Jakarta (ANTARA) - Tahun 2021 merupakan sebuah penanda bahwa Garin Nugroho telah berkecimpung di dunia film selama 40 tahun, pencapain itu pun dirayakannya dengan sebuah karya yang penuh kegembiraan dan menyenangkan.
Dalam perayaan 40 tahun, Garin menghadirkan film berjudul "Sepeda Presiden". Berbeda dengan film-filmnya terdahulu yang bersifat serius, dewasa dan njelimet, kali ini dia memilih untuk bersenang-senang dan berpetualang bersama anak-anak Papua.
"Yang penting saya ingin gembira dan jadi anak-anak kembali, saya bosen dewasa jadi saya anak-anak aja. Enggak perlu mikir, dengar orang nyanyi, lihat orang nari gitu kan, dapat pemandangan alam," ujar Garin dikutip pada Selasa.
"Maka merayakan ini (40 tahun) juga harus dirayakan di tempat yang memiliki bakat seni tari, akting dan kemampuan yang jarang diangkat," lanjutnya.
Memaknai 40 tahun
Garin mengaku sangat bersyukur tetap bisa produktif di industri film tanah air. Dia telah merasakan berbagai era dengan beragam tema yang dihadirkan.
Saat zaman krisis film Indonesia, Garin cukup berani menghadirkan empat film yakni "Cinta dalam Sepotong Roti" (1991), "Surat untuk Bidadari" (1994), "Bulan Tertusuk Ilalang" (1995) dan "Daun Di Atas Bantal" (1998).
Dia mampu menembus batasan dan jaman di saat perfilman Indonesia sedang lesu bahkan menembus berbagai festival internasional. Kini setelah 40 tahun, Garin ingin memberikan sesuatu yang berarti bagi Indonesia khususnya Papua.
"Kini merayakan di tengah bakat anak-anak muda baru, itu kan menyenangkan sekali sebetulnya dan masih bisa produktif bekerja sama dengan anak-anak baru dan bisa kembali ke Papua," kata sutradara "Kucumbu Tubuh Indahku" itu.
Dalam rentang 40 tahun tentu banyak hal yang dihadapinya, kegagalan jelas sudah dialaminya berkali-kali. Namun bagi Garin hal tersebut tidaklah penting.
Garin juga tidak ingin berapa kali mengalami kegagalan saat membangun kiprahnya di perfilman Indonesia. Bagi Garin, 40 tahun adalah komitmennya untuk terus bekerja keras dan konsisten menghadirkan karya.
Bukan lagi soal materi yang didapat selama menjadi sutradara, melainkan keasyikan dalam menghadirkan karya.
"Ketika memilih film, kita harus kerja keras. Kehilangan duit dan harus nyari, tapi itu cara bertahan yang indah," ujar Garin.
Sutradara trilogi "Opera Jawa" ini melanjutkan, "Saya bisa bilang hidup saya asyik karena saya memilih apa yang saya inginkan."
Pria kelahiran 6 Juni 1961 itu, mengatakan sangat senang bisa berada dalam sejarah film Indonesia dan tumbuh bersama para sineas muda seperti Hanung Bramantyo, Ifa Isfansyah, Anggi Noen yang tak lain adalah para muridnya.
Garin mengungkapkan salah satu hal yang membuatnya bangga berada di titik ini adalah dapat menyaksikan para muridnya bisa berkarya lebih baik dari dirinya.
"Kalau tumbuh sendiri tapi tanaman lain rusak, ekosistemnya berarti enggak baik dan akan ikut mati juga. Dalam 40 tahun ini, tumbuh ekosistem yang sangat bagus dan mampu berkarya yang langka," kata ayah dari sutradara Kamila Andini itu.
Garin juga menggambarkan dirinya sebagai Indonesia kecil. Setiap karya yang diciptakannya mampu mewakili era tertentu pada sejarah Indonesia.
Misalnya, film tentang awal Indonesia tergambar dalam "Guru Bangsa Tjokroaminoto" (2014), "Nyai" (2016), era Kemerdekaan lewat "Soegija" (2012), tahun 1965 tergambar dalam "Puisi Tak Terkuburkan" (2000) , tentang era Soeharto dalam "Aach Aku Jatuh Cinta" (2015) hingga era Presiden Joko Widodo melalui "Sepeda Presiden".
