengadilan oleh para pengacara HTI, katanya.
Dia mengatakan rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia adalah persoalan sensitif karena HTI walaupun belum tentu semua umat Islam Indonesia sepaham dengan pandangan keagamaan HTI, tetapi keberadaan HTI selama ini dihormati dan diakui kiprah dakwahnya.
Pemerintah, menurut Yusril, harus bersikap proporsional memperlakukan semua komponen bangsa sehingga semua golongan, semua komponen merasa sebagai bagian dari bangsa ini. Yang lemah terlindungi dan yang kuat tercegah dari tindakan sewenang-wenang.
Proses hukum di meja hijau dalam pembubaran HTI ini tampaknya akan berjalan cukup panjang. HTI harus bisa membuktikan dan meyakinkan berbagai kalangan bahwa organisasinya tidak sebagaimana yang dituduhkan.
HTI atau ormas apapun, agar kasus serupa tidak terjadi lagi pada ormas lain, harus bisa sejalan dengan pengertian ormas sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 yakni organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Tujuan Negara Kesatuan RI secara eksplisit disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan memang diatur soal mekanisme pembubaran ormas.
Pada Bab XVII UU tersebut mengatur soal sanksi dan diatur dari pasal 60 hingga pasal 82.
Satu hal yang menarik dari kasus ini adalah pemerintah melalui Menko Polhukam Wiranto saat mengumumkan keputusan soal HTI, setelah rapat polhukam terbatas yang dihadiri antara lain oleh Mendagri Tjahjo Kumolo, Menkumham Yasonna Laoly, dan Kapolri Tito Karnavian, di Kementerian Polhukam, langsung menyampaikan lima butir keputusan, tidak menjelaskan berbagai tahapan mekanisme untuk membubarkan sebuah ormas.
Lima butir keputusan yang dibacakan oleh Wiranto adalah, pertama, sebagai organisasi kemasyarakatan berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Ketiga, aktivitas yang dilakukan oleh HTI nyata-nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat yang pada gilirannya dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat, mencermati berbagai perkembangan di atas serta menyerap aspirasi masyarakat maka pemerintah perlu mengambil langkah-langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI.
Kelima, keputusan ini diambil bukan berarti pemerintah anti terhadap ormas Islam namun semata-mata dalam rangka merawat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Sesuai ketentuan tentang sanksi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2017, mekanisme pembubaran ormas dilalui dengan berbagai tahapan.
Pertama adalah sanksi administratif terdiri atas peringatan tertulis (peringatan tertulis kesatu, kedua, dan ketiga dengan masa berlaku masing-masing jenjang peringatan tertulis itu paling lama 30 hari).
Bila seluruh jenjang peringatan tertulis itu tidak dipatuhi maka pemerintah menjatuhkan sanksi administratif lainnya berupa penghentian bantuan dan/atau hibah, penghentian sementara kegiatan, dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Pertimbangan MA
Dalam penghentian sementara kegiatan pun, pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung (pasal 65).
Apabila dalam jangka waktu paling lama 14 hari, Mahkamah Agung tidak memberikan pertimbangan hukum, pemerintah berwenang menjatuhkan sanksi penghentian sementara kegiatan ormas tersebut.
Penghentian sementara kegiatan ormas tersebut dijatuhkan untuk jangka waktu paling lama enam bulan (pasal 66 ayat 1).
Bila tidak mematuhi sanksi penghentian sementara, pemerintah dapat menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran ormas berbadan hukum.
Permohonan pembubaran ormas diajukan ke pengadilan negeri oleh kejaksaan hanya atas permintaan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Permohonan diajukan kepada ketua pengadilan negeri sesuai dengan tempat domisili hukum ormas dan panitera mencatat pendaftaran permohonan pembubaran sesuai dengan tanggal pengajuan.
Permohonan harus disertai bukti penjatuhan sanksi administratif oleh pemerintah (pasal 70 ayat 3).
Bila permohonan tidak disertai bukti penjatuhan sanksi administratif maka permohonan pembubaran ormas berbadan hukum tidak dapat diterima.
Dalam sidang pemeriksaan, ormas sebagai pihak termohon diberi hak untuk membela diri dengan memberikan keterangan dan bukti di persidangan.
Permohonan pembubaran ormas harus diputus oleh pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 60 hari terhitung sejak tanggap permohonan dicatat (pasal 71 ayat 1). Jangka waktu itu dapat diperpanjang paling lama 20 hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Para pihak pemohon dan termohon juga dapat mengajukan upaya hukum kasasi dari putusan pengadilan negeri, dalam jangka waktu 14 hari sejak tanggal putusan pengadilan negeri diucapkan dihadiri oleh para pihak.
Mahkamah Agung wajib mempelajari permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang dalam jangka waktu paling lama lima hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan kasasi dicatat oleh panitera Mahkamah Agung.
Permohonan kasasi harus diputus dalam jangka waktu paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal permohonan kasasi dicatat oleh panitera Mahkamah Agung (pasal 77 ayat 2).
Ormas legal
Sementara itu Juru Bicara DPP HTI Ismail Yusanto menanggapi bahwa HTI tidak pernah menerima pemberitahuan apapun terkait rencana pembubaran HTI, hingga akhirnya keputusan itu diambil pemerintah padahal HTI adalah organisasi legal yang beraktivitas berdakwah di Tanah Air selama 25 tahun. HTI pun belum pernah menerima sanksi administratif.
Atas keputusan pemerintah tersebut, HTI akan melakukan pembelaan di persidangan kelak.
Praktisi hukum Yusril Ihza Mahendra yang juga mantan Menkumham menanggapi bahwa pemerintah harus bersikap hati-hati dengan lebih dulu menempuh langkah persuasif baru kemudian menempuh langkah hukum untuk membubarkannya.
Langkah hukum itupun benar-benar harus didasarkan atas kajian yang mendalam dengan alat bukti yang kokoh, sebab jika tidak, permohonan pembubaran yang diajukan oleh jaksa atas permintaan Menkumham itu bisa dikalahkan di pengadilan oleh para pengacara HTI, katanya.
Dia mengatakan rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia adalah persoalan sensitif karena HTI walaupun belum tentu semua umat Islam Indonesia sepaham dengan pandangan keagamaan HTI, tetapi keberadaan HTI selama ini dihormati dan diakui kiprah dakwahnya.
Pemerintah, menurut Yusril, harus bersikap proporsional memperlakukan semua komponen bangsa sehingga semua golongan, semua komponen merasa sebagai bagian dari bangsa ini. Yang lemah terlindungi dan yang kuat tercegah dari tindakan sewenang-wenang.
Proses hukum di meja hijau dalam pembubaran HTI ini tampaknya akan berjalan cukup panjang. HTI harus bisa membuktikan dan meyakinkan berbagai kalangan bahwa organisasinya tidak sebagaimana yang dituduhkan.
HTI atau ormas apapun, agar kasus serupa tidak terjadi lagi pada ormas lain, harus bisa sejalan dengan pengertian ormas sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 yakni organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Tujuan Negara Kesatuan RI secara eksplisit disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.