Jakarta (ANTARA Sumsel) - Musim Pemilu 2014 datang jumlah pemilih tetap yang akan memberikan suaranya telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum sebanyak sekitar 186,6 juta orang.
Untuk Pemilu Legislatif 9 April 2014, sebanyak 12 partai politik tingkat nasional dan tiga partai politik tingkat lokal di Aceh menjadi peserta Pemilu dengan mengusung masing-masing jagonya agar terpilih menjadi anggota DPR, DPRD tingkat provinsi, dan DPRD tingkat kabupaten-kota.
Ratusan peserta Pemilu perorangan juga telah ancang-ancang supaya terpilih menjadi anggota DPD masing-masing sebanyak empat orang dari tiap provinsi.
Sementara untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014 hanya bakal diikuti oleh partai politik yang memenuhi ambang batas minimal bagi partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold).
Ketentuan ambang batas minimal pencalonan presiden tertuang dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyebutkan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
UU itu menyebutkan bahwa penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Di samping itu, pengaturan terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang ini juga dimaksudkan untuk menegaskan sistem presidensiil yang kuat dan efektif, dimana presiden dan wakil presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat, namun dalam rangka mewujudkan efektivitas pemerintahan juga diperlukan basis dukungan dari DPR.
Undang-Undang itu mengatur mekanisme pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden untuk menghasilkan presiden dan wakil presiden yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi etika dan moral, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik.
Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam UU itu diatur beberapa substansi penting yang signifikan antara lain mengenai persyaratan Calon presiden dan wakil presiden wajib memiliki visi, misi, dan program kerja yang akan dilaksanakan selama lima tahun ke depan. Dalam konteks penyelenggaraan sistem pemerintahan Presidensiil, menteri yang akan dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden harus mengundurkan diri pada saat didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum.
Selain para menteri, UU itu juga mewajibkan kepada Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mengundurkan diri apabila dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden.
Pengunduran diri para pejabat negara tersebut dimaksudkan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan terwujudnya etika politik ketatanegaraan. Untuk menjaga etika penyelenggaraan pemerintahan, gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, atau walikota-wakil walikota perlu meminta izin kepada presiden pada saat dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden.
Presiden dan wakil presiden Republik Indonesia terpilih adalah pemimpin bangsa, bukan hanya pemimpin golongan atau kelompok tertentu. Untuk itu, dalam rangka membangun etika pemerintahan terdapat semangat bahwa presiden atau wakil presiden terpilih tidak merangkap jabatan sebagai Pimpinan Partai Politik yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing partai politik.
Proses pencalonan presiden dan wakil presiden dilakukan melalui kesepakatan tertulis partai politik atau gabungan partai politik dalam pengusulan pasangan calon yang memiliki nuansa terwujudnya koalisi permanen guna mendukung terciptanya efektivitas pemerintahan.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 sudah diterapkan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada 2009. Hasilnya, dari 44 partai politik peserta Pemilu 2009, hanya Partai Demokrat yang meraih lebih dari 20 persen dari 560 jumlah kursi di DPR. Partai Demokrat meraih 150 kursi atau 20,85 persen dari 560 kursi.
Sementara partai lainnya yang meraih kursi di DPR adalah Partai Golkar meraih 107 kursi atau 14,45 persen dari 560 kursi. PDI Perjuangan 95 kursi atau 14,03 persen, PKS 57 kursi atau 7,88 persen, PAN 43 kursi atau 6,01 persen, PPP 37 kursi atau 5,32 persen, PKB 27 kursi atau 4,94 persen, Gerindra 26 kursi atau 4,46 persen, dan Partai Hanura mendapat 18 kursi atau 3,77 persen dari 560 kursi yang ada di DPR RI. Sedangkan 35 partai politik lainnya gagal meraih satu kursi pun di DPR.
Pemerintahan baru hasil Pemilu 2014 masih merupakan dari koalisi sejumlah partai politik, demikian hal yang mengemuka pada Seminar Indonesia Update yang diadakan Kementerian Kominfo dan KBRI di Wellington, Selandia Baru, pada 28 November 2013.
"Koalisi kecil dari dua atau tiga partai bukan koalisi besar seperti saat ini," kata dosen Universitas Paramadina Dr Djayadi Hanan yang menjadi salah seorang narasumber acara itu. Pembicara lain pada acara yang dibuka oleh Kuasa Usaha KBRI Wellington Ple Priatna adalah Andre Omer Siregar dari Kementerian Luar Negeri yang pernah menjadi penerjemah sejak era Presiden Megawati dan Prof Dr Ben Thirkell-White dari Universitas Victoria Wellington.
