Jakarta (Antarasumsel.com) - Pada pertengahan Oktober 2015, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Gorontalo menjatuhkan vonis delapan bulan penjara kepada Gubernur Gorontalo Rusli Habibie dalam kasus fitnah atas Komjen Pol Budi Waseso.
Vonis tersebut dijatuhkan terkait dengan tudingan keberpihakan Budi Waseso kepada salah satu pasangan calon dalam Pilkada Gorontalo.
Rusli kemudian mendapat putusan kasasi dengan pidana satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun atas tuduhan melakukan penghinaan dan melanggar Pasal 317 ayat (1) KUHP.
Hal ini lantas membuat Rusli galau bukan kepalang karena statusnya yang pernah menjadi terpidana menghalangi dirinya untuk kembali maju dalam bursa calon kepala daerah dalam Pilkada 2017.
Gubernur Gorontalo ini lalu mempersoalkan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang mengatur mengenai calon kepala daerah yang berstatus terpidana, terutama bunyi frasa "karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara lima tahun atau lebih".
Rusli yang menilai hak konstitusionalnya telah terlanggar oleh ketentuan ini lalu mengajukan uji materi atas Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam menanggapi gugatan Rusli, Dewan Perwakilan Rakyat yang diwakili oleh Anggota Komisi II DPR Agung Widyantoro, mengatakan bahwa esensi utama dari adanya norma yang mengatur bagi terpidana ataupun mantan terpidana dalam persyaratan ini adalah sebagai norma yang umum yang hingga kini masih diberlakukan sebagai suatu persyaratan untuk dapat menduduki suatu jabatan-jabatan tertentu.
"Jabatan itu termasuk jabatan politis untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki rekam jejak yang tidak tercela ataupun juga jabatan-jabatan publik," ujar Agung beberapa waktu lalu di Gedung Mahkamah Konstitusi.
Dalam kesempatan yang sama, pihak Pemerintah yang diwakili Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri, Widodo Sigit Pudjianto, menegaskan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Pilkada merupakan ketentuan persyaratan standar kelayakan untuk ukuran integritas moral.
"Bahwa adanya ketentuan syarat tersebut juga dimaksudkan sebagai upaya preventif bagi seorang yang berniat akan mencalonkan diri sebagai pejabat publik di kemudian hari untuk senantiasa menjaga perilaku dan tindakan dari perbuatan tercela yang dapat berakibat pemidanaan bagi dirinya," ujar Widodo.
Wajar rasanya bila Pemerintah menjadikan ketentuan tersebut sebagai tindakan preventif bagi pejabat publik untuk melakukan perbuatan tercela, mengingat sebagaian besar masyarakat Indonesia yang masih memegang nilai-nilai primordialisme, dimana hanya orang-orang baik dan terpercayalah yang dapat dijadikan panutan dan teladan.
Selain itu, Widodo juga mengungkapkan bahwa norma hukum yang terkandung dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada juga sejalan dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 bagi para calon pejabat publik yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah terpidana.
Kendati demikian, putusan Mahkamah tersebut tidak berlaku bagi pejabat publik yang terpilih, terpidana yang jangka waktu hukumannya selesai lebih dari lima tahun, serta pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Pendapat LSM
Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terdiri atas Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Indonesia Corruption Watch (ICW), serta Kajian Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif kemudian resmi mendaftarkan sebagai Pihak Terkait di sidang uji materi ini.
Sebagai pihak terkait ICW dan Perludem turut menghadirkan ahli yaitu pakar hukum tata negara Margarito Kamis, yang memberikan keterangan terkait dengan uji materi UU Pilkada di MK itu.
Dalam keterangannya, Margarito menegaskan apa pun hukuman yang diterima, seorang terpidana tetaplah terpidana yang telah dijatuhi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap meskipun hanya hukuman percobaan.
"Status terpidana menunjukkan bahwa orang tersebut telah bersalah menurut pengadilan, sehingga tidak ada hak persamaan di atas hukum yang terkurangi maupun sifat diskriminatif yang ditimbulkan karena terpidana tetaplah terpidana," tegas Margarito.
Margarito juga menjelaskan penundaan pelaksanaan hukuman tidak akan memengaruhi status hukum seseorang sebagai terpidana yang bisa membatalkan seseorang maju dalam pencalonan pemilihan kepala daerah.
Namun penundaan pelaksanaan hukuman percobaan haruslah tetap ditentukan oleh hakim untuk memberikan kepastian kepada terpidana, tambahnya.
Diskriminatif
Dalam persidangan selanjutnya, Rusli menghadirkan ahli untuk memberikan keterangan yaitu Guru Besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy O.S Hiariej.
Dalam keterangannya, Eddy menyebutkan frasa dalam ketentuan Pasal 7 huruf g Undang-Undang Pilkada menunjukkan sifat yang diskriminatif.
"Adanya frasa tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menunjukkan pasal a quo bersifat diskriminatif," ujar Eddy di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta beberapa waktu lalu.
Eddy menyebutkan bahwa pasal tersebut menunjukkan sifat diskriminatif karena menyamaratakan semua tindak pidana.
"Padahal secara doktrin masing-masing tindak pidana memiliki sifat dan karakter tersendiri," kata Eddy.
Selanjutnya, Eddy mengatakan bahwa penyamarataan semua tindak pidana sebagaimana terdapat dalam pasal tersebut telah membatasi seorang warga negara untuk mencalonkan diri dalam pilkada.
Hal ini menurut Eddy, tidak menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebab pelaku tindak pidana berupa kejahatan yang konsekuensi hukumnya lebih berat disamakan dengan yang konsekuensi hukumnya jauh lebih ringan.