"Jadi kalau mau lihat Indonesia dalam 40 tahun, Anda akan bisa lihat mikro Indonesia lewat karya-karya saya yang kebanyakan sensitif," ucap Garin.
Gali kreativitas, usir jenuh
Terus produktif secara konsisten selama 40 tahun tidak pernah membuat Garin jenuh. Salah satu kuncinya adalah pantang melakukan sesuatu yang hasilnya sudah pasti terlihat bagus.
"Saya kalau ada adegan yang biasa aja, saya tinggal tidur. Kalau yang sudah tahu pasti bagus apa gunanya? Untuk apa mengulang sesuatu yang sudah pasti bagus," katanya.
Garin selalu berusaha untuk mencari karya-karya yang berbeda dari sebelumnya. Tak heran jika dirinya banyak membuat produksi dari berbagai media mulai dari pertunjukan teater, film pendek, film dokumenter, film panjang hingga film biografi.
"Harus cari yang tidak jenuh, kita harus cari sesuatu yang tidak pernah kita lakukan, itu yang membuat saya tidak pernah tidur," ujar Garin.
Garin selama ini dikenal sebagai sosok sutradara yang selalu memegang teguh idenya atau idealis. Padahal menurutnya, sepanjang berkarir di industri film yang dilakukannya selalu bernegosiasi dan bekerja sama dengan orang lain.
Menurut Garin, tidak ada manusia yang 100 persen idealis. Namun setiap keyakinan akan menemukan jalannya sendiri, itulah prinsip yang selalu dipegang oleh Garin.
"Saya percaya setiap ide itu kayak tanaman, setiap tanaman akan mencari airnya sendiri atau fundingnya sendiri ketika dia ditempatkan di tempat yang tepat. Makanya jangan pernah menghitung kegagalan, itu menjenuhkan," katanya.
Era kolaborasi
Layaknya teknologi yang terus berkembang setiap waktu, industri perfilman pun demikian. Garin juga tidak menutup mata pada hal tersebut.
Dia menyebutkan dalam periode 5-10 tahun sekali, selalu mengikuti ekosistem yang berkembang seperti seperti membuat film pendek untuk merek ponsel, membuat tayangan untuk OTT, serial musikal di YouTube serta pertunjukan teater.
Dari sana banyak yang bisa dipelajari agar tidak ketinggalan zaman. Setiap periode, Garin selalu menempatkan dirinya untuk berada di titik nol.
"Saya beruntung bisa melakukan itu dan saya selalu mencoba dari nol terus," ucap Garin.
Mulai tahun ini, Garin juga memutuskan untuk menggandeng sutradara lain dalam membuat film. Pada "Sepeda Presiden", Garin mengajak Hestu Saputra, sedangkan untuk karya mendatang "Puisi Cinta yang Membunuhku", dia mengajak Kinoi Lubis yang sudah berpengalaman dalam pembuatan genre horor.
"Bentuk seni itu banyak, ekosistem yang baru dan ini semua menegangkan buat saya. Tapi kalau tidak menegangkan untuk apa hidup? bisa tidur lagi nanti saya," ujar Garin.
Kolaborasi mampu membuka sudut pandang baru bagi Garin, baik dari sisi produksi, cara kerja, teknologi hingga strategi target penonton.
Garin tidak pernah merasa lebih unggul dibandingkan dengan sutradara lainnya, meski jam terbangnya telah jauh berbeda. Dia mengaku sangat santai dan menikmati kerja bersama sutradara muda.
"Senang saja, rileks. Saya belajar dan dapat semangat baru. Saya banyak belajar lah di setiap ekosistem. Sutradara itu harus belajar berpindah, harus berani jadi badut di sirkus. Itu baru seniman besar," katanya.
Di perayaan 40 tahun ini pun, Garin bersedia untuk kembali jatuh dan bangkit lagi serta menjaga keseimbangan melalui beragam jenis karya.
Tak ada target yang ingin dicapainya, Garin hanya ingin bersenang-senang dan bergembira untuk merayakan puluhan tahun yang telah dilewatinya bersama perfilman Indonesia.