Berburu untuk menemukan anggrek hitam (coelogyne pandurata) ke jantung pedalaman Kalimantan Timur tidak semudah mengikuti jejak panduan pariwisata setempat, selain perlu tenaga, waktu dan uang yang cukup.
Prasyarat yang tidak tertulis adalah menyangkut kepiawaian untuk beradaptasi dengan masyarakat Dayak agar diizinkan memasuki lokasi persembunyian tanaman langka itu.
Tidak semua warga Suku Dayak yang umumnya di dominir Suku Dayak Kenyah dan Dayak Benuaq bersedia untuk menjadi pemandu, karena aturan adat terhadap pelestarian tanaman tersebut sangat ketat dan bagi pendatang yang berbuat curang melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi yang umumnya sangat sulit untuk pulang.
"Leluhur kami sangat marah kalau ada yang mencuri," kata Huang (40), seorang pemandu yang bersedia mengantar ke habitat aslinya anggrek hitam di Kersyk Luwai, sebuah hamparan luas berpasir putih yang hanya ditumbuhi tanaman berbagai jenis anggrek di Kabupaten Kutai Barat, satu malam perjalanan dengan kapal sungai atau sekitar 360 kilometer dari Kota Samarinda.
Sudah tidak terhitung jumlahnya kawanan pencuri dikenakan denda adat atau terpaksa merelakan nyawa harus terkubur di kawasan itu, tetapi perbuatan kriminal tersebut selalu terulang lantaran tanaman langka yang banyak penggemarnya tersebut memiliki nilai ekonomis tinggi, bahkan dalam sebuah pameran di Jakarta pernah dipatok harga sampai Rp5 Juta per rumpun walaupun tidak seindah rumpun ditempat asalnya.
Sekitar bulan November biasanya merupakan musim anggrek hitam berbunga, bersamaan dengan datangnya para penggemar dari berbagai penjuru dunia untuk menyaksikan ciri khas dari anggrek ini yang terletak pada "labellum" atau lidah berwarna hitam tetapi di bagian daun kelopak dan mahkotanya tetap berwarna hijau.
Tanaman yang menjadi maskot flora Provinsi Kalimantan Timur itu, merupakan tanaman langka yang sudah hampir punah dan mendapat perlindungan hukum berdasarkan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 guna membendung terjadinya perdagangan gelap dan penyelundupan ke luar negeri.
Mengamati rumpun anggrek hitam berlama-lama di kawasan hutan lindung Kersyk Luwai itu, kadang-kadang terjadi halusinasi dengan diwarnai suara "bisik-bisik" dan cekikikan orang yang sedang tertawa, padahal di situ tidak ada siapapun kecuali si pemandu, atau tiba-tiba rumpun tanaman menghilang dari pandangan namun meninggalkan aroma wangi bunga luar biasa.
"Gak usah takut, itu biasa saja," tutur Huang sambil bercerita suasana mistis tentang keanehan anggrek hitam yang oleh seluruh Suku Dayak di pedalaman Kalimantan merupakan tanaman yang sangat dimuliakan.
Di bagian labellum yang berwarna hitam, terdapat garis agak samar-samar berwarna hijau namun ditumbuhi bulu halus seperti bulu binantang, sementara jumlah putik bunga dalam tiap tandan yang selalu menjuntai berkisar antara satu hingga 15 kuntum.
Di banding jenis anggrek alam lainnya, bunga anggrek hitam selalu mengeluarkan bau wangi menyengat dan setiap bunga hanya bergaris tengah tidak lebih dari 10 cm, sementara pada daun kelopak berbentuk lanset meruncing dengan warna agak hijau muda, sedangkan di bagian daun terdapat bibir yang menyerupai biola.
Makin Menyusut
Di atas kertas secara teoritik, kawasan hutan anggrek Kersyk Luwai adalah sebuah kawasan konservasi sekaligus sebagai cagar alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 792/Kpts/Um/10/1982, namun dalam kenyataan di lapangan kondisinya malah sudah hancur-hancuran tak terpelihara.
Menurut surat keputusan menteri itu, cagar alam Kersyk Luwai seharusnya seluas 5000 hektar namun entah kenapa lambat laun menyusut sedemikian drastis dan kini maksimal hanya tersisa seluas 20 hektar. Bagi masyarakat sekitar, penyusutan tersebut adalah akibat kebakaran yang melanda kawasan tersebut, tetapi secara kasat mata disitu ditemukan adanya aktivitas komersial seperti perkebunan karet dan pertambangan.
Dari luas lahan yang tersisa itu, juga tidak nampak adanya keseriusan pihak pemangku kepentingan untuk menjaganya, padahal kawasan ini adalah obyek wisata alam yang tidak ada duanya di dunia dan menjadi maskot utama bagi industri kepariwisataan di Kalimantan Timur.
Dari sejumlah penggemar anggrek hitam yang sempat ditemui di Kersyk Luwai, keluhan klasik selalu saja terulang dan tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah kabupaten Kutai Barat maupun pemerintah provinsi Kalimantan Timur seperti misalnya menyangkut kemudahan dan pelayanan bagi wisatawan dalam hal akses jalan yang kini terkesan tidak terurus.
Di kawasan ini, sebelum terjadi kebakaran besar yang terjadi tahun 1982 pernah tumbuh subur 72 jenis anggrek dengan jenis anggrek hitam sebagai primadona, tetapi menurut penelitian terakhir belakangan ini hanya menyisakan sekitar 57 jenis anggrek antara lain Anggrek Merpati (Dendrobium Rumenatum), Anggrek Tebu atau Anggrek Harimau (Grammatophyllum Speciosum), dan Anggrek Bambu (Coelogyne Foerstermanii) yang juga menjadi incaran bagi kolektor fanatik. (ANT)
Prasyarat yang tidak tertulis adalah menyangkut kepiawaian untuk beradaptasi dengan masyarakat Dayak agar diizinkan memasuki lokasi persembunyian tanaman langka itu.
