Yogyakarta (Antarasumsel.com) - Perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyebut gempabumi yang berpusat di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, yang terjadi pukul 05.04 WIB berkuatan 6,5 Skala Richter (SR) setara dengan kekuatan 4 hingga 6 kali bom Hiroshimo.

"Gempa dangkal dekat bibir pantai tapi secara magnitut tidak sampai sebabkan tsunami. Kekuatannya setara 4 hingga 6 kali bom Hiroshima, karenanya bisa ratusan bangunan rusak," kata Manajer Teknik Uji Numerik Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai BPPT Widjo Kongko di Yogyakarta.

Gempa bumi yang terletak pada 5,25 Lintang Utara (LU) dan 96,24 Bujur Timur (BT) tepatnya di darat pada jarak 106 kilometer (km) arah tenggara Kota Banda Aceh pada kedalaman 15 km ini bukan berasal dari aktivitas sesar subduksi tetapi sesar mendatar.

Aktivitas sesar mendatar Samalanga-Sipopok Fault yang jalur sesarnya berarah barat daya-timur laut ini, menurut dia, bisa sama parah dampak kerusakannya dengan sesar yang bergerak naik-turun karena cukup dangkal kedalamannya. Meski demikian, aktivitas sesar mendatar di dalam laut tidak memicu tsunami, berbeda dengan sesar yang bergerak naik-turun (subduksi).

"Mekanisme aktivitas sesar bisa mendatar atau naik-turun lebih karena dipengaruhi kondisi setting tektonik yang usianya bisa ratusan hingga jutaan tahun," ujar dia.

Pada sesar ini, menurut dia, tercatat dua kali sejarah terjadi gempa berkekuatan 7 SR. Meski demikian belum ditemukan catatan kerusakan yang ditimbulkannya.

"Gempa ini jadi 'test case' juga untuk kesiapan 'early warning system' dan sistem manajemen bencana yang sudah ada. Apakah semua itu sudah berjalan baik?" ujar Widjo.

Ia menjelaskan bahwa pada dasarnya bukan gempanya yang "membunuh", tetapi korban justru ada karena tertimpa bangunan atau lainnya. Karena itu, peta detil mikrozonasi daerah vital, pemukiman, daerah industri sangat diperlukan dan harus dipatuhi.

"Dari sana standar bangunan tahan gempa harus ada di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Jadi perlu ada audit soal manajemen dan mitigasi bencana ini, apakah semuanya sudah dijalankan sesuai dengan hasil  rekomendasi peneliti dan ahli," ujar Dia.

Selain itu, Widjo menegaskan bahwa pembangunan kapasitas untuk manusia tetap harus sinergis demi berjalannhya mitigasi bencana dengan baik.

    
Potensi gempa-tsunami

Dalam kegiatan "press tour" BPPT ke Balai Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai, Widjo juga sempat menunjukkan model simulasi gempabumi dan tsunami berkekuatan 8 hingga 9 SR jika terjadi di sebelah barat Selat Sunda yang selama ini disebut para ahli dan peneliti sebagai "seismic gap", karena belum ditemukan catatan gempa di sana sehingga diperkirakan masih menyimpan kekuatan besar di lokasi yang di sebut para ahli sebagai Megathrust South Sumatera
Dampak yang terlihat pada model gempa dan tsunami yang terlihat di komputer tersebut begitu dasyat bahkan, menurut Widjo, dengan kekuatan itu mampu menjangkau Teluk Jakarta dengan ketinggian gelombang tsunami dapat mencapai 3 s.d. 4 meter. Ujung Kulon akan menjadi yang terdampak pertama, begitu pula wilayah Lampung, Pulau Enggano dan pesisir Bengkulu.

"Jangan salah, gelombang datar setinggi satu meter yang kontinu seperti tsunami itu kekuatannya luar biasa. Bisa dibayangkan jika ketinggian gelombangnya sampai empat meter," ujar dia.

Potensi gempa raksasa di zona subduksi Selat Sunda itu disimpulkan dari keberadaan kosong gempa sepanjang 350-550 kilometer (km). Zona kosong gempa seperti ini, menurut dia, tidak hanya satu di Indonesia dan sangat mungkin menyimpan potensi gempa raksasa karena energi dari gesekan dua lempeng bumi masih tersimpan.

