Di Provinsi Lampung, khususnya Kota Bandarlampung, kini banyak bermunculan kolam pemancingan sehingga penghobi memancing bisa memilih sendiri kolam mana, jenis ikan apa, serta sistem apa yang akan diikuti.
Pemilik pemancingan pun berusaha membuat lokasi senyaman mungkin serta meminta para pemancing memberikan masukan guna perbaikan, dengan harapan langganan tidak beralih ke tempat lain.
Masing-masing kolam dengan jenis ikan serta sistem berbeda memiliki penyuka yang berbeda. Misalnya mereka yang gemar mencari sensasi ikan lele ukuran konsumsi --orang setempat menyebutnya ukuran pecel lele-- ada tempatnya dan harus menyiapkan umpan beragam agar si kumis ukuran kecil itu menyukainya.
Untuk menaklukkan ikan yang memiliki patil itu, pemancing umumnya mengandalkan cacing. Cacing yang paling umum mereka bawa, yakni cacing sampah atau disebutnya cacing merah, karena ukurannya agak kecil, berwarna agak kemerahan dan lembut, sehingga disukai oleh ikan. Pemancing bisa mencari sendiri dengan mengorek-orek sampah agak basah yang sudah terlapisi tanah.
Ada juga jenis cacing lumpur dan ini agak sulit mencarinya. Bagi yang ingin mencari sendiri harus ke sawah atau tepian sungai dengan cara mengangkat lumpur dan menyaringnya.
Namun, bagi mereka yang tidak sempat mencari, kini semua sudah dimudahkan. Karena untuk kedua jenis cacing itu sudah ada yang menjualnya. Untuk cacing lumpur dijual dengan harga Rp5.000 di dalam gelas plastik bekas gelas minuman banyaknya sekitar satu setengah genggam orang dewasa.
Sedangkan cacing sampah atau cacing merah, biasanya di tempat pemancingan sudah menyediakan. Terserah berapa pemancing mau membelinya dan pengelola pemancingan akan memberikan sesuai harga yang diminta.
Sekarang ada pula cacing yang dibudidayakan dan dijual di kios-kios burung menggunakan wadah gelas plastik minuman ukuran lebih besar dengan harga Rp5.000 hingga Rp7.000 per gelasnya. Cacing ini jika tidak habis digunakan, biasanya dibawa pulang oleh pemancing dan akan digunakan saat memancing berikutnya.
Pengelola pemancingan pun ada yang menyediakan belut hidup dan memberikan jasa pemanggangan gratis. Harga belut satu ekor ukuran kelingking jari orang dewasa Rp2.000. Tinggal pemancing apakah akan menggunakan begitu saja belut bakar tersebut setelah dipotong-potong, atau diracik dengan ramuan lainnya sehingga memiliki aroma berbeda.
Dengan kemudahan itu, pemancing tinggal datang membawa uang dan alat pancing untuk menaklukkan si kecil berkumis.
Terkadang, orang yang awalnya datang hanya melihat, karena tertarik dan tidak membawa alat pancing, dipinjami oleh pengelola kolam dan umpan tinggal membeli di sana.
Sedangkan untuk ikan lele ukuran besar atau biasa disebut babonan, pemancing tidak begitu mempedulikan umpan apa yang dibutuhkan. Sebab, umumnya mereka hanya mengandalkan kemahiran serta kecepatan dalam menarik pancing saat pelampung bergoyang dengan harapan terkait di mana pun bagian tubuh ikan. Istilah di tempat itu, disebut "ngebangkol".
Hal serupa pun dapat terlihat di kolam pemancingan ikan patin sistem siraman. Atau biasa disebut patinan.
Baik ikan lele ukuran kecil, besar, dan patin sistem siraman, dilakukan satu jam sekali ikan-ikan tersebut dimasukkan ke dalam kolam sebanyak pemancing di sana dan jatahnya per pemancing setengah kilogram sekali siram (dimasukkan).
Biaya sekali siram bervariasi baik ikan lele kecil, besar dan ikan patin berkisar antara Rp10 ribu hingga Rp12 ribu. Dan itu yang menjadi salah satu pilihan pemancing di mana yang lebih murah, selain pelayanan dan ikannya bagus atau tidak.
