Jakarta (Antarasumsel.com) - Kebijakan pemerintah yang mengeluarkan PP 60/2016
tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia dinilai beberapa
pihak memberatkan masyarakat.
Peraturan tersebut di antaranya menyangkut penambahan tarif untuk pengesahan surat tanda nomor kendaraan (STNK), penerbitan nomor registrasi kendaraan bermotor pilihan, dan penerbitan surat izin mengemudi.
Penambahan tarif tersebut misalnya penerbitan STNK untuk kendaraan roda dua yaitu dari Rp50.000 menjadi Rp100.000, sementara untuk roda empat atau lebih dari Rp75.000 menjadi Rp200.000.
Peningkatan tarif juga berlaku untuk penerbitan buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) baru dan ganti kepemilikan (mutasi). Besaran tarifnya dari Rp80.000 untuk roda dua dan tiga menjadi Rp225.000 dan kendaraan roda empat dari Rp100.000 menjadi Rp375.000.
Semua tarif baru tersebut telah diberlakukan sejak 6 Januari 2017 atau 30 hari sejak PP 60/2016 diundangkan pada 6 Desember 2016.
Presiden Joko Widodo mengatakan kenaikan tersebut bertujuan untuk memberikan pelayanan yang lebih cepat dan lebih baik karena memang sejak 2010 di Polri belum pernah melakukan penyesuaian tarif.
"Saya kira setiap kenaikan akan saya ikuti untuk memastikan bahwa pelayanannya juga lebih baik dan lebih cepat," kata Jokowi di sela penyerahan kartu program keluarga harapan (PKH) dan bantuan non-tunai di Lapangan Masjid Al-Djunaid, Kelurahan Pringrejo, Kecamatan Bumirejo, Pekalongan, Jawa Tengah, Minggu (8/1).
Dalam kesempatan ini Presiden juga membantah dan menepis sejumlah anggapan yang menyebutkan telah terjadi kesimpangsiuran informasi terkait dengan penyesuaian biaya PNBP ini.
Menurut Presiden Jokowi, ia hanya terus mengingatkan jajarannya agar melakukan perhitungan yang cermat sebelum memutuskan pemberlakuan penyesuaian biaya maupun tarif penerimaan negara dalam hal apapun.
"Tidak ada (kesimpangsiuran). Kan sudah saya teken. Hanya pada saat rapat paripurna saya sampaikan, hati-hati untuk hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat. Hati-hati untuk hal-hal yang bisa memberikan pembebanan yang lebih banyak kepada masyarakat. Hanya itu saja," katanya.
Penekanan Presiden tersebut sesungguhnya tidak hanya berlaku untuk PNBP seperti biaya pengurusan STNK dan BPKB semata yang memang pada awal tahun ini mengalami penyesuaian.
Ia menegaskan semua kebijakan yang mengharuskan ada penyesuaian tarif dan penerimaan bagi negara, dilakukan penghitungan yang sangat cermat sebelum memutuskan penyesuaian sehingga tidak terlalu memberikan beban yang terlampau besar bagi masyarakat.
"Apapun selalu saya sampaikan, kalkulasinya, perhitungannya itu harus semuanya dikalkulasi. Dan saya kira yang sekarang diramaikan ialah masalah biaya STNK. Tapi kan banyak yang tidak mengerti, belum juga bayar STNK, hanya mengomentari. Perlu saya tegaskan bahwa yang naik adalah biaya administrasi STNK dan BPKB," ujar Presiden.
Walaupun banyak pihak mengkritik kebijakan pemerintah, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan PP 60 Tahun 2016 tentang PNBP ini tetap berlaku karena sudah ditandatangani.
"Begitu sudah ditandatangani ya berlaku, tidak harus ditarik lagi," kata Wapres.
Wapres juga menambahkan PNBP memang selalu dievaluasi setiap jangka waktu tertentu dan penetapannya sudah ada komunikasi antara kementerian terkait.
"Karena itu dalam bentuk PP jadi yang memutuskan Presiden. Jadi memang pasti bukan polisi yang memutuskan, bukan Menkeu yang memutuskan karena bentuknya PP atau Perpres," kata Wapres.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar mengungkapkan kenaikan biaya administrasi pengurusan STNK, BPKB, SIM yang masuk dalam PNBP tidak "ujug-ujug" dari keinginan Polri sendiri.
"Tetapi polisi sebagai subsistem dari pemerintah harus tidak lepas dari proses koreksi yang terkena kepada diri Polri dan tuntutan akan peningkatan sektor pelayanan publik," kata Boy Rafli saat konferensi pers di Kantor Staf Kepresidenan Jakarta.
