Jakarta (ANTARA Sumsel) - Salah satu topik dalam bidang ketenagakerjaan yang saat ini sedang mengemuka adalah terkait dengan penetapan upah minimum yang dipersengketakan antara pemerintah dan pengusaha di satu sisi dan buruh di sisi lain.
Misalnya, di wilayah DKI Jakarta, pihak pemprov dan pengusaha telah sepakat bahwa jumlah upah minimum provinsi (UMP) pada tahun 2017 adalah sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Namun, buruh menolak jumlah tersebut.
Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri memang telah mengingatkan para gubernur di seluruh Indonesia untuk menentukan besaran UMP 2017 berdasarkan PP No. 78/2015.
Menaker dalam Rakornas Penetapan Upah di Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Selasa (25/10), mengatakan bahwa aturan PP Pengupahan itu sudah adil karena memberikan kepastian upah pada dunia usaha, kepastian kenaikan upah setiap tahun bagi pekerja, dan membuka lapangan kerja kepada yang belum bekerja agar bisa dapat bekerja dan memperbanyak lapangan pekerjaan.
Sesuai dengan PP tentang Pengupahan, penetapan UM dilaksanakan dengan menggunakan formula perhitungan menggunakan besaran inflasi dan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Namun, sejumlah elemen buruh seperti Gerakan Buruh Jakarta (GBJ) menuntut penetapan upah minimum berdasarkan survei kebutuhan hidup layak (KHL) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Survei KHL adalah amanah UU 13/2003, bukan kemauan tanpa dasar dari buruh di Indonesia sehingga wajar buruh menuntut penerapan UU tersebut," kata Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis (13/10).
Ia mengatakan bahwa pemerintah, baik pusat maupun daerah, seharusnya memberi contoh positif bagi penegakan hukum di Indonesia.
Penetapan upah minimum sepertinya menjadi "pertengkaran" yang terjadi setiap tahun meski telah terdapat deretan aturan yang telah mengukuhkan bagaimana seharusnya jumlah tersebut ditetapkan.
Namun, hal yang perlu diingat bahwa persoalan terkait dengan buruh tidak hanya sebatas mengenai penetapan upah, tetapi ada beragam permasalahan lainnya yang juga perlu untuk disorot.
BPJS
Salah satunya adalah mengenai program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang saat ini masih belum diikuti oleh seluruh perusahaan di berbagai daerah.
Untuk itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menginginkan berbagai perusahaan di Tanah Air dapat menumbuhkan kesadaran serta mengoptimalkan manfaat dari program kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.
"Perusahaan atau bahkan tenaga kerja belum sepenuhnya mengetahui manfaat kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Untuk itu, kami ikut menyosialisasikannya di lingkungan Kadin, baik Kadin pusat maupun Kadin daerah," kata Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P. Roeslani dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (17/10).
Sebagaimana diketahui, Kadin Indonesia dan BPJS Ketenagakerjaan telah melakukan penandatanganan kerja sama dalam rangka meningkatkan kepesertaan serta menumbuhkan kesadaran jaminan sosial, utamanya bagi tenaga kerja.
Bentuk kerja sama itu berupa sosialisasi dan edukasi lebih jauh mengenai pemanfaatan BPJS Ketenagakerjaan bagi tenaga kerja serta perusahaan-perusahaan sebagai pemberi kerja.
Kedua belah pihak juga bersepakat untuk saling tukar informasi data untuk perluasan kepesertaan. "Kami menilai kerja sama ini baik sekali," kata Ketua Umum Kadin.
Rosan P. Roeslani juga menjelaskan bahwa para pelaku usaha sebaiknya mengikutsertakan pekerjanya menjadi peserta BPJS, apalagi dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan bisa bermanfaat untuk menggulirkan roda perekonomian nasional.
Sementara itu, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto menilai Kadin adalah mitra strategis dalam peningkatan kepesertaan program jaminan sosial tenaga kerja.
"Semua kerja sama yang dijalin tentunya kami harapkan dapat didukung oleh semua pihak, terutama pada perusahaan atau pemberi kerja," kata Agus.
Ia menerangkan bahwa saat ini perusahaan yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan ada sekitar 352.000 atau baru 60 persen dari jumlah perusahaan yang terdata sebanyak 600.000 perusahaan.
Agus mengharapkan lewat kerja sama dengan Kadin, seluruh perusahaan yang belum jadi peserta bisa taat regulasi dan mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta.
Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan sampai dengan 30 Juni 2016, angka kepesertaan program jaminan sosial ketenagakerjaan telah mencapai 477.537 perusahaan dan 19.640.847 tenaga kerja.
Jumlah tersebut terdiri atas 14.057.192 pekerja penerima upah, 416.789 pekerja bukan penerima upah, dan 5.166.866 pekerja konstruksi.
