"Saban petang megang" yakni petang hari menjelang masuknya bulan Ramadhan, pulau Bulang Lintang ramai dikunjungi pendatang baik yang berasal dari pulau-pulau kecil di sekitarnya maupun dari pulau Batam bahkan dari negeri tetangga Singapura dan Malaysia.
Ketertarikan para pendatang untuk mengunjungi pulau kecil yang berada di perairan Kota Batam itu adalah untuk menziarahi sebuah makam tua yang berada di tengah pulau di antara rimbunan pohon yang dikelilingi tembok bata.
Dalam areal makam yang luasnya sekitar 15 x 20 meter persegi terdapat satu bangunan makam yang mencolok, selain bangunan makamnya lebih tinggi dari puluhan makam lainnya juga diberi atap yang ditopang empat pilar dan berlantai sebagai tempat duduk peziarah. Sama halnya dengan makam yang lain tiap nisan dikompleks makam tersebut dibalut kain kuning, warna kebesaran Kerajaan Melayu Johor-Riau.
Bangunan makam utama itu adalah makam Temenggung Abdul Jamal dan disamping makamnya terdapat makam istrinya Raja Maimunah.
Bagi warga Batam, nama Temenggung Abdul Jamal tidaklah asing karena nama tersebut diabadikan unuk nama stadion olahraga. Namun siapa orangnya banyak yang tidak tahu, begitu pun masyarakat Pulau Bulang tempat lokasi makam bersangkutan.
Tumenggung Abdul Jamal, menyandang jabatan temenggung atau penguasa daerah yang ditunjuk Sultan Johor-Riau. Dalam catatan sejarah Temenggung Abdul Jamal lahir pada 1720. Ia adalah putra dari Tun Abbas, Datuk Bendahara Kerajaan Johor-Riau.
Pulau Bulang telah dijadikan sebagai basis daerah perintah Temenggung sejak tahun 1722 hingga 1824, Pulau Bulang, juga telah menjadi satu kurnia Sultan Sulaiman Badrul AlamSyah (sultan Riau yang pertama) bagi kelurga Temenggung Riau-Johor. Dan sejak tahun 1722 pulau ini telah dijadikan "markas besar" keluarga Temenggung yang merupakan cabang kecil dinasti Bendahara yang memerintah Riau-Lingga-Johor-dan Pahang.
Sejarah singkat kehidupan Temenggung Abdul Jamal tidak akan didapat para peziarah baik dari informasi tertulis ataupun dari mulut ke mulut masyarakat tempatan. Namun keberadaan pulau dan makam yang menjadi warisan sejarah kebesaran Melayu tersebut terangkum dalam khazanah literature asing baik yang berada di pulau Penyengat maupun Singapura dan Johor.
"Amat disayangkan, bagi turis atau pendatang ke pulau ini tidak tahu riwayat orang yang dimakamkan," kata seorang pengelola kawasan wisata Telunas Resort, Alex.
Alex yang juga warga Amerika itu mengaku telah empat kali menyinggahi pulau tersebut membawa rombongan turis manca negara, namun ia tidak mengetahui banyak warisan sejarah yang dimiliki pulau dan keberadaan makam dari Kerajaan Riau-Johor itu.
Ketiadaan rekam jejak tentang warisan sejarah pulau Bulang Lintang juga diakui Apendi, seorang warga Batam yang berkunjung ke pulau Bulang Lintang untuk menziarahi makam Tumenggung Abdul Jamal.
"Bagi kami warga Batam hanya tahu nama Temenggung Abdul Jamal hanya diabadikan untuk nama stadion olahraga di Batam dan makamnya ada di pulau Bulang. Tapi siapa orangnya kami tidak tahu," ujarnya.
Sementara itu, beberapa barang pribadi atau peninggalan dari Temenggung Abdul Jamal masih ada di rumah ahli warisnya di Pulau Bulang Lintang.
"Beberapa tahun lalu pemerintah telah mendirikan bangunan museum mini Cik Puan Bulang di depan areal makam, tapi kami para ahli waris kuatir karena barang peninggalan pernah hilang," kata Mustafa yang merupakan menantu dari Raja Umar, keturunan dari Temenggung Abdul Jamal.
Menurut Mustafa, selain makam maka barang-barang peninggalan berupa empat batang keris, pedang, tombak, tongkat induk rotan (rotan yang tidak berbuku), talam tembaga, piring anti basi, dan mangkuk dari kulit paujanggi atau kelapa laut, merupakan harta pusaka yang masih dapat dilihat hingga kini.
"Barang-barang pusaka yang kini saya jaga ada kaitannya dengan makam dan Kerajaan Johor Lama. Saya pernah didatangi pihak Museum Johor melihat barang peninggalan ini. Mereka mengakui barang ini ada kaitan dengan mereka dan uniknya mangkuk dari kulit kelapa laut merupakan benda berpasangan, pasangannya ada di Museum Johor," ujar Mustafa yang merupakan suami dari Raja Alijah.
Pulau Bulang Lintang merupakan satu gugusan pulau di perairan Kota Batam yang berjarak sekitar setengah jam dengan mengarungi selat-selat sempit diantara gugusan pulau disebelah barat Pulau Batam. Untuk menjangkau pulau berpenduduk sekitar 200 kepala keluarga yang umumnya nelayan ini, dapat menumpang speedboat dari Pelabuhan Sagulung Batam.
Pulau Bulang, pulau kecil yang luasnya sekitar 150 hektare ramai disinggahi peziarah menjelang Ramadan, namun keberadaan warisan sejarah di pulau tersebut tanpa rekam jejak yang dapat memberikan informasi peran penting pulau Bulang Lintang dan Temenggung Abdul Jamal.