Djayadi yang juga konsultan politik di Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mengatakan persyaratan perolehan suara minimal 25 persen akan membuat sejumlah partai politik berkoalisi mendukung calon presiden.
Ia menyebutkan dukungan publik untuk PDI Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Gerindra meningkat, sedangkan untuk Partai Demokrat menunjukkan indikasi menurun.
"Hal itu bisa saja disebabkan karena pemerintahan SBY akan berakhir tahun depan," kata Ben Thirkell-White. Djayadi menimpali konvensi calon presiden dari Partai Demokrat yang diikuti 11 peserta juga nyaris tak terdengar.
"Apakah ini mengindikasikan mereka belum punya calon kuat," katanya.
Andre dan Ben sepakat bahwa dinamika politik dan demokrasi di Indonesia berlangsung dinamis dengan kemunculan tokoh-tokoh yang mencoba peruntungan dalam Pemilu 2014.
Dinamika politik yang sejauh ini berjalan baik harus tetap dijaga agar pelaksanaan Pemilu 2014 berjalan lancar, aman, dan sukses. Kuasa Usaha KBRI Wellington Ple Priatna menyatakan bahwa kesuksesan Pemilu bukan hanya pada berapa banyak pemilih memberikan suaranya ke tempat-tempat pemungutan suara melainkan apakah suara dari rakyat pemilih itu membawa kehidupan demokrasi yang lebih baik.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau sering disapa Jokowi menjadi pilihan utama responden survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada November 2013. Sebanyak 34,7 persen responden memilih Jokowi dalam pilihan presiden atau 'top of mind'," kata Kepala Departemen Politik dan Hubungan International CSIS Phillips J. Vermonte dalam paparan "Survei Nasional CSIS November: Tanda-tanda Berakhirnya Oligarki Elite Partai".
CSIS melakukan surveinya dengan metode wawancara langsung tatap muka di 33 provinsi pada tanggal 13 - 20 November 2013 dengan 1.180 responden dan margin of error sebesar 2,85 persen.
Nama-nama lain yang terpilih sebagai presiden oleh responden survei itu adalah Prabowo Subianto (10,7 persen), Aburizal Bakrie (9 persen), Wiranto (4,6 persen), Jusuf Kalla (3,7 persen), Megawati (3,3 persen), Mahfud MD (1,8 persen), dan Hatta Rajasa (0,6 persen).
Sebanyak 22,8 persen responden menyatakan belum mempunyai pilihan presiden pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014.
Survei ini juga menemukan tingkat dukungan terhadap Jokowi makin terkonsolidasi, bukan hanya dari pemilih-pemilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan melainkan juga dari pemilih partai-partai lain. Sumber dukungan terbesar kepada Jokowi masih datang dari para pemilih PDI Perjuangan sebanyak 63,6 persen, kemudian para pemilih Partai Demokrat (42,7 persen), para pemilih Partai Golkar (22,7 persen), dan pemilih Partai Gerindra (20,6 persen).
Temuan itu menunjukkan dukungan kepada calon yang bukan bagian dari oligarki dan dinasti partai politik semakin luas. Maka, partai politik harus membuka diri serta mengurangi oligarki dan dinasti di internal mereka.
Phillips menambahkan bahwa keretakan oligarki partai harus terus didorong dengan memaksa semua partai untuk menemukan figur yang didukung arus bawah atau menyelenggarakan konvensi yang demokratis sehingga partai bukan menjadi milik ketua dan bendahara seperti selama ini terjadi.
Sementara itu, hasil survei itu tentang partai pilihan responden pada bulan November 2013 menunjukkan PDI Perjuangan meraih posisi pertama (17,6 persen), disusul Golkar (14,8 persen), Gerindra (8,6 persen), Demokrat (7 persen), dan Partai Kebangkitan Bangsa (4,6 persen).
Kemudian, Partai Persatuan Pembangunan (3,5 persen), Partai Amanat Nasional (3,3 persen), Partai Keadilan Sejahtera (3,3 persen), Partai Hanura (2,4 persen), Partai Nasional Demokrat (2 persen), Partai Bulan Bintang (0,5 persen), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (0,5) persen.
Hasil survei itu menunjukkan bahwa pemerintahan mendatang tetap terbentuk melalui koalisi sebagaimana pemerintahan koalisi hasil Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009.
