Membidik nasabah di pedesaan

id OJK,OJK Sumsel,fintech,umkm,modal kerja,perbankan,bank,rentenir

Membidik nasabah di pedesaan

Zuliani, pelaku UMKM gula merah asal Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. (ANTARA/HO/21)

Kami amati, ibu-ibu di sini malu jika sampai ditagih hutang. Jadi mereka bertanggung jawab sekali
Palembang (ANTARA) - Kebutuhan terhadap modal kerja ternyata bukan bagi warga perkotaan saja, tapi juga mereka yang tinggal di pedesaan.

Keterbatasan infrastruktur terkadang membuat akses mendapatkan pinjaman menjadi tidak mudah karena tak semua bank memiliki perangkat hingga ke wilayah pelosok. Ini juga yang terkadang membuat warga pedesaan mudah terjerat rentenir.

Namun, sejak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Fintech Peer-to-Peer), akses mendapat pinjaman dari lembaga non bank resmi kini terbuka bagi mereka yang tinggal di pedesaan.

Zuliani (39 tahun), salah seorang nasabah perusahaan Fintech Peer-to-Peer (P2P) lending PT Amartha Mikro Fintek (Amartha), Rabu (3/11/21), tak menyangka dirinya bisa mendapatkan pinjaman modal tanpa berurusan dengan rentenir di kampungnya.

Pelaku UMKM gula merah di Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel ini sempat bermaksud meminjam dari lintah darat, tapi keinginan tersebut dibatalkan karena khawatir terjerat hutang.

“Usaha saya ini butuh gula pasir, jika tidak pakai gula pasir ya adonan gulanya tidak bisa mengeras. Jelas butuh modal untuk beli gula. Sempat pikir pinjam ‘uang beranak’, tapi takut tak mampu bayar,” kata Zuliani.

Pinjaman modal itu didapatkan bermula dari salah seorang agen perusahaan fintech di kampungnya yang menawarkan untuk bergabung menjadi mitra. Adapun syaratnya, sudah memiliki usaha, sudah berkeluarga dan tidak memiliki hutang di lembaga keuangan lainnya.

Kemudian, ia dikelompokkan dengan empat orang ibu-ibu lain di kampungnya, yang sama-sama menggeluti usaha kecil rumahan. Lalu, masing-masing anggota diberi pinjaman sebesar Rp4 juta dengan masa pengembalian selama 50 minggu atau cicilan hutang berkisar Rp80.000 per minggu. Kini, usaha yang sudah berjalan kurang lebih satu tahun itu meraup omset sekitar Rp3 juta per bulan.

“Setidaknya saya sisihkan 10 persen untuk bayar cicilan. Bisa dikatakan meraih pendapatan bersih Rp1,5 juta per bulan. Lumayan untuk bantu suami dibandingkan tidur-tiduran saja di rumah,” kata dia.

Kebutuhan akan modal kerja juga dialami Fatimah, penenun kain songket asal Ogan Ilir, Sumatera Selatan.

Dirinya, sempat tergiur untuk meminjam uang ke rentenir karena usahanya hampir gulung tikar lantaran pandemi, karena sama sekali tidak menerima pesanan kurang lebih satu tahun.

Beruntung, ia berkenalan dengan seorang agen perusahaan P2P lending sehingga terpilih menjadi mitra. Ia pun mendapatkan pinjaman Rp4 juta dengan masa pengembalian selama 50 minggu.

“Dalam satu bulan bisa buat dua kain songket (kain dan selendang) harganya Rp1,2 juta, jadi omset Rp2,4 juta. Senang sekali karena ada pinjaman modal, bisa buat kain lagi karena sekarang mulai ada pesanan,” kata Fatimah.

Fintech P2P lending merupakan penyedia jasa pinjaman yang menghubungkan debitur atau pihak peminjam secara langsung dengan pemilik dana pinjaman (kreditur). Ini salah satu bentuk teknologi finansial atau financial technology (fintech).

Adanya kebijakan OJK yang memberikan izin kepada lembaga keuangan nonbank Fintech P2P lending ini telah membuka potensi yang selama ini tak terjamah oleh perbankan, namun menjadi ladang subur bagi rentenir atau lintah darat.

Jangan sepelekan potensi yang ada. Salah satu perusahaan Fintech P2P lending PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) mampu menyalurkan pendanaan Rp785 miliar ke Sumatera Selatan dari Januari-September 2021 atau meningkat tiga kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun 2020. Perusahaan ini bahkan menargetkan bisa menyalurkan pembiayaan Rp1 triliun hingga akhir tahun 2021.

“Potensi begitu luar biasa. Kami baru jajal 500 desa di Sumsel, sementara di daerah ini ada 3.000 desa,” kata Chief Commercial Officer Amartha Hadi Wenas di Palembang, Rabu (27/10/21).

Performa bisnis terbilang stabil, hal ini ditunjukkan dengan angka repayment rate wilayah Sumatera yang mencapai 99,92 persen pada tahun 2021.

Hanya saja cukup mengejutkan, justru Sumatera Selatan yang mampu mencatat performa terbaik di Sumatera lantaran didukung oleh kearifan masyarakat setempat.

“Kami amati, ibu-ibu di sini malu jika sampai ditagih hutang. Jadi mereka bertanggung jawab sekali,” kata dia.

 
Fatimah, penenun kain songket Palembang. (ANTARA/HO/21)


Lantaran performa positif dari perusahaan fintech ini membuat kalangan perbankan tertarik untuk menjadi investor.

Direktur Utama PT Bank Sumsel Babel Achmad Syamsuddin mengatakan pihaknya kini bersinergi dengan perusahaan P2P leading dalam menggarap segmen pinjaman modal usaha warga pedesaan ini.