Boy Rafli menjelaskan bahwa kenaikan PNBP ini tidak lepas dari tuntutan pemerintah kepada Polri, di mana institusi yang masuk dalam program reformasi birokrasi, dituntut untuk meningkatkan sektor pelayanan publik.
Dia menjelaskan bahwa salah satu tugas pokok Polri yakni berkaitan dengan keselamatan berlalu lintas, dalam konteks peningkatan indeks keselamatan berlalu lintas, maka investasi "road safety" bagian yang penting.
"Jadi indeks keselamatan berlalu lintas di negara kita ini harus kita perbaiki dari waktu ke waktu dan antara lain, di sini memang harus ada investasi. Jadi tidak mungkin kita ingin meningkatkan indeks keselamatan sementara investasi tidak ada pertumbuhan," katanya.
Hal tersebut yang menjadi latar belakang perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 tahun 2010 tentang jenis dan tarif PNBP pada Polri diganti menjadi PP Nomor 60 tahun 2016, katanya.
"Jadi di sana ada temuan-temuan yang berkaitan dengan pelayanan publik di sektor STNK, SIM, BPKB yang dituntut kepada institusi Polri harus dilakukan upaya-upaya peningkatan," ungkapnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, proses revisi ini akhirnya bergulir dengan pelibatan unsur pemerintah, yakni Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan dan Bappenas.
Peneliti dari Indonesia Tax Care (INTAC) Basuki Widodo menilai penyesuaian tarif PNBP pengurusan surat-surat kendaraan bermotor sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 tidak adil karena kualitas jasa pelayanannya yang masih buruk.
"Penaikan PNPB tidak adil karena pelayanan masih buruk, banyak uang yang diberikan pada oknum tertentu misalnya untuk mempercepat antrean. Ini yang perlu diperbaiki, bukan dengan menaikkan tarif," kata Widodo dalam konferensi persnya.
Dia menilai keputusan pemerintah mengenai PP 60/2016 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah terlalu sporadis dalam membuat kebijakan dan memaksakan kehendak untuk memenuhi kebutuhan anggaran.
Widodo memandang perlu ada transparansi mengenai dasar penyesuaian tarif pengurusan surat-surat kendaraan bermotor tersebut.
"Kalau naik harus yang memungkinkan masyarakat untuk mampu menanggungnya karena akan berdampak pada ekonomi," kata Widodo.
Dia menyarankan kenaikan tarif sesuai PP 60/2016 sebaiknya dibatalkan.
Advokat publik Riesqi Rahmadiansyah menilai PP 60/2016 sependapat bahwa kualitas pelayanan di sistem administrasi manunggal satu atap (samsat) perlu diperbaiki terlebih dulu sebelum penyesuaian tarif.
"Penerapan dan pengawalan PNBP masih menjadi pertanyaan. Kebijakan ini terbalik dengan saber pungli karena bisa menjadi ladang pungli baru," ujar dia.
Riesqi juga menilai PP 60/2016 ganjil karena tidak ada naskah akademik bagi kelompok fungsional dalam optimalisasi PNBP.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menilai penyesuaian tarif pengurusan surat-surat kendaraan bermotor sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 seharusnya dilakukan secara bertahap.
"Peningkatan tarif memang suatu yang wajar mengingat sudah tujuh tahun tarif lama berlaku. Namun peningkatan berdasarkan PP 60 Tahun 2016 cukup besar, seharusnya bertahap," kata Huda.
Dia berpendapat PP 60/2016 merupakan strategi intensifikasi PNBP ini seharusnya dilakukan peningkatan kualitas jasa pelayanan terlebih dulu.
Huda menyebutkan masih ada kerugian ekonomi dari pelayanan pengurusan surat kendaraan bermotor berdasarkan pengalaman masyarakat, misalnya ketepatan waktu belum sesuai dan ada biaya-biaya yang tidak diperlukan.
"Kalau ada (peningkatan) tarif tetapi pelayanan stuck, konsumen akan merasa tidak ada nilai tambah dari peningkafan tarif," ucap dia.
Huda juga menyoroti kinerja Kepolisian yang masih kurang baik sebagai stakeholder PNBP karena peluang terjadi suap yang masih tinggi.
Keberadaan korupsi dalam sebuah institusi akan berdampak negatif terhadap kualitas pelayanan, efektivitas pelayanan, fungsi pelayanan, dan pengembangan teknologi informasi administrasi pelayanan.
Selain evaluasi besaran peningkatan tarif, Huda juga menyarankan pemerintah untuk mempertimbangkan penerapan cukai kendaraan bermotor agar sinergis dengan era pengendalian konsumsi kendaraan bermotor.
