JAKARTA (ANTARA) - Hidup di negeri agraris semestinya memiliki ketahanan pangan yang kuat. Tapi nyatanya harga bahan makanan masih kerap bergejolak, entah atas alasan cuaca, pasokan hingga momen hari besar keagamaan. Bila membenahi sektor pertanian masih menjadi perkara sulit oleh para pemangku kepentingan terkait, masyarakat bisa bertani di pekarangan untuk membangun rumah mandiri pangan sebagai solusi paling mudah direalisasikan.
Hari Krida Pertanian yang diperingati setiap tanggal 21 Juni sejak tahun 1972 dimaksudkan untuk menghargai para "pahlawan pangan" yang telah berkeringat di sektor pertanian. Masyarakat pertanian, yaitu para petani, peternak, pegawai, dan pengusaha yang bergerak di sektor pertanian, setiap tahun merayakannya sebagai bentuk hari bersyukur, berbangga hati dan mawas diri, serta hari darma bakti.
Darma bakti para petani sebagai penyedia pangan bagi 279 juta penduduk Indonesia sepantasnya berbalas dengan penghormatan atas profesi mulia itu dengan penciptaan regulasi ramah petani. Penyediaan bibit unggul dan subsidi pupuk yang mudah diakses, infrastruktur irigasi memadai, penyerapan produksi hingga manajemen distribusi yang menjamin petani menikmati kesejahteraan dari panen yang dihasilkan.
Praktiknya tidak semudah itu. Faktanya, di tingkat hulu para petani sering merugi, bahkan ketika panen berlimpah yang menyebabkan harga komoditas jatuh. Sementara di ujung hilir konsumen produk pertanian acapkali dipermainkan harga yang naik turun sewaktu-waktu.
Mencermati persoalan ini, pakar ekonomi mikro Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Imam Prayogo mengurai pandangannya. Menurut Igo, begitu ia biasa disapa, perlu adanya kesadaran pangan bersama. Saat ini, seperti di Pulau Jawa, wilayah paling padat penduduk, lahan pertanian berkurang karena menjadi permukiman warga.
Masyarakat perlu membuat terobosan baru, yakni bercocok tanam di lahan sekitar. Bisa dengan teknik-teknik terbaru bercocok tanam.
Petani masih menjadi profesi yang belum diperhitungkan oleh Gen Z, saat ini, padahal momok ke depan yang menanti ialah pasokan bahan pangan.
Sejumlah studi kekinian menyebutkan bahwa Gen Z banyak menganggur. Dari data BPS, setidaknya ada 9,89 juta anak muda pada rentang usia 15-25 tahun tidak sedang menempuh pendidikan, pelatihan atau menekuni pekerjaan. Para pemangku kepentingan hendaknya jeli, dengan memberdayakan mereka untuk menjadi petani andal. Mereka, bahkan, bisa menjadi soko guru penghasil pangan di masa depan. Generasi Z adalah kelompok usia yang fasih teknologi, hal ini menjadi nilai plus mereka untuk mengembangkan hasil panen optimal.
Tentu, perlu stimulus berbagai pihak, seperti pengadaan bibit unggul, kemudahan pupuk, teknologi tepat guna pertanian modern dan harga jual panen yang bersaing.
Indonesia negeri agraria yang seolah menjadi pesakitan karena tidak memiliki ketahanan pangan kuat.