Selain kedua jenis ikan tak bersisik itu, pemancingan ikan mas pun mulai mengembangkan sistem yang biasa dilakukannya. Seperti awalnya hanya siraman murni dan sistem harian (satu hari penuh sekali siram dengan harga tetap), kini diimbangi dengan sistem semigalatama pelampungan.
Sistem terakhir tersebut, saat ini digemari oleh pemancing karena hadiah yang disediakan bagi penarik ikan terberat pertama, terberat ke dua dan terbanyak.
Belum lagi jika mendapatkan ikan "jackpot" dengan hadiah yang sudah disepakati. Sebab, masing-masing kolam memberlakukan aturan berbeda terkait "jackpot". Ada yang menyerahkan seluruh hadiahnya dan ada yang hanya membatasi hingga jumlah tertentu sehingga masih ada sisa untuk sesi pemancingan selanjutnya.
Dalam sistem ini, pemancing pun bisa membawa pulang ikan bukan babon dan umumnya ukurannya di bawah satu kilogram.
Nasrul, salah satu pemancing, menyatakan menyukai sistem galatama pelampungan tersebut. Sebab, selama ini mengikuti galatama murni hanya mencari hadiah tanpa bisa mendapatkan ikan. Sebab, ikan yang ada di kolam semuanya babon, dan pemancing bersaing meraih ikan terberat serta berharap mendapatkan ikan "jackpot".
Dengan sistem galatama pelampungan, dengan Rp35 ribu per sesi selama dua jam, setiap pemancing dijatahi ikan seberat setengah kilogram, dan ikan-ikan tersebut yang bisa dibawa pulang.
Selain itu, waktu pemancingan rata-rata siang, sore dan malam hari. Sehingga di pagi hari bisa beraktivitas lain dan memilih waktu kapan yang bisa untuk mencari sensasi tarikan.
Untuk umpan, ia pun mengaku sudah melakukan beragam eksperimen. Bahkan, mencari masukan dari internet dan membeli "essen" dari yang ditawarkan melalui media sosial.
Beda dengan kolam harian atau siraman, untuk gatalama pelampungan mata pancing hanya boleh satu dan ada juga yang boleh dua serta tidak diperkenankan menggunakan kroto, cacing atau ulat pisang dan hanya menggunakan pellet ikan serta "essen".
Di sinilah, lanjut dia, bagaimana meracik umpan agar menarik ikan. Namun sebelumnya harus mengetahui karakter air dilihat dari kekeruhan, mengalir atau tidak, serta kedalamannya. Juga dilihat dari mana asal ikan tersebut. Sebab, kalau ikan asal Jawa Barat dan dari lokal setempat berbeda karakter dan aroma yang disukainya.
Sodri, pengelola pemancingan sistem galatama pelampungan di Kotasepang, Bandarlampung, mengatakan ia awalnya membuka galatama murni namun karena banyaknya permintaan pemancing akhirnya berubah sistem.
Ia pun mengakui banyak keinginan para pemancing yang beragam, namun dicari solusi terbaiknya.
Misalnya, ketika ikan kurang makan atau ikan nila sudah banyak dan mengganggu harus segera dikuras kolamnya. Dalam menguras dan membersihkan kolam ia pun mengundang sejumlah pemancing untuk menjadi saksi, yakni berapa banyak ikan babon serta ikan dasar kecil lainnya dan kemudian dimasukkan kembali ketika usai pengurasan.
Sebab, lanjut dia, bisa saja jika tidak ada saksi terjadi persepsi berbeda. Misalnya, ada yang beranggapan tidak ada ikan dasar, tidak ada ikan babon sehingga selama ini ikan tidak makan dan lainnya.
Di kolam milik Sodri jatah "jackpot" atas kesepakatan dengan pemancing dibatasi maksimal satu juta rupiah, meskipun di kas sudah mencapai lebih dari itu. Sehingga ada harapan bagi sesi berikutnya peluang pemancing mendapatkannya.
Selain itu, ia pun mau membeli ikan kecil hasil pemancing dan akan dijual kembali ke penampung. Ini yang menjadi kelebihan pengelolaanya sehingga banyak pemancing memilih ke tempat itu, karena terkadang pemancing tak ingin membawa pulang ikan, dan bisa dijadikan uang.
