Palembang (Antarasumsel.com) - Petani di Sumatera Selatan hingga sekarang masih menjual karet dalam kondisi kotor sekitar 80 persen, sehingga merugikan masyarakat, karena harga jual jadi rendah.

Ketua DPW Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Indonesia Sumatera Selatan Dwi Putro Priadi menyampaikan hal itu di Palembang, Selasa.

Menurut dia, kalau satu juta ton produksi karet rakyat Sumsel kemudian diolah di pabrik untuk dibersihkan kotorannya, jika biaya pembersihan katakanlah Rp2.000 per kilogram karena butuh air, listrik maka dibutuhkan biaya sekitar Rp2 triliun setiap tahun.

Kemudian untuk angkutan satu juta ton karet kotor ada tanah, pasir maka kerugiannya bisa Rp2 triliun. Yang menanggung kerugian itu bukan hanya petani tetapi rakyat Sumsel.

Ia mengatakan, uang Rp2 triliun itu mungkin di bank, dipakai petani buat tanam jagung kemudian kalau digunakan untuk membangun jalan sudah berapa kilometer bisa dibangun.

Jadi, kerugian bukan petani saja, tetapi rakyat Sumsel juga menanggungnya, karena itu semestinya menjual karet yang bersih, ujarnya.

Ia menyatakan, sehubungan dengan hal itu pula yang pertama dilakukan Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) akan mencerdaskan petani, memberitahukan kepada petani, kalau sleb (karet) yang kotor akan merugikan diri sendiri.

Kemudian kedua membangun pabrik-pabrik penampung karet bersih, slab, lateks bersih sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya lagi sebab sudah bersih.

Mengenai selisih harga karet itu sendiri ia menuturkan, sekarang ini di pasar dunia sekitar tiga dolar AS perkilogram, di sini mungkin harganya 2,5 dolar AS ongkos angkut. Jadi, mungkin sekitar Rp30 ribu untuk karet bersih 100 persen tidak ada kotoran.

Sebenarnya petani bisa membuat itu, tinggal memelihara kebersihan saja tidak diberi apa-apa kemudian dikeringkan, dan dapat uang Rp30 ribu, katanya.

Pewarta : Susilawati
Editor : Ujang
Copyright © ANTARA 2024