Bincang sinema dan dampak sosial bareng sutradara "Georgia" Jayil Pak

id Jayil Pak,film Georgia

Bincang sinema dan dampak sosial bareng sutradara "Georgia" Jayil Pak

"Georgia" (2021). (ANTARA/HO - Jayil Pak)

Jakarta (ANTARA) - Beberapa waktu belakangan ini, pecinta film dan warganet di Indonesia banyak membicarakan film pendek asal Korea Selatan "Georgia", yang menceritakan kisah orang tua pencari keadilan atas anaknya yang menjadi korban pemerkosaan.

Penayangannya di beberapa festival film hibrida termasuk Jogja-NETPAC Asia Film Festival (JAFF) 2021, meninggalkan banyak kesan dan rasa pedih yang mendalam bagi siapa pun yang menontonnya.

Film pendek ini pun berhasil mencuri perhatian masyarakat Indonesia. Sang sutradara, Jayil Pak, bahkan membuat penayangan terbatas secara daring, dan terbuka untuk berdiskusi dengan para penontonnya.

Pak, kepada ANTARA, mengatakan dirinya senang dapat menerima sambutan yang begitu positif dari penonton di dunia.

Di negara asalnya, "Georgia" menerima Sonje Award di Festival Film Internasional Busan (BIFF) 2021, serta dinominasikan untuk Oscar Korea (Blue Dragon Award) di 2021, dan setidaknya menerima lebih dari 30 penghargaan lainnya.

"Sejauh ini kami telah menerima 37 penghargaan selama satu tahun penyelenggaraan festival kami, dan hampir setengahnya berasal dari festival di Korea. Mayoritas penonton memiliki reaksi emosional yang serupa dengan yang ada di Indonesia. Tapi sejujurnya, sambutan dari Indonesia adalah yang paling menakjubkan dari negara mana pun yang kami tayangkan," kata Pak.
"Georgia" sendiri didasari dari kasus Miryang pada 2004, dimana setidaknya 41 siswa sekolah menengah berulang kali memperkosa tiga gadis sekolah menengah selama setahun di Miryang, Korea Selatan. Kasus ini masih memicu kemarahan publik hingga hari ini.

Film ini berfokus ketika polisi menolak untuk menyelidiki dugaan bunuh diri seorang siswi, dan dua orang tua yang buta teknologi memutuskan untuk merancang spanduk protes.

Saat ditanya hal apa yang membuat Pak terdorong untuk membuat film pendek tersebut, ia mengatakan ingin membuat dorongan bagi banyak pihak untuk memperjuangkan keadilan bagi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual di negaranya.

"Kejahatan keji ini terjadi pada tahun 2004, tetapi beberapa tahun yang lalu, saya mendengar laporan pembawa berita di TV yang mengatakan, 'Kasus Miryang ketiga telah terjadi.' Saya langsung terkejut, tidak hanya oleh berita itu tetapi juga oleh fakta bahwa saya bahkan tidak mengetahui kasus kedua," papar Pak.

"Ketika kasus Miryang pertama terjadi, saya sedih dan marah bersama seluruh orang di negara ini. Tetapi pada akhirnya, tidak ada keadilan yang ditegakkan atau reformasi hukum yang diamanatkan. Dan kebanyakan dari kita, termasuk saya sendiri, terus menjalani hidup," ujarnya menambahkan.

Pak mengatakan, isu ini masih begitu relevan hingga kini, dengan hukuman ringan untuk para pelaku kejahatan seksual. Hal ini, lanjutnya, membuat publik menjadi kurang peka terhadap masalah ini dan bahkan terbiasa menerima kurangnya reformasi hukum dari pemerintah.

"Itu sebabnya saya memutuskan untuk menangani masalah ini, bukan karena keberanian heroik, tetapi karena rasa malu yang sangat manusiawi. Saya mulai lelah meneriaki layar, jadi saya memutuskan untuk mencoba meneriaki orang lain dari dalam," kata Pak.