Tidak semua warga Suku Dayak yang umumnya di dominir Suku Dayak Kenyah dan Dayak Benuaq bersedia untuk menjadi pemandu, karena aturan adat terhadap pelestarian tanaman tersebut sangat ketat dan bagi pendatang yang berbuat curang melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi yang umumnya sangat sulit untuk pulang.
"Leluhur kami sangat marah kalau ada yang mencuri," kata Huang (40), seorang pemandu yang bersedia mengantar ke habitat aslinya anggrek hitam di Kersyk Luwai, sebuah hamparan luas berpasir putih yang hanya ditumbuhi tanaman berbagai jenis anggrek di Kabupaten Kutai Barat, satu malam perjalanan dengan kapal sungai atau sekitar 360 kilometer dari Kota Samarinda.
Sudah tidak terhitung jumlahnya kawanan pencuri dikenakan denda adat atau terpaksa merelakan nyawa harus terkubur di kawasan itu, tetapi perbuatan kriminal tersebut selalu terulang lantaran tanaman langka yang banyak penggemarnya tersebut memiliki nilai ekonomis tinggi, bahkan dalam sebuah pameran di Jakarta pernah dipatok harga sampai Rp5 Juta per rumpun walaupun tidak seindah rumpun ditempat asalnya.
Sekitar bulan November biasanya merupakan musim anggrek hitam berbunga, bersamaan dengan datangnya para penggemar dari berbagai penjuru dunia untuk menyaksikan ciri khas dari anggrek ini yang terletak pada "labellum" atau lidah berwarna hitam tetapi di bagian daun kelopak dan mahkotanya tetap berwarna hijau.
Tanaman yang menjadi maskot flora Provinsi Kalimantan Timur itu, merupakan tanaman langka yang sudah hampir punah dan mendapat perlindungan hukum berdasarkan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 guna membendung terjadinya perdagangan gelap dan penyelundupan ke luar negeri.
Mengamati rumpun anggrek hitam berlama-lama di kawasan hutan lindung Kersyk Luwai itu, kadang-kadang terjadi halusinasi dengan diwarnai suara "bisik-bisik" dan cekikikan orang yang sedang tertawa, padahal di situ tidak ada siapapun kecuali si pemandu, atau tiba-tiba rumpun tanaman menghilang dari pandangan namun meninggalkan aroma wangi bunga luar biasa.
"Gak usah takut, itu biasa saja," tutur Huang sambil bercerita suasana mistis tentang keanehan anggrek hitam yang oleh seluruh Suku Dayak di pedalaman Kalimantan merupakan tanaman yang sangat dimuliakan.
Di bagian labellum yang berwarna hitam, terdapat garis agak samar-samar berwarna hijau namun ditumbuhi bulu halus seperti bulu binantang, sementara jumlah putik bunga dalam tiap tandan yang selalu menjuntai berkisar antara satu hingga 15 kuntum.
Di banding jenis anggrek alam lainnya, bunga anggrek hitam selalu mengeluarkan bau wangi menyengat dan setiap bunga hanya bergaris tengah tidak lebih dari 10 cm, sementara pada daun kelopak berbentuk lanset meruncing dengan warna agak hijau muda, sedangkan di bagian daun terdapat bibir yang menyerupai biola.
Makin Menyusut
Di atas kertas secara teoritik, kawasan hutan anggrek Kersyk Luwai adalah sebuah kawasan konservasi sekaligus sebagai cagar alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 792/Kpts/Um/10/1982, namun dalam kenyataan di lapangan kondisinya malah sudah hancur-hancuran tak terpelihara.
Menurut surat keputusan menteri itu, cagar alam Kersyk Luwai seharusnya seluas 5000 hektar namun entah kenapa lambat laun menyusut sedemikian drastis dan kini maksimal hanya tersisa seluas 20 hektar. Bagi masyarakat sekitar, penyusutan tersebut adalah akibat kebakaran yang melanda kawasan tersebut, tetapi secara kasat mata disitu ditemukan adanya aktivitas komersial seperti perkebunan karet dan pertambangan.
Dari luas lahan yang tersisa itu, juga tidak nampak adanya keseriusan pihak pemangku kepentingan untuk menjaganya, padahal kawasan ini adalah obyek wisata alam yang tidak ada duanya di dunia dan menjadi maskot utama bagi industri kepariwisataan di Kalimantan Timur.
Dari sejumlah penggemar anggrek hitam yang sempat ditemui di Kersyk Luwai, keluhan klasik selalu saja terulang dan tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah kabupaten Kutai Barat maupun pemerintah provinsi Kalimantan Timur seperti misalnya menyangkut kemudahan dan pelayanan bagi wisatawan dalam hal akses jalan yang kini terkesan tidak terurus.
Di kawasan ini, sebelum terjadi kebakaran besar yang terjadi tahun 1982 pernah tumbuh subur 72 jenis anggrek dengan jenis anggrek hitam sebagai primadona, tetapi menurut penelitian terakhir belakangan ini hanya menyisakan sekitar 57 jenis anggrek antara lain Anggrek Merpati (Dendrobium Rumenatum), Anggrek Tebu atau Anggrek Harimau (Grammatophyllum Speciosum), dan Anggrek Bambu (Coelogyne Foerstermanii) yang juga menjadi incaran bagi kolektor fanatik. (ANT)