Pemilik pemancingan pun berusaha membuat lokasi senyaman mungkin serta meminta para pemancing memberikan masukan guna perbaikan, dengan harapan langganan tidak beralih ke tempat lain.
Masing-masing kolam dengan jenis ikan serta sistem berbeda memiliki penyuka yang berbeda. Misalnya mereka yang gemar mencari sensasi ikan lele ukuran konsumsi --orang setempat menyebutnya ukuran pecel lele-- ada tempatnya dan harus menyiapkan umpan beragam agar si kumis ukuran kecil itu menyukainya.
Untuk menaklukkan ikan yang memiliki patil itu, pemancing umumnya mengandalkan cacing. Cacing yang paling umum mereka bawa, yakni cacing sampah atau disebutnya cacing merah, karena ukurannya agak kecil, berwarna agak kemerahan dan lembut, sehingga disukai oleh ikan. Pemancing bisa mencari sendiri dengan mengorek-orek sampah agak basah yang sudah terlapisi tanah.
Ada juga jenis cacing lumpur dan ini agak sulit mencarinya. Bagi yang ingin mencari sendiri harus ke sawah atau tepian sungai dengan cara mengangkat lumpur dan menyaringnya.
Namun, bagi mereka yang tidak sempat mencari, kini semua sudah dimudahkan. Karena untuk kedua jenis cacing itu sudah ada yang menjualnya. Untuk cacing lumpur dijual dengan harga Rp5.000 di dalam gelas plastik bekas gelas minuman banyaknya sekitar satu setengah genggam orang dewasa.
Sedangkan cacing sampah atau cacing merah, biasanya di tempat pemancingan sudah menyediakan. Terserah berapa pemancing mau membelinya dan pengelola pemancingan akan memberikan sesuai harga yang diminta.
Sekarang ada pula cacing yang dibudidayakan dan dijual di kios-kios burung menggunakan wadah gelas plastik minuman ukuran lebih besar dengan harga Rp5.000 hingga Rp7.000 per gelasnya. Cacing ini jika tidak habis digunakan, biasanya dibawa pulang oleh pemancing dan akan digunakan saat memancing berikutnya.
Pengelola pemancingan pun ada yang menyediakan belut hidup dan memberikan jasa pemanggangan gratis. Harga belut satu ekor ukuran kelingking jari orang dewasa Rp2.000. Tinggal pemancing apakah akan menggunakan begitu saja belut bakar tersebut setelah dipotong-potong, atau diracik dengan ramuan lainnya sehingga memiliki aroma berbeda.
Dengan kemudahan itu, pemancing tinggal datang membawa uang dan alat pancing untuk menaklukkan si kecil berkumis.
Terkadang, orang yang awalnya datang hanya melihat, karena tertarik dan tidak membawa alat pancing, dipinjami oleh pengelola kolam dan umpan tinggal membeli di sana.
Sedangkan untuk ikan lele ukuran besar atau biasa disebut babonan, pemancing tidak begitu mempedulikan umpan apa yang dibutuhkan. Sebab, umumnya mereka hanya mengandalkan kemahiran serta kecepatan dalam menarik pancing saat pelampung bergoyang dengan harapan terkait di mana pun bagian tubuh ikan. Istilah di tempat itu, disebut "ngebangkol".
Hal serupa pun dapat terlihat di kolam pemancingan ikan patin sistem siraman. Atau biasa disebut patinan.
Baik ikan lele ukuran kecil, besar, dan patin sistem siraman, dilakukan satu jam sekali ikan-ikan tersebut dimasukkan ke dalam kolam sebanyak pemancing di sana dan jatahnya per pemancing setengah kilogram sekali siram (dimasukkan).
Biaya sekali siram bervariasi baik ikan lele kecil, besar dan ikan patin berkisar antara Rp10 ribu hingga Rp12 ribu. Dan itu yang menjadi salah satu pilihan pemancing di mana yang lebih murah, selain pelayanan dan ikannya bagus atau tidak.