Peraturan tersebut di antaranya menyangkut penambahan tarif untuk pengesahan surat tanda nomor kendaraan (STNK), penerbitan nomor registrasi kendaraan bermotor pilihan, dan penerbitan surat izin mengemudi.
Penambahan tarif tersebut misalnya penerbitan STNK untuk kendaraan roda dua yaitu dari Rp50.000 menjadi Rp100.000, sementara untuk roda empat atau lebih dari Rp75.000 menjadi Rp200.000.
Peningkatan tarif juga berlaku untuk penerbitan buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) baru dan ganti kepemilikan (mutasi). Besaran tarifnya dari Rp80.000 untuk roda dua dan tiga menjadi Rp225.000 dan kendaraan roda empat dari Rp100.000 menjadi Rp375.000.
Semua tarif baru tersebut telah diberlakukan sejak 6 Januari 2017 atau 30 hari sejak PP 60/2016 diundangkan pada 6 Desember 2016.
Presiden Joko Widodo mengatakan kenaikan tersebut bertujuan untuk memberikan pelayanan yang lebih cepat dan lebih baik karena memang sejak 2010 di Polri belum pernah melakukan penyesuaian tarif.
"Saya kira setiap kenaikan akan saya ikuti untuk memastikan bahwa pelayanannya juga lebih baik dan lebih cepat," kata Jokowi di sela penyerahan kartu program keluarga harapan (PKH) dan bantuan non-tunai di Lapangan Masjid Al-Djunaid, Kelurahan Pringrejo, Kecamatan Bumirejo, Pekalongan, Jawa Tengah, Minggu (8/1).
Dalam kesempatan ini Presiden juga membantah dan menepis sejumlah anggapan yang menyebutkan telah terjadi kesimpangsiuran informasi terkait dengan penyesuaian biaya PNBP ini.
Menurut Presiden Jokowi, ia hanya terus mengingatkan jajarannya agar melakukan perhitungan yang cermat sebelum memutuskan pemberlakuan penyesuaian biaya maupun tarif penerimaan negara dalam hal apapun.
"Tidak ada (kesimpangsiuran). Kan sudah saya teken. Hanya pada saat rapat paripurna saya sampaikan, hati-hati untuk hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat. Hati-hati untuk hal-hal yang bisa memberikan pembebanan yang lebih banyak kepada masyarakat. Hanya itu saja," katanya.
Penekanan Presiden tersebut sesungguhnya tidak hanya berlaku untuk PNBP seperti biaya pengurusan STNK dan BPKB semata yang memang pada awal tahun ini mengalami penyesuaian.
Ia menegaskan semua kebijakan yang mengharuskan ada penyesuaian tarif dan penerimaan bagi negara, dilakukan penghitungan yang sangat cermat sebelum memutuskan penyesuaian sehingga tidak terlalu memberikan beban yang terlampau besar bagi masyarakat.
"Apapun selalu saya sampaikan, kalkulasinya, perhitungannya itu harus semuanya dikalkulasi. Dan saya kira yang sekarang diramaikan ialah masalah biaya STNK. Tapi kan banyak yang tidak mengerti, belum juga bayar STNK, hanya mengomentari. Perlu saya tegaskan bahwa yang naik adalah biaya administrasi STNK dan BPKB," ujar Presiden.
Walaupun banyak pihak mengkritik kebijakan pemerintah, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan PP 60 Tahun 2016 tentang PNBP ini tetap berlaku karena sudah ditandatangani.
"Begitu sudah ditandatangani ya berlaku, tidak harus ditarik lagi," kata Wapres.
Wapres juga menambahkan PNBP memang selalu dievaluasi setiap jangka waktu tertentu dan penetapannya sudah ada komunikasi antara kementerian terkait.
"Karena itu dalam bentuk PP jadi yang memutuskan Presiden. Jadi memang pasti bukan polisi yang memutuskan, bukan Menkeu yang memutuskan karena bentuknya PP atau Perpres," kata Wapres.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar mengungkapkan kenaikan biaya administrasi pengurusan STNK, BPKB, SIM yang masuk dalam PNBP tidak "ujug-ujug" dari keinginan Polri sendiri.
"Tetapi polisi sebagai subsistem dari pemerintah harus tidak lepas dari proses koreksi yang terkena kepada diri Polri dan tuntutan akan peningkatan sektor pelayanan publik," kata Boy Rafli saat konferensi pers di Kantor Staf Kepresidenan Jakarta.