Untuk Pemilu Legislatif 9 April 2014, sebanyak 12 partai politik tingkat nasional dan tiga partai politik tingkat lokal di Aceh menjadi peserta Pemilu dengan mengusung masing-masing jagonya agar terpilih menjadi anggota DPR, DPRD tingkat provinsi, dan DPRD tingkat kabupaten-kota.
Ratusan peserta Pemilu perorangan juga telah ancang-ancang supaya terpilih menjadi anggota DPD masing-masing sebanyak empat orang dari tiap provinsi.
Sementara untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014 hanya bakal diikuti oleh partai politik yang memenuhi ambang batas minimal bagi partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold).
Ketentuan ambang batas minimal pencalonan presiden tertuang dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyebutkan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
UU itu menyebutkan bahwa penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Di samping itu, pengaturan terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang ini juga dimaksudkan untuk menegaskan sistem presidensiil yang kuat dan efektif, dimana presiden dan wakil presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat, namun dalam rangka mewujudkan efektivitas pemerintahan juga diperlukan basis dukungan dari DPR.
Integritas tinggi
Undang-Undang itu mengatur mekanisme pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden untuk menghasilkan presiden dan wakil presiden yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi etika dan moral, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik.
Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam UU itu diatur beberapa substansi penting yang signifikan antara lain mengenai persyaratan Calon presiden dan wakil presiden wajib memiliki visi, misi, dan program kerja yang akan dilaksanakan selama lima tahun ke depan. Dalam konteks penyelenggaraan sistem pemerintahan Presidensiil, menteri yang akan dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden harus mengundurkan diri pada saat didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum.
Selain para menteri, UU itu juga mewajibkan kepada Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mengundurkan diri apabila dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden.
Pengunduran diri para pejabat negara tersebut dimaksudkan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan terwujudnya etika politik ketatanegaraan. Untuk menjaga etika penyelenggaraan pemerintahan, gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, atau walikota-wakil walikota perlu meminta izin kepada presiden pada saat dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden.
Presiden dan wakil presiden Republik Indonesia terpilih adalah pemimpin bangsa, bukan hanya pemimpin golongan atau kelompok tertentu. Untuk itu, dalam rangka membangun etika pemerintahan terdapat semangat bahwa presiden atau wakil presiden terpilih tidak merangkap jabatan sebagai Pimpinan Partai Politik yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing partai politik.
Proses pencalonan presiden dan wakil presiden dilakukan melalui kesepakatan tertulis partai politik atau gabungan partai politik dalam pengusulan pasangan calon yang memiliki nuansa terwujudnya koalisi permanen guna mendukung terciptanya efektivitas pemerintahan.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 sudah diterapkan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada 2009. Hasilnya, dari 44 partai politik peserta Pemilu 2009, hanya Partai Demokrat yang meraih lebih dari 20 persen dari 560 jumlah kursi di DPR. Partai Demokrat meraih 150 kursi atau 20,85 persen dari 560 kursi.
Kursi
Sementara partai lainnya yang meraih kursi di DPR adalah Partai Golkar meraih 107 kursi atau 14,45 persen dari 560 kursi. PDI Perjuangan 95 kursi atau 14,03 persen, PKS 57 kursi atau 7,88 persen, PAN 43 kursi atau 6,01 persen, PPP 37 kursi atau 5,32 persen, PKB 27 kursi atau 4,94 persen, Gerindra 26 kursi atau 4,46 persen, dan Partai Hanura mendapat 18 kursi atau 3,77 persen dari 560 kursi yang ada di DPR RI. Sedangkan 35 partai politik lainnya gagal meraih satu kursi pun di DPR.
Pemerintahan baru hasil Pemilu 2014 masih merupakan dari koalisi sejumlah partai politik, demikian hal yang mengemuka pada Seminar Indonesia Update yang diadakan Kementerian Kominfo dan KBRI di Wellington, Selandia Baru, pada 28 November 2013.
"Koalisi kecil dari dua atau tiga partai bukan koalisi besar seperti saat ini," kata dosen Universitas Paramadina Dr Djayadi Hanan yang menjadi salah seorang narasumber acara itu. Pembicara lain pada acara yang dibuka oleh Kuasa Usaha KBRI Wellington Ple Priatna adalah Andre Omer Siregar dari Kementerian Luar Negeri yang pernah menjadi penerjemah sejak era Presiden Megawati dan Prof Dr Ben Thirkell-White dari Universitas Victoria Wellington.
