Mountain View, California, (ANTARA Sumsel) - Saat orang tua di Tanah Air berbondong-bondong mengenalkan anaknya dengan gawai seperti ponsel pintar, komputer maupun tablet sejak dini, justru anak-anak para pekerja Google jauh dari hal itu semua.

Setidaknya itu yang tergambar saat berkunjung ke The Woods, Pusat Pengembangan Anak Google, yang terletak di Gladys Ave, Mountain View, Caliornia.

LKBN Antara dan rombongan pegiat pendidikan Indonesia disambut ramah oleh Direktur Google Children Center, Gail Solit. Gail, perempuan separuh baya yang energik, dengan cekatan memandu para tamu.

Pusat pengembangan atau lebih tepat disebut penitipan anak tersebut terdiri atas beberapa kelas yang dikelompokkan berdasarkan usia anak. Sementara para orang tuanya bekerja, anak-anak mereka dititipkan di The Woods.

"Kami menerima anak mulai berumur enam bulan hingga empat tahun," kata Gail.

Pusat pengembangan tersebut memang khusus diperuntukkan bagi anak-anak para pekerja Google. Berbeda dengan pekerjaan orang tua mereka, yang bergelut dengan teknologi. Di tempat tersebut, justru sebaliknya. Tak ada anak yang memegang gawai. Anak-anak dibiarkan bermain dan berinteraksi dengan anak lainnya.

Gail berpendapat, jika anak diperkenalkan dengan gawai sejak dini maka mereka tidak akan berinteraksi dengan sesamanya.

"Mereka tidak akan berbicara dengan temannya yang lain, tentunya mereka sibuk sendiri dengan gawai mereka. Mereka juga tidak berinteraksi dengan lingkungan, dan itu tidak baik untuk perkembangan mereka."
Penggunaan komputer pun, sambung dia, tidak baik karena melalui komputer, anak belajar menyalin tanpa belajar membuat prakarya mereka sendiri. Itu sebabnya, pusat pengembangan anak tersebut lebih memilih anak-anak menggambar di kertas dibandingkan menggambar di komputer.

"Itu menjadi alasan mengapa kami tidak memasang, satu pun perangkat komputer di sini. Para guru memiliki laptop, tetapi mereka hanya boleh membukanya di ruangan kerja atau jauh dari anak," papar dia.

Sekolah tersebut sangat alami. Seperti layaknya, tempat penitipan anak lainnya, di sana ada perosotan, ayunan hingga trampolin.

Pada musim panas, mereka bermain lumpur sembari belajar dengan benda apa saja yang ada di sekitarnya, seperti bebatuan.

Sekolah itu sangat memperhatikan keselamatan anak didiknya. Misalnya pada lantai ayunan dibuat dari spon, sehingga tak membahayakan ketika anak terjatuh dari ayunan.

Lepas dari itu semua, sekolah itu menerapkan peraturan yang sangat ketat. Para tamu tidak diizinkan memotret para anak dan setiap detail sekolah. Peraturan di Amerika Serikat melarang keras wajah wajah anak dipublikasikan.

    
Jam tidur

LKBN Antara dan rombongan dari Indonesia datang, saat jam tidur anak-anak. Selepas bermain, anak-anak diwajibkan untuk tidur. Mereka tidur di kasur masing-masing. Mereka bebas memilih mau meletakkan kasur di mana mereka suka. Misalnya ada yang ingin tidur tak jauh dari pintu dan ada juga yang memilih mojok di sudut ruangan.

Saat jam tidur, tak ada yang bersuara jika tidak bisa memejamkan mata. Ketika ada tamu yang masuk ke kelas pun, anak yang tidak tidur hanya melihat tanpa berani berbicara.

Di pojok lain, ada guru yang dengan sepenuh hati meninabobokan anak lainnya dan menyelimuti anak-anak yang tidur. Semuanya dilakukan dengan sepenuh hati.

Aktivitas anak-anak pun beragam. Di dalam ruangan, balita diajarkan menjahit berbagai macam kostum. Dengan menggunakan mesin jahit sungguhan, mereka membuat kostum yang mereka suka. kostum-kostum yang sederhana.

"Semuanya dilakukan dengan pendampingan dari guru," kata Gail.

Aktivitas di luar ruangan pun beragam, selain bermain anak-anak diajarkan berkebun. Mereka diajak untuk menyiram tanaman serta merawatnya. Atau sekali waktu, mereka pun diajak untuk menjadi tukang kayu. Palu yang digunakan, tentu saja palu sungguhan.

"Semua peralatan yang digunakan sungguhan, seperti palu ini tapi lebih ringan."
Lagi-lagi, semua itu dengan pengawasan dari guru. Hasil karya anak-anak tersebut dipamerkan di sekolah itu. Lain waktu, anak-anak diajarkan melukis oleh guru seni mereka.

Pertanyaan mendasar, apakah anak-anak tersebut diajarkan baca, tulis dan berhitung? Gail dengan tegas menggelengkan kepala. Anak-anak tidak diajarkan membaca dan berhitung, tapi anak belajar secara tidak langsung.

"Misalnya ada lima anak, mereka mau makan, sementara piring yang tersedia hanya empat. Oo oo, berarti ada yang tidak mendapatkan piring. Pun dengan belajar warna, misalnya yang jaket biru berdiri di sebelah sini, yang warna merah di sana," papar Gail.

Dengan demikian, anak belajar mengenai perhitungan dan warna meski tidak diajarkan secara langsung. Kondisi tersebut berbeda dengan Tanah Air, yang mana anak sudah diajarkan membaca, menulis dan berhitung sejak dini.

Guru-guru di pusat pengembangan tersebut juga mendapatkan pengembangan karir. Mereka mendapatkan pelatihan bagaimana menghadapi anak dan kreativ.

Setiap bulannya, para guru berdiskusi membicarakan apa yang perlu dilakukan dan yang terbaik bagi anak.

Pegiat pendidikan Indonesia, Rene Suhardono Canoneo, mengaku takjub dengan sistem pendidikan di tempat penitipan anak tersebut. Di tempat tersebut, kata Rene, anak-anak tumbuh kembang secara alamiah atau natural dan berinteraksi satu sama lain.

"Apa pun bisa dijadikan mainan. Tak perlu mainan mahal. Bahkan kotak susu pun bisa dijadikan sebagai mainan," kata Rene.

Ya, di tempat penitipan anak tersebut anak-anak bermain dan belajar menyusun kotak susu.

Menurut Rene, tempat tersebut bukan sekadar tempat penitipan anak. Paling penting, para guru menggunakan instrumen yang ada di lingkungan sekitar.

"Para guru memandang anak bukan sebagai makhluk yang berbeda. Anak-anak diajarkan bagaimana memecahkan masalah melalui permainan, anak-anak juga diajarkan mengenai kualitas dari suatu produk," jelas Rene.

Apa yang dilihatnya di pusat penitipan anak Google tersebut, lanjut Rene, sangat menarik dan bagus jika diterapkan pada pendidikan di Tanah Air.

Pewarta : Indriani
Editor : Ujang
Copyright © ANTARA 2024