Saat disinggung mengenai pilihannya untuk menyampaikan pesan lewat film pendek alih-alih film fitur panjang, sutradara yang mengenyam pendidikan di New York University tersebut mengatakan, film berdurasi 29 menit itu dirasa pas untuk menggaungkan cerita dengan detil, namun juga sarat akan makna dengan simbol-simbol tertentu.

Isu kekerasan seksual, lanjutnya, banyak memberikan dampak berkali-kali bagi korban, atau yang ia sebut dengan "double-victimization", dimana korban pemerkosaan menderita untuk kedua kalinya -- setelah serangan seksual, lalu berlanjut melalui menyalahkan korban dan pertanyaan yang tidak perlu untuk kesaksiannya.

"Saya ingin mengeksplorasi bagaimana polisi dan bahkan teman-teman korban bisa menjadi sumber penderitaan mental, yang seringkali membuat korban bunuh diri. Saya juga ingin menyoroti bagaimana bahkan ada korban sekunder dari kejahatan keji seperti anggota keluarga dekat dan teman, jadi saya memilih untuk menceritakan kisah dari sudut pandang orang tua," paparnya.

"Dengan berfokus pada apa yang terjadi setelah kasus pemerkosaan, saya dapat menghindari adegan dan detail yang gamblang dan menyerahkannya pada imajinasi penonton, membuat film lebih mudah dicerna, dan ironisnya, bahkan lebih mengganggu dan memilukan," imbuhnya.


Sinema dan wadah bersuara

Pak mengatakan, film merupakan media yang penting untuk membahas masalah sosial. Namun, akhir-akhir ini, ia merasa bahwa masalah sebenarnya bukanlah kurangnya film yang menangani isu-isu penting ini, tetapi mungkin, malah terlalu banyak.

"Film-film topikal, atau film-film yang mengangkat isu-isu sosial populer, sudah menjadi hal biasa di sirkuit festival. Faktanya, dari xenophobia di Inggris hingga kehidupan imigran selama COVID, sebagian besar film pendek paling populer yang bersaing untuk Oscar semuanya membahas masalah topikal," paparnya.

Ia berpendapat, karena festival film dan hibah pemerintah lebih memilih film yang berhubungan dengan tema topikal, banyak pembuat film tertarik pada materi pelajaran seperti itu.

"Sekarang, masalah yang berkembang adalah banyak pembuat film mulai mengandalkan kekuatan topik daripada kualitas film itu sendiri. Dapat dimengerti, ada bahaya besar untuk jenis pembuatan film yang eksploitatif dan biasa-biasa saja," kata Pak.

"Misalnya, bayangkan jika banyak orang dipaksa untuk menonton 'Georgia' tetapi pada akhirnya membenci film tersebut. Pesan penting atau penyebab yang didukung film itu bisa mati bersamanya," lanjutnya.

Di sisi lain, Pak, yang merupakan seorang sineas laki-laki, mengatakan penting baginya, terlepas dari gendernya, untuk menyoroti dan mendukung isu-isu perempuan dengan sinema berkualitas daripada mengandalkan isu itu hanya untuk daya tarik publik.

"Sebagai pembuat film laki-laki yang menangani masalah hak-hak perempuan yang penting di 'Georgia', saya sering khawatir bahwa saya mungkin mengeksploitasi topik sensitif dari perspektif laki-laki," ungkap Pak.

"Namun, pada akhirnya, sebagai seseorang yang percaya pada kekuatan sinema, saya harus percaya bahwa jika saya tetap setia pada materi pelajaran dan merawatnya dengan sepenuh hati, penonton akan dapat merasakannya melalui layar," imbuhnya.

Jadi, ia dan kru mencoba yang terbaik untuk menciptakan dunia "Georgia" seolah-olah putri orang tua yang telah meninggal, seorang mahasiswa desain grafis, sedang merancang salah satu ilustrasinya.

"Kami melakukan ini sambil berharap bahwa pesan kami akan melampaui kelemahan yang melekat pada film dan menjadi lebih besar dari satu orang di belakang kamera," katanya.