TKI
Tidak hanya tenaga kerja yang ada di dalam negeri, tetapi persoalan dalam sektor ketenagakerjaan juga jangan sampai melupakan nasib TKI yang bekerja di luar negeri.
Oleh karena itu, Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf dalam sejumlah kesempatan juga mengutarakan harapannya agar negara memiliki sebuah konsep untuk melindungi TKI dengan Jaminan Sosial Nasional (JSN).
"Misalnya, bisa saja JSN bekerja sama dengan konsorsium. Konsorsium itu harus memiliki perwakilan di luar negeri," kata Dede Yusuf.
Menurut dia, masih banyak laporan TKI di sejumlah negara yang mengalami kondisi putus hubungan kerja tetapi belum menerima haknya.
Politikus Partai Demokrat itu berpendapat bahwa sulitnya asuransi yang menaungi TKI melakukan klaim karena beberapa faktor, antara lain, persoalan pendataan dan tidak adanya perwakilan Indonesia di luar negeri sehingga klaimnya sulit ditindaklanjuti.
"Selain itu, kami juga mendorong dengan membuat Panja (Panitia Kerja) BPJS ketenagakerjaan," ucapnya.
Sebelumnya, sejumlah anggota Komisi IX DPR RI juga menyoroti masih belum optimalnya kinerja BPJS Ketenagakerjaan, seperti dalam mengikutsertakan sejumlah kalangan pekerja yang layak dimasukkan dalam program.
"Kami melihat bahwa BPJS Ketenagakerjaan ini bekerja belum optimal. Misalnya, masalah rekening pekerja outsourching yang tidak bertambah di BPJS Ketenagakerjaan, padahal gaji mereka dipotong terus," kata anggota Komisi IX DPR RI Elva Hartati.
Untuk itu, menurut politikus PDI Perjuangan tersebut, pihaknya telah menginstruksikan kepada Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan untuk mengawasi hal tersebut.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani juga menyatakan masih adanya persoalan karyawan di daerah yang masih belum mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja.
"Kemarin saya di dapil, ada 650 karyawan salah satunya perusahaan pabrik gula yang datang kepada saya. Mereka pekerja kontrak outsourcing yang dikerjakan pada pihak ketiga. Kawan-kawan ini belum mendapatkan hak-haknya," kata politikus Partai NasDem itu.
Ia mengatakan bahwa sejumlah karyawan ini tidak mendapatkan hak-haknya meski para karyawan terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan tempat perusahaan outsourcing.
Dengan masih banyaknya persoalan tersebut, hal penting yang harus diingat bahwa permasalahan kaum pekerja di Tanah Air bukan hanya sebatas penetapan upah.
Misalnya, di wilayah DKI Jakarta, pihak pemprov dan pengusaha telah sepakat bahwa jumlah upah minimum provinsi (UMP) pada tahun 2017 adalah sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Namun, buruh menolak jumlah tersebut.
Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri memang telah mengingatkan para gubernur di seluruh Indonesia untuk menentukan besaran UMP 2017 berdasarkan PP No. 78/2015.
Menaker dalam Rakornas Penetapan Upah di Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Selasa (25/10), mengatakan bahwa aturan PP Pengupahan itu sudah adil karena memberikan kepastian upah pada dunia usaha, kepastian kenaikan upah setiap tahun bagi pekerja, dan membuka lapangan kerja kepada yang belum bekerja agar bisa dapat bekerja dan memperbanyak lapangan pekerjaan.
Sesuai dengan PP tentang Pengupahan, penetapan UM dilaksanakan dengan menggunakan formula perhitungan menggunakan besaran inflasi dan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Namun, sejumlah elemen buruh seperti Gerakan Buruh Jakarta (GBJ) menuntut penetapan upah minimum berdasarkan survei kebutuhan hidup layak (KHL) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Survei KHL adalah amanah UU 13/2003, bukan kemauan tanpa dasar dari buruh di Indonesia sehingga wajar buruh menuntut penerapan UU tersebut," kata Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis (13/10).
Ia mengatakan bahwa pemerintah, baik pusat maupun daerah, seharusnya memberi contoh positif bagi penegakan hukum di Indonesia.
Penetapan upah minimum sepertinya menjadi "pertengkaran" yang terjadi setiap tahun meski telah terdapat deretan aturan yang telah mengukuhkan bagaimana seharusnya jumlah tersebut ditetapkan.
Namun, hal yang perlu diingat bahwa persoalan terkait dengan buruh tidak hanya sebatas mengenai penetapan upah, tetapi ada beragam permasalahan lainnya yang juga perlu untuk disorot.
BPJS
Salah satunya adalah mengenai program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang saat ini masih belum diikuti oleh seluruh perusahaan di berbagai daerah.
Untuk itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menginginkan berbagai perusahaan di Tanah Air dapat menumbuhkan kesadaran serta mengoptimalkan manfaat dari program kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.