Ketertarikan para pendatang untuk mengunjungi pulau kecil yang berada di perairan Kota Batam itu adalah untuk menziarahi sebuah makam tua yang berada di tengah pulau di antara rimbunan pohon yang dikelilingi tembok bata.
Dalam areal makam yang luasnya sekitar 15 x 20 meter persegi terdapat satu bangunan makam yang mencolok, selain bangunan makamnya lebih tinggi dari puluhan makam lainnya juga diberi atap yang ditopang empat pilar dan berlantai sebagai tempat duduk peziarah. Sama halnya dengan makam yang lain tiap nisan dikompleks makam tersebut dibalut kain kuning, warna kebesaran Kerajaan Melayu Johor-Riau.
Bangunan makam utama itu adalah makam Temenggung Abdul Jamal dan disamping makamnya terdapat makam istrinya Raja Maimunah.
Bagi warga Batam, nama Temenggung Abdul Jamal tidaklah asing karena nama tersebut diabadikan unuk nama stadion olahraga. Namun siapa orangnya banyak yang tidak tahu, begitu pun masyarakat Pulau Bulang tempat lokasi makam bersangkutan.
Tumenggung Abdul Jamal, menyandang jabatan temenggung atau penguasa daerah yang ditunjuk Sultan Johor-Riau. Dalam catatan sejarah Temenggung Abdul Jamal lahir pada 1720. Ia adalah putra dari Tun Abbas, Datuk Bendahara Kerajaan Johor-Riau.
Pulau Bulang telah dijadikan sebagai basis daerah perintah Temenggung sejak tahun 1722 hingga 1824, Pulau Bulang, juga telah menjadi satu kurnia Sultan Sulaiman Badrul AlamSyah (sultan Riau yang pertama) bagi kelurga Temenggung Riau-Johor. Dan sejak tahun 1722 pulau ini telah dijadikan "markas besar" keluarga Temenggung yang merupakan cabang kecil dinasti Bendahara yang memerintah Riau-Lingga-Johor-dan Pahang.
Sejarah singkat kehidupan Temenggung Abdul Jamal tidak akan didapat para peziarah baik dari informasi tertulis ataupun dari mulut ke mulut masyarakat tempatan. Namun keberadaan pulau dan makam yang menjadi warisan sejarah kebesaran Melayu tersebut terangkum dalam khazanah literature asing baik yang berada di pulau Penyengat maupun Singapura dan Johor.
"Amat disayangkan, bagi turis atau pendatang ke pulau ini tidak tahu riwayat orang yang dimakamkan," kata seorang pengelola kawasan wisata Telunas Resort, Alex.
Alex yang juga warga Amerika itu mengaku telah empat kali menyinggahi pulau tersebut membawa rombongan turis manca negara, namun ia tidak mengetahui banyak warisan sejarah yang dimiliki pulau dan keberadaan makam dari Kerajaan Riau-Johor itu.
Ketiadaan rekam jejak tentang warisan sejarah pulau Bulang Lintang juga diakui Apendi, seorang warga Batam yang berkunjung ke pulau Bulang Lintang untuk menziarahi makam Tumenggung Abdul Jamal.
"Bagi kami warga Batam hanya tahu nama Temenggung Abdul Jamal hanya diabadikan untuk nama stadion olahraga di Batam dan makamnya ada di pulau Bulang. Tapi siapa orangnya kami tidak tahu," ujarnya.
Sementara itu, beberapa barang pribadi atau peninggalan dari Temenggung Abdul Jamal masih ada di rumah ahli warisnya di Pulau Bulang Lintang.
"Beberapa tahun lalu pemerintah telah mendirikan bangunan museum mini Cik Puan Bulang di depan areal makam, tapi kami para ahli waris kuatir karena barang peninggalan pernah hilang," kata Mustafa yang merupakan menantu dari Raja Umar, keturunan dari Temenggung Abdul Jamal.
Menurut Mustafa, selain makam maka barang-barang peninggalan berupa empat batang keris, pedang, tombak, tongkat induk rotan (rotan yang tidak berbuku), talam tembaga, piring anti basi, dan mangkuk dari kulit paujanggi atau kelapa laut, merupakan harta pusaka yang masih dapat dilihat hingga kini.
"Barang-barang pusaka yang kini saya jaga ada kaitannya dengan makam dan Kerajaan Johor Lama. Saya pernah didatangi pihak Museum Johor melihat barang peninggalan ini. Mereka mengakui barang ini ada kaitan dengan mereka dan uniknya mangkuk dari kulit kelapa laut merupakan benda berpasangan, pasangannya ada di Museum Johor," ujar Mustafa yang merupakan suami dari Raja Alijah.
Pulau Bulang Lintang merupakan satu gugusan pulau di perairan Kota Batam yang berjarak sekitar setengah jam dengan mengarungi selat-selat sempit diantara gugusan pulau disebelah barat Pulau Batam. Untuk menjangkau pulau berpenduduk sekitar 200 kepala keluarga yang umumnya nelayan ini, dapat menumpang speedboat dari Pelabuhan Sagulung Batam.
Pulau Bulang, pulau kecil yang luasnya sekitar 150 hektare ramai disinggahi peziarah menjelang Ramadan, namun keberadaan warisan sejarah di pulau tersebut tanpa rekam jejak yang dapat memberikan informasi peran penting pulau Bulang Lintang dan Temenggung Abdul Jamal.