Diskriminatif atau tidaknya ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada bagi para terpidana, yang pasti Indonesia berhak untuk memiliki kepala daerah yang memiliki integritas tinggi terhadap tugas, fungsi, dan amanah.
Vonis tersebut dijatuhkan terkait dengan tudingan keberpihakan Budi Waseso kepada salah satu pasangan calon dalam Pilkada Gorontalo.
Rusli kemudian mendapat putusan kasasi dengan pidana satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun atas tuduhan melakukan penghinaan dan melanggar Pasal 317 ayat (1) KUHP.
Hal ini lantas membuat Rusli galau bukan kepalang karena statusnya yang pernah menjadi terpidana menghalangi dirinya untuk kembali maju dalam bursa calon kepala daerah dalam Pilkada 2017.
Gubernur Gorontalo ini lalu mempersoalkan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada yang mengatur mengenai calon kepala daerah yang berstatus terpidana, terutama bunyi frasa "karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara lima tahun atau lebih".
Rusli yang menilai hak konstitusionalnya telah terlanggar oleh ketentuan ini lalu mengajukan uji materi atas Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam menanggapi gugatan Rusli, Dewan Perwakilan Rakyat yang diwakili oleh Anggota Komisi II DPR Agung Widyantoro, mengatakan bahwa esensi utama dari adanya norma yang mengatur bagi terpidana ataupun mantan terpidana dalam persyaratan ini adalah sebagai norma yang umum yang hingga kini masih diberlakukan sebagai suatu persyaratan untuk dapat menduduki suatu jabatan-jabatan tertentu.
"Jabatan itu termasuk jabatan politis untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki rekam jejak yang tidak tercela ataupun juga jabatan-jabatan publik," ujar Agung beberapa waktu lalu di Gedung Mahkamah Konstitusi.
Dalam kesempatan yang sama, pihak Pemerintah yang diwakili Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri, Widodo Sigit Pudjianto, menegaskan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Pilkada merupakan ketentuan persyaratan standar kelayakan untuk ukuran integritas moral.
"Bahwa adanya ketentuan syarat tersebut juga dimaksudkan sebagai upaya preventif bagi seorang yang berniat akan mencalonkan diri sebagai pejabat publik di kemudian hari untuk senantiasa menjaga perilaku dan tindakan dari perbuatan tercela yang dapat berakibat pemidanaan bagi dirinya," ujar Widodo.
Wajar rasanya bila Pemerintah menjadikan ketentuan tersebut sebagai tindakan preventif bagi pejabat publik untuk melakukan perbuatan tercela, mengingat sebagaian besar masyarakat Indonesia yang masih memegang nilai-nilai primordialisme, dimana hanya orang-orang baik dan terpercayalah yang dapat dijadikan panutan dan teladan.
Selain itu, Widodo juga mengungkapkan bahwa norma hukum yang terkandung dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada juga sejalan dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 bagi para calon pejabat publik yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah terpidana.
Kendati demikian, putusan Mahkamah tersebut tidak berlaku bagi pejabat publik yang terpilih, terpidana yang jangka waktu hukumannya selesai lebih dari lima tahun, serta pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Pendapat LSM
Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terdiri atas Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Indonesia Corruption Watch (ICW), serta Kajian Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif kemudian resmi mendaftarkan sebagai Pihak Terkait di sidang uji materi ini.
Sebagai pihak terkait ICW dan Perludem turut menghadirkan ahli yaitu pakar hukum tata negara Margarito Kamis, yang memberikan keterangan terkait dengan uji materi UU Pilkada di MK itu.
Dalam keterangannya, Margarito menegaskan apa pun hukuman yang diterima, seorang terpidana tetaplah terpidana yang telah dijatuhi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap meskipun hanya hukuman percobaan.
"Status terpidana menunjukkan bahwa orang tersebut telah bersalah menurut pengadilan, sehingga tidak ada hak persamaan di atas hukum yang terkurangi maupun sifat diskriminatif yang ditimbulkan karena terpidana tetaplah terpidana," tegas Margarito.
Margarito juga menjelaskan penundaan pelaksanaan hukuman tidak akan memengaruhi status hukum seseorang sebagai terpidana yang bisa membatalkan seseorang maju dalam pencalonan pemilihan kepala daerah.
Namun penundaan pelaksanaan hukuman percobaan haruslah tetap ditentukan oleh hakim untuk memberikan kepastian kepada terpidana, tambahnya.
Diskriminatif
Dalam persidangan selanjutnya, Rusli menghadirkan ahli untuk memberikan keterangan yaitu Guru Besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy O.S Hiariej.
Dalam keterangannya, Eddy menyebutkan frasa dalam ketentuan Pasal 7 huruf g Undang-Undang Pilkada menunjukkan sifat yang diskriminatif.
"Adanya frasa tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menunjukkan pasal a quo bersifat diskriminatif," ujar Eddy di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta beberapa waktu lalu.
Eddy menyebutkan bahwa pasal tersebut menunjukkan sifat diskriminatif karena menyamaratakan semua tindak pidana.
"Padahal secara doktrin masing-masing tindak pidana memiliki sifat dan karakter tersendiri," kata Eddy.
Selanjutnya, Eddy mengatakan bahwa penyamarataan semua tindak pidana sebagaimana terdapat dalam pasal tersebut telah membatasi seorang warga negara untuk mencalonkan diri dalam pilkada.
Hal ini menurut Eddy, tidak menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebab pelaku tindak pidana berupa kejahatan yang konsekuensi hukumnya lebih berat disamakan dengan yang konsekuensi hukumnya jauh lebih ringan.
Diskriminatif atau tidaknya ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada bagi para terpidana, yang pasti Indonesia berhak untuk memiliki kepala daerah yang memiliki integritas tinggi terhadap tugas, fungsi, dan amanah.