Djayadi yang juga konsultan politik di Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mengatakan persyaratan perolehan suara minimal 25 persen akan membuat sejumlah partai politik berkoalisi mendukung calon presiden.
Ia menyebutkan dukungan publik untuk PDI Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Gerindra meningkat, sedangkan untuk Partai Demokrat menunjukkan indikasi menurun.
"Hal itu bisa saja disebabkan karena pemerintahan SBY akan berakhir tahun depan," kata Ben Thirkell-White. Djayadi menimpali konvensi calon presiden dari Partai Demokrat yang diikuti 11 peserta juga nyaris tak terdengar.
"Apakah ini mengindikasikan mereka belum punya calon kuat," katanya.
Andre dan Ben sepakat bahwa dinamika politik dan demokrasi di Indonesia berlangsung dinamis dengan kemunculan tokoh-tokoh yang mencoba peruntungan dalam Pemilu 2014.
Dinamika politik yang sejauh ini berjalan baik harus tetap dijaga agar pelaksanaan Pemilu 2014 berjalan lancar, aman, dan sukses. Kuasa Usaha KBRI Wellington Ple Priatna menyatakan bahwa kesuksesan Pemilu bukan hanya pada berapa banyak pemilih memberikan suaranya ke tempat-tempat pemungutan suara melainkan apakah suara dari rakyat pemilih itu membawa kehidupan demokrasi yang lebih baik.
Survei
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau sering disapa Jokowi menjadi pilihan utama responden survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada November 2013. Sebanyak 34,7 persen responden memilih Jokowi dalam pilihan presiden atau 'top of mind'," kata Kepala Departemen Politik dan Hubungan International CSIS Phillips J. Vermonte dalam paparan "Survei Nasional CSIS November: Tanda-tanda Berakhirnya Oligarki Elite Partai".
CSIS melakukan surveinya dengan metode wawancara langsung tatap muka di 33 provinsi pada tanggal 13 - 20 November 2013 dengan 1.180 responden dan margin of error sebesar 2,85 persen.
Nama-nama lain yang terpilih sebagai presiden oleh responden survei itu adalah Prabowo Subianto (10,7 persen), Aburizal Bakrie (9 persen), Wiranto (4,6 persen), Jusuf Kalla (3,7 persen), Megawati (3,3 persen), Mahfud MD (1,8 persen), dan Hatta Rajasa (0,6 persen).
Sebanyak 22,8 persen responden menyatakan belum mempunyai pilihan presiden pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014.
Survei ini juga menemukan tingkat dukungan terhadap Jokowi makin terkonsolidasi, bukan hanya dari pemilih-pemilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan melainkan juga dari pemilih partai-partai lain. Sumber dukungan terbesar kepada Jokowi masih datang dari para pemilih PDI Perjuangan sebanyak 63,6 persen, kemudian para pemilih Partai Demokrat (42,7 persen), para pemilih Partai Golkar (22,7 persen), dan pemilih Partai Gerindra (20,6 persen).
Temuan itu menunjukkan dukungan kepada calon yang bukan bagian dari oligarki dan dinasti partai politik semakin luas. Maka, partai politik harus membuka diri serta mengurangi oligarki dan dinasti di internal mereka.
Phillips menambahkan bahwa keretakan oligarki partai harus terus didorong dengan memaksa semua partai untuk menemukan figur yang didukung arus bawah atau menyelenggarakan konvensi yang demokratis sehingga partai bukan menjadi milik ketua dan bendahara seperti selama ini terjadi.
Sementara itu, hasil survei itu tentang partai pilihan responden pada bulan November 2013 menunjukkan PDI Perjuangan meraih posisi pertama (17,6 persen), disusul Golkar (14,8 persen), Gerindra (8,6 persen), Demokrat (7 persen), dan Partai Kebangkitan Bangsa (4,6 persen).
Kemudian, Partai Persatuan Pembangunan (3,5 persen), Partai Amanat Nasional (3,3 persen), Partai Keadilan Sejahtera (3,3 persen), Partai Hanura (2,4 persen), Partai Nasional Demokrat (2 persen), Partai Bulan Bintang (0,5 persen), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (0,5) persen.
Hasil survei itu menunjukkan bahwa pemerintahan mendatang tetap terbentuk melalui koalisi sebagaimana pemerintahan koalisi hasil Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009.