Akademisi UII: "Blockchain" solusi persoalan hak cipta di era digital
Yogyakarta (ANTARA) - Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Budi Agus Riswandi meyakini pemanfaatan teknologi "blockchain" dapat menjadi solusi efektif menangani persoalan pelanggaran hak cipta di era digital.
"Teknologi 'blockchain' akan mampu menguatkan aspek pengakuan, perlindungan, dan pengelolaan hak cipta yang sangat menguntungkan, baik bagi pencipta maupun pengguna hak cipta itu sendiri," kata Budi Agus dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum di Kampus UII, Yogyakarta, Senin.
Ia menjelaskan teknologi 'blockchain' merupakan pola aplikasi baru yang menggabungkan penyimpanan data terdistribusi, jaringan 'peer to peer', mekanisme konsensus, algoritma enkripsi, dan teknologi lainnya.
Budi menuturkan di era digital isu-isu mengenai hak cipta merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dalam bidang hukum.
Isu-isu hak cipta yang dimaksudkan, kata dia, di antaranya mencakup pada isu pengakuan, perlindungan, dan pengelolaan hak cipta itu sendiri.
"Pelanggaran hak cipta melalui teknologi internet sangat sulit untuk dapat diidentifikasi dan diketahui oleh pemiliknya," ujar Budi.
Meski demikian, menurut dia, isu-isu hak cipta tersebut sulit direspons hanya sebatas dengan memanfaatkan instrumen hukum saja karena hukum memiliki banyak keterbatasan.
Karena itu, menurutnya, diperlukan integrasi dan kolaborasi cara hukum dan cara teknologi untuk menyelesaikan isu hak cipta, salah satunya dengan memanfaatkan teknologi "blockchain".
Teknologi "blockchain", jelas Budi, adalah teknologi untuk perekaman dan penyimpanan data terdistribusi yang memiliki fitur seperti desentralisasi ("decentralization"), kekekalan ("immutability"), tidak bergantung pada kepercayaan ("nonreliance on trust"), dan keterlacakan ("traceablity").
Melalui teknologi "blockchain", lanjut Budi, dapat dikembangkan mekanisme konsensus untuk tata kelola dan pengoperasian bersama.
Dengan teknologi itu, paparnya, status sistem dapat diverifikasi dan dapat mencegah dari kehilangan data.
"Integritas data dapat dijamin tanpa harus memiliki perantara terpusat," kata dia.
Budi bahkan berpandangan bahwa teknologi "blockchain" ke depan layak diadopsi oleh hukum termasuk dalam aspek hak cipta.
Alasannya, teknologi itu mampu menghilangkan ketergantungan pada aktor yang terpusat untuk menjamin integritas data serta menciptakan kebenaran universal di antara para pihak yang tidak terpercaya.
Selain itu, teknologi "blockchain" secara substansial dapat meningkatkan visibilitas dan ketersediaan informasi tentang kepemilikan hak cipta dengan stempel waktu atau "trusted timestamping".
Stempel waktu adalah urutan karakter atau informasi yang disandikan untuk mengidentifikasi saat peristiwa tertentu terjadi yang biasanya memberikan tanggal dan waktu.
"Dengan dimanfaatkannya teknologi 'blockchain' untuk tujuan hak cipta, maka pada dasarnya ini akan menguatkan atas pengakuan, perlindungan, dan pengelolaan hak cipta itu sendiri," kata dia.
"Teknologi 'blockchain' akan mampu menguatkan aspek pengakuan, perlindungan, dan pengelolaan hak cipta yang sangat menguntungkan, baik bagi pencipta maupun pengguna hak cipta itu sendiri," kata Budi Agus dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum di Kampus UII, Yogyakarta, Senin.
Ia menjelaskan teknologi 'blockchain' merupakan pola aplikasi baru yang menggabungkan penyimpanan data terdistribusi, jaringan 'peer to peer', mekanisme konsensus, algoritma enkripsi, dan teknologi lainnya.
Budi menuturkan di era digital isu-isu mengenai hak cipta merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dalam bidang hukum.
Isu-isu hak cipta yang dimaksudkan, kata dia, di antaranya mencakup pada isu pengakuan, perlindungan, dan pengelolaan hak cipta itu sendiri.
"Pelanggaran hak cipta melalui teknologi internet sangat sulit untuk dapat diidentifikasi dan diketahui oleh pemiliknya," ujar Budi.
Meski demikian, menurut dia, isu-isu hak cipta tersebut sulit direspons hanya sebatas dengan memanfaatkan instrumen hukum saja karena hukum memiliki banyak keterbatasan.
Karena itu, menurutnya, diperlukan integrasi dan kolaborasi cara hukum dan cara teknologi untuk menyelesaikan isu hak cipta, salah satunya dengan memanfaatkan teknologi "blockchain".
Teknologi "blockchain", jelas Budi, adalah teknologi untuk perekaman dan penyimpanan data terdistribusi yang memiliki fitur seperti desentralisasi ("decentralization"), kekekalan ("immutability"), tidak bergantung pada kepercayaan ("nonreliance on trust"), dan keterlacakan ("traceablity").
Melalui teknologi "blockchain", lanjut Budi, dapat dikembangkan mekanisme konsensus untuk tata kelola dan pengoperasian bersama.
Dengan teknologi itu, paparnya, status sistem dapat diverifikasi dan dapat mencegah dari kehilangan data.
"Integritas data dapat dijamin tanpa harus memiliki perantara terpusat," kata dia.
Budi bahkan berpandangan bahwa teknologi "blockchain" ke depan layak diadopsi oleh hukum termasuk dalam aspek hak cipta.
Alasannya, teknologi itu mampu menghilangkan ketergantungan pada aktor yang terpusat untuk menjamin integritas data serta menciptakan kebenaran universal di antara para pihak yang tidak terpercaya.
Selain itu, teknologi "blockchain" secara substansial dapat meningkatkan visibilitas dan ketersediaan informasi tentang kepemilikan hak cipta dengan stempel waktu atau "trusted timestamping".
Stempel waktu adalah urutan karakter atau informasi yang disandikan untuk mengidentifikasi saat peristiwa tertentu terjadi yang biasanya memberikan tanggal dan waktu.
"Dengan dimanfaatkannya teknologi 'blockchain' untuk tujuan hak cipta, maka pada dasarnya ini akan menguatkan atas pengakuan, perlindungan, dan pengelolaan hak cipta itu sendiri," kata dia.