Selain kedua jenis ikan tak bersisik itu, pemancingan ikan mas pun mulai mengembangkan sistem yang biasa dilakukannya. Seperti awalnya hanya siraman murni dan sistem harian (satu hari penuh sekali siram dengan harga tetap), kini diimbangi dengan sistem semigalatama pelampungan.
Sistem terakhir tersebut, saat ini digemari oleh pemancing karena hadiah yang disediakan bagi penarik ikan terberat pertama, terberat ke dua dan terbanyak.
Belum lagi jika mendapatkan ikan "jackpot" dengan hadiah yang sudah disepakati. Sebab, masing-masing kolam memberlakukan aturan berbeda terkait "jackpot". Ada yang menyerahkan seluruh hadiahnya dan ada yang hanya membatasi hingga jumlah tertentu sehingga masih ada sisa untuk sesi pemancingan selanjutnya.
Dalam sistem ini, pemancing pun bisa membawa pulang ikan bukan babon dan umumnya ukurannya di bawah satu kilogram.
Nasrul, salah satu pemancing, menyatakan menyukai sistem galatama pelampungan tersebut. Sebab, selama ini mengikuti galatama murni hanya mencari hadiah tanpa bisa mendapatkan ikan. Sebab, ikan yang ada di kolam semuanya babon, dan pemancing bersaing meraih ikan terberat serta berharap mendapatkan ikan "jackpot".
Dengan sistem galatama pelampungan, dengan Rp35 ribu per sesi selama dua jam, setiap pemancing dijatahi ikan seberat setengah kilogram, dan ikan-ikan tersebut yang bisa dibawa pulang.
Selain itu, waktu pemancingan rata-rata siang, sore dan malam hari. Sehingga di pagi hari bisa beraktivitas lain dan memilih waktu kapan yang bisa untuk mencari sensasi tarikan.
Untuk umpan, ia pun mengaku sudah melakukan beragam eksperimen. Bahkan, mencari masukan dari internet dan membeli "essen" dari yang ditawarkan melalui media sosial.
Beda dengan kolam harian atau siraman, untuk gatalama pelampungan mata pancing hanya boleh satu dan ada juga yang boleh dua serta tidak diperkenankan menggunakan kroto, cacing atau ulat pisang dan hanya menggunakan pellet ikan serta "essen".
Di sinilah, lanjut dia, bagaimana meracik umpan agar menarik ikan. Namun sebelumnya harus mengetahui karakter air dilihat dari kekeruhan, mengalir atau tidak, serta kedalamannya. Juga dilihat dari mana asal ikan tersebut. Sebab, kalau ikan asal Jawa Barat dan dari lokal setempat berbeda karakter dan aroma yang disukainya.
Sodri, pengelola pemancingan sistem galatama pelampungan di Kotasepang, Bandarlampung, mengatakan ia awalnya membuka galatama murni namun karena banyaknya permintaan pemancing akhirnya berubah sistem.
Ia pun mengakui banyak keinginan para pemancing yang beragam, namun dicari solusi terbaiknya.
Misalnya, ketika ikan kurang makan atau ikan nila sudah banyak dan mengganggu harus segera dikuras kolamnya. Dalam menguras dan membersihkan kolam ia pun mengundang sejumlah pemancing untuk menjadi saksi, yakni berapa banyak ikan babon serta ikan dasar kecil lainnya dan kemudian dimasukkan kembali ketika usai pengurasan.
Sebab, lanjut dia, bisa saja jika tidak ada saksi terjadi persepsi berbeda. Misalnya, ada yang beranggapan tidak ada ikan dasar, tidak ada ikan babon sehingga selama ini ikan tidak makan dan lainnya.
Di kolam milik Sodri jatah "jackpot" atas kesepakatan dengan pemancing dibatasi maksimal satu juta rupiah, meskipun di kas sudah mencapai lebih dari itu. Sehingga ada harapan bagi sesi berikutnya peluang pemancing mendapatkannya.
Selain itu, ia pun mau membeli ikan kecil hasil pemancing dan akan dijual kembali ke penampung. Ini yang menjadi kelebihan pengelolaanya sehingga banyak pemancing memilih ke tempat itu, karena terkadang pemancing tak ingin membawa pulang ikan, dan bisa dijadikan uang.