Boy Rafli menjelaskan bahwa kenaikan PNBP ini tidak lepas dari tuntutan pemerintah kepada Polri, di mana institusi yang masuk dalam program reformasi birokrasi, dituntut untuk meningkatkan sektor pelayanan publik.
Dia menjelaskan bahwa salah satu tugas pokok Polri yakni berkaitan dengan keselamatan berlalu lintas, dalam konteks peningkatan indeks keselamatan berlalu lintas, maka investasi "road safety" bagian yang penting.
"Jadi indeks keselamatan berlalu lintas di negara kita ini harus kita perbaiki dari waktu ke waktu dan antara lain, di sini memang harus ada investasi. Jadi tidak mungkin kita ingin meningkatkan indeks keselamatan sementara investasi tidak ada pertumbuhan," katanya.
Hal tersebut yang menjadi latar belakang perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 tahun 2010 tentang jenis dan tarif PNBP pada Polri diganti menjadi PP Nomor 60 tahun 2016, katanya.
"Jadi di sana ada temuan-temuan yang berkaitan dengan pelayanan publik di sektor STNK, SIM, BPKB yang dituntut kepada institusi Polri harus dilakukan upaya-upaya peningkatan," ungkapnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, proses revisi ini akhirnya bergulir dengan pelibatan unsur pemerintah, yakni Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan dan Bappenas.
Kenaikan PNBP Tidak Adil
Peneliti dari Indonesia Tax Care (INTAC) Basuki Widodo menilai penyesuaian tarif PNBP pengurusan surat-surat kendaraan bermotor sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 tidak adil karena kualitas jasa pelayanannya yang masih buruk.
"Penaikan PNPB tidak adil karena pelayanan masih buruk, banyak uang yang diberikan pada oknum tertentu misalnya untuk mempercepat antrean. Ini yang perlu diperbaiki, bukan dengan menaikkan tarif," kata Widodo dalam konferensi persnya.
Dia menilai keputusan pemerintah mengenai PP 60/2016 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah terlalu sporadis dalam membuat kebijakan dan memaksakan kehendak untuk memenuhi kebutuhan anggaran.
Widodo memandang perlu ada transparansi mengenai dasar penyesuaian tarif pengurusan surat-surat kendaraan bermotor tersebut.
"Kalau naik harus yang memungkinkan masyarakat untuk mampu menanggungnya karena akan berdampak pada ekonomi," kata Widodo.
Dia menyarankan kenaikan tarif sesuai PP 60/2016 sebaiknya dibatalkan.
Advokat publik Riesqi Rahmadiansyah menilai PP 60/2016 sependapat bahwa kualitas pelayanan di sistem administrasi manunggal satu atap (samsat) perlu diperbaiki terlebih dulu sebelum penyesuaian tarif.
"Penerapan dan pengawalan PNBP masih menjadi pertanyaan. Kebijakan ini terbalik dengan saber pungli karena bisa menjadi ladang pungli baru," ujar dia.
Riesqi juga menilai PP 60/2016 ganjil karena tidak ada naskah akademik bagi kelompok fungsional dalam optimalisasi PNBP.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menilai penyesuaian tarif pengurusan surat-surat kendaraan bermotor sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 seharusnya dilakukan secara bertahap.
"Peningkatan tarif memang suatu yang wajar mengingat sudah tujuh tahun tarif lama berlaku. Namun peningkatan berdasarkan PP 60 Tahun 2016 cukup besar, seharusnya bertahap," kata Huda.
Dia berpendapat PP 60/2016 merupakan strategi intensifikasi PNBP ini seharusnya dilakukan peningkatan kualitas jasa pelayanan terlebih dulu.
Huda menyebutkan masih ada kerugian ekonomi dari pelayanan pengurusan surat kendaraan bermotor berdasarkan pengalaman masyarakat, misalnya ketepatan waktu belum sesuai dan ada biaya-biaya yang tidak diperlukan.
"Kalau ada (peningkatan) tarif tetapi pelayanan stuck, konsumen akan merasa tidak ada nilai tambah dari peningkafan tarif," ucap dia.
Huda juga menyoroti kinerja Kepolisian yang masih kurang baik sebagai stakeholder PNBP karena peluang terjadi suap yang masih tinggi.
Keberadaan korupsi dalam sebuah institusi akan berdampak negatif terhadap kualitas pelayanan, efektivitas pelayanan, fungsi pelayanan, dan pengembangan teknologi informasi administrasi pelayanan.
Selain evaluasi besaran peningkatan tarif, Huda juga menyarankan pemerintah untuk mempertimbangkan penerapan cukai kendaraan bermotor agar sinergis dengan era pengendalian konsumsi kendaraan bermotor.