"Perusahaan atau bahkan tenaga kerja belum sepenuhnya mengetahui manfaat kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Untuk itu, kami ikut menyosialisasikannya di lingkungan Kadin, baik Kadin pusat maupun Kadin daerah," kata Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P. Roeslani dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (17/10).
Sebagaimana diketahui, Kadin Indonesia dan BPJS Ketenagakerjaan telah melakukan penandatanganan kerja sama dalam rangka meningkatkan kepesertaan serta menumbuhkan kesadaran jaminan sosial, utamanya bagi tenaga kerja.
Bentuk kerja sama itu berupa sosialisasi dan edukasi lebih jauh mengenai pemanfaatan BPJS Ketenagakerjaan bagi tenaga kerja serta perusahaan-perusahaan sebagai pemberi kerja.
Kedua belah pihak juga bersepakat untuk saling tukar informasi data untuk perluasan kepesertaan. "Kami menilai kerja sama ini baik sekali," kata Ketua Umum Kadin.
Rosan P. Roeslani juga menjelaskan bahwa para pelaku usaha sebaiknya mengikutsertakan pekerjanya menjadi peserta BPJS, apalagi dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan bisa bermanfaat untuk menggulirkan roda perekonomian nasional.
Sementara itu, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto menilai Kadin adalah mitra strategis dalam peningkatan kepesertaan program jaminan sosial tenaga kerja.
"Semua kerja sama yang dijalin tentunya kami harapkan dapat didukung oleh semua pihak, terutama pada perusahaan atau pemberi kerja," kata Agus.
Ia menerangkan bahwa saat ini perusahaan yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan ada sekitar 352.000 atau baru 60 persen dari jumlah perusahaan yang terdata sebanyak 600.000 perusahaan.
Agus mengharapkan lewat kerja sama dengan Kadin, seluruh perusahaan yang belum jadi peserta bisa taat regulasi dan mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta.
Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan sampai dengan 30 Juni 2016, angka kepesertaan program jaminan sosial ketenagakerjaan telah mencapai 477.537 perusahaan dan 19.640.847 tenaga kerja.
Jumlah tersebut terdiri atas 14.057.192 pekerja penerima upah, 416.789 pekerja bukan penerima upah, dan 5.166.866 pekerja konstruksi.
TKI
Tidak hanya tenaga kerja yang ada di dalam negeri, tetapi persoalan dalam sektor ketenagakerjaan juga jangan sampai melupakan nasib TKI yang bekerja di luar negeri.
Oleh karena itu, Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf dalam sejumlah kesempatan juga mengutarakan harapannya agar negara memiliki sebuah konsep untuk melindungi TKI dengan Jaminan Sosial Nasional (JSN).
"Misalnya, bisa saja JSN bekerja sama dengan konsorsium. Konsorsium itu harus memiliki perwakilan di luar negeri," kata Dede Yusuf.
Menurut dia, masih banyak laporan TKI di sejumlah negara yang mengalami kondisi putus hubungan kerja tetapi belum menerima haknya.
Politikus Partai Demokrat itu berpendapat bahwa sulitnya asuransi yang menaungi TKI melakukan klaim karena beberapa faktor, antara lain, persoalan pendataan dan tidak adanya perwakilan Indonesia di luar negeri sehingga klaimnya sulit ditindaklanjuti.
"Selain itu, kami juga mendorong dengan membuat Panja (Panitia Kerja) BPJS ketenagakerjaan," ucapnya.
Sebelumnya, sejumlah anggota Komisi IX DPR RI juga menyoroti masih belum optimalnya kinerja BPJS Ketenagakerjaan, seperti dalam mengikutsertakan sejumlah kalangan pekerja yang layak dimasukkan dalam program.
"Kami melihat bahwa BPJS Ketenagakerjaan ini bekerja belum optimal. Misalnya, masalah rekening pekerja outsourching yang tidak bertambah di BPJS Ketenagakerjaan, padahal gaji mereka dipotong terus," kata anggota Komisi IX DPR RI Elva Hartati.
Untuk itu, menurut politikus PDI Perjuangan tersebut, pihaknya telah menginstruksikan kepada Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan untuk mengawasi hal tersebut.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani juga menyatakan masih adanya persoalan karyawan di daerah yang masih belum mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja.
"Kemarin saya di dapil, ada 650 karyawan salah satunya perusahaan pabrik gula yang datang kepada saya. Mereka pekerja kontrak outsourcing yang dikerjakan pada pihak ketiga. Kawan-kawan ini belum mendapatkan hak-haknya," kata politikus Partai NasDem itu.
Ia mengatakan bahwa sejumlah karyawan ini tidak mendapatkan hak-haknya meski para karyawan terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan tempat perusahaan outsourcing.
Dengan masih banyaknya persoalan tersebut, hal penting yang harus diingat bahwa permasalahan kaum pekerja di Tanah Air bukan hanya sebatas penetapan upah.