Beberapa Megathrust di zona subduksi tersebut adalah Megathrust Andaman Sumatra (sisi barat Aceh) Megathrust M1 Sumatra (sisi barat Aceh dan Sumatra Utara), Megathrust M2 Sumatra (sisi barat Sumatra Barat dan Bengkulu), Megathrust South Sumatra (sisi selatan dan barat Lampung dan Banten), Megathrust Java (selatan Jawa), Megathrust Sumba (sisi selatan Bali dan NTB), Megathrust Timor (sisi selatan NTT dan Timor Leste), Megathrust Banda Sea (melengkung setengah lingkaran di sisi timur melingkupi Kepulauan Kei hingga Pulau Seram dan Pulau Buru), Megathrust North Sulawesi (di sisi utara Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Sulawesi Utara) dan Megathrust Philippine (sisi timur Halmahera Utara hingga ke Filipina).

        
Jalankan mitigasi!

Sebagai negara yang dikenal dengan sebutan "supermarket bencana" Indonesia juga perlu mempersiapkan mitigasi infrastruktur guna menghadapi bencana besar, kata peneliti Geotek LIPI Danny Hilman Natawidjaja senelumnya. "Banyak aspek yang perlu diperhitungkan, tidak hanya jiwa tapi infrastruktur juga diperhitungkan untuk mitigasi bencana".

Sudah ada perhitungan terkait siklus gempa besar di beberapa lokasi "seismic gap" atau wilayah zona gempa yang sudah lama tidak terjadi gempa dan menyimpan energi besar sehingga berpotensi menimbulkan gempa besar di Indonesia. Namun demikian gempa besar yang berpotensi terjadi di "seismic gap" Selat Sunda menjadi yang paling berbahaya karena berdampak fatal mengingat populasi sangat besar, pusat pemerintahan, dan pusat perekonomian ada di Jawa.

"Di Jakarta ada satu gedung yang simpan semua cyber data, kalau tiba-tiba ada bencana besar dan semua hilang, apa ada back up nya? Itu baru bicara soal cyber data belum bicara soal mitigasi untuk manusianya," kata Danny.

Menurut dia, perlu dipikirkan juga mitigasi infrastruktur untuk hadapi bencana. "Lihat Singapura dan Malaysia, mereka sudah menyimpan dengan baik cadangan 'cyber data' di bawah tanah, jadi kalau ada gempa atau topan di atas mereka sudah punya cadangannya di bawah".

Terkait bencana kegempaan, ia mengatakan peneliti telah membuat peta jalur gempa atau "seismic hazard". Dari peta tersebut dapat diketahui lokasi-lokasi rawan gempa, sehingga masyarakat dapat menyesuaikan bentuk dan kekuatan bangunan di tiap-tiap lokasi.

Masalahnya peta jalur gempa yang sudah dimiliki Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tersebut sangat sedikit yang telah diterjemahkan sehingga dapat dipahami masyarakat awam. "Saya pikir (peta jalur gempa) sudah (dipahami) kalau dikalangan teknis. Tapi kalau harus sampai ke masyarakat harus dirubah bahasanya supaya mereka paham, tidak bisa terlalu teknis," ujar Danny.

Persoalan lain yang, menurut dia, terjadi saat membangun infrastruktur mitigasi adalah desain yang dibangun tidak sesuai dengan apa yang telah direkomendasikan para ahli untuk daerah tersebut. Padahal rekomendasi yang dikeluarkan sudah melalui penelitian panjang yang menghabiskan waktu dan biaya.

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan permasalahan bersama saat ini adalah abai aspek risiko bencana, tapi saat bencana semua hiruk-pikuk. "Perhatikan benar zona merah rawan bencana, penataan ruang dan peta rawan bencana serta regulasinya. Sosialisasi sudah banyak tapi implementasi tidak dilakukan".

Berdasarkan "seismic hazard" yang sudah ada daerah Pidie Jaya, Aceh, diketahui berada di sesar aktif yang kemudian justru sekarang menjadi zona pemukiman yang berkembang pesat. "Peta dasar "seismic hazard" tadi ya harusnya diikuti, jangan malah dibuka perijinan di sana. Tapi kalau terlanjur pemukiman berdiri ya buat lah bangunan yang 'ramah' bencana".

Senada dengan Sutopo, Kepala Basarnas F Henry Bambang Soelistyo mengatakan jalankan mitigasi sesuai dengan "seismic hazard" Yang ada. Terkait bangunan yang "ramah" bencana tentu pembangunannya tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada masyarakat. Maka peran Pemda juga harus ada agar masyarakat mampu memiliki rumah tahan gempa.

"Soal mitigasi kami siap melatih masyarakat dan melakukan tanggap bencana meski itu butuh waktu tidak sebetar karena jumlah masyarakat yang ada di daerah rawan terkena bencana besar sangat besar," ujar dia.

Pewarta : Virna Puspa Setyorini
Editor : Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024