Bagi perbankan, dirasa sulit untuk memiliki kantor cabang hingga ke pelosok desa karena membutuhkan biaya tinggi. Apalagi untuk sekadar memberikan pembiayaan berkisar Rp4 juta—Rp15 juta.

“Kini kami bersinergi dengan perusahaan perusahaan fintech P2P lending, bukan hanya menjadi investor (menitipkan dana untuk dipinjamkan, red) tapi juga kami belajar mengenai sistem yang mereka gunakan. Siapa tahu bisa kami adopsi di perbankan,” kata Syamsuddin.

Perbankan berharap nantinya para pelaku UMKM yang dibiayai oleh perusahaan P2P ini akan membesar bisnisnya sehingga akan membutuhkan modal usaha yang lebih besar lagi.

“Di sini baru bank yang ambil alih, ibarat kepompong sudah jadi kupu-kupu ya baru ke kami,” kata Syamsuddin.

Adanya perbedaan mendasar dalam penyaluran dana ini sebenarnya yang menjadi alasan kuat bagi perusahaan P2P lending dapat berkembang pada kredit super mikro.

Walau tanpa agunan, rasio kredit macet berada di bawah 1,0 persen karena mereka memiliki cara sendiri dalam menagih hutang.

Umumnya, mitra bergabung dalam satu kelompok. Sehingga, jika salah satu anggota tak mampu membayar maka yang lainnya akan urunan untuk melunasinya.

Melalui metode ini membuat mitra taat dalam membayar hutang lantaran adanya tekanan sosial dari lingkungannya.

Selain itu, cicilannya juga dilakukan per minggu atau mirip seperti yang dilakukan rentenir atau lintah darat, namun pihak yang terlambat tidak akan dikenakan bunga hingga periode tertentu, seakan diberikan kelonggaran sampai mampu membayar.

Menurut Dirut BSB ini, metode seperti ini belum bisa diadopsi oleh perbankan yang memegang teguh prinsip kehati-hatian dalam penyaluran pinjaman.

Kepala OJK Regional 7 Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) Untung Nugroho mengatakan apa yang terjadi di pedesaan sejatinya sama juga di perkotaan terkait dengan kebutuhan modal kerja.

Hanya saja, warga pedesaan bisa dikatakan lebih sulit lantaran terkendala infrastruktur. Mereka kerap terjerat dengan rentenir yang menawarkan kemudahan, sementara di sisi lain perbankan memiliki sejumlah aturan seperti nasabah harus memiliki agunan. “Di sinilah perusahaan fintech P2P lending hadir, untuk mengikis ‘gap’ tersebut,” ujar dia.

Untuk itu, OJK terus mengedukasi masyarakat untuk mengenali perusahaan fintech P2P lending yang sudah terdaftar dan memiliki izin agar tidak terjerat pada praktik pinjaman online illegal.

Tentunya, OJK mendorong masyarakat bermanfaatkan perusahaan fintech resmi. Berdasarkan Peraturan OJK (POJK) No 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan (POJK 13), otoritas telah dikeluarkan regulatory sandbox merupakan mekanisme pengujian untuk menilai keandalan proses bisnis, model bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola layanan fintech.

Melalui regulatory sandbox ini, perusahaan fintech dapat diklasifikasikan dalam beberapa tahapan yakni direkomendasikan, terdaftar hingga berizin. Sejauh ini, per 6 Oktober 2021 terdapat 106 perusahaan fintech yang terdaftar dan sekaligus berizin.

Untuk mempercepat pemahaman masyarakat terhadap produk jasa keuangan ini, OJK juga membentuk Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) di tingkat kabupaten/kota.

TPAKD ini merupakan forum koordinasi pemerintah dan para pemangku kepentingan dalam percepatan akses keuangan di daerah untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kemandirian daerah.

Di Sumsel, dari 17 Kabupaten/Kota sudah ada 7 TPAKD yang tersebar di Kabupaten Banyuasin, Muaraenim, Penukal Abab Lematang Ilir, Palembang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Ogan Komering Ulu dan Pagaralam.

Adapun fokus program TPAKD di Sumsel bertumpu pada sektor pertanian karena daerah ini menjadi lumbung pangan nasional.


Kluster Pertanian

Sejauh ini OJK telah mengembangkan proyek percontohan kredit usaha rakyat (KUR) Klaster Pertanian di Desa Karang Sari, Kecamatan Belitang, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur (OKU) Timur sejak 2020.

Dalam klaster pertanian tersebut, pembiayaan disalurkan perbankan kepada kelompok (kluster) petani/poktan bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
BUMDes nantinya menjadi penyedia sarana produksi pertanian, termasuk menjadi offtaker (pembeli hasil panen).

Adanya offtaker ini dimaksudkan untuk menutup ruang bagi tengkulak untuk beroperasi di desa tersebut. Selain itu, dengan adanya jaminan hasil pertanian akan dibeli maka petani juga memiliki posisi tawar yang tinggi.

Sistem klaster yang terdiri dari 4-5 petani ini dinilai menjadi model ideal untuk penyaluran KUR mengingat nominal kredit untuk produksi pertanian bagi setiap petani tidak begitu besar.
 
Pengukuhan pengurus TPAKD Kota Pagaralam, Sumatera Selatan, Selasa (5/10/21). (ANTARA/HO/21)


Jika diberikan dalam satu kelompok maka lebih efektif, perbankan pun tak perlu menyiapkan banyak SDM untuk mengurus penyaluran kreditnya.

Selama proses ini, kelompok tani juga diminta perbankan untuk membuat perencanaan sehingga dana yang disalurkan menjadi tepat sasaran.

“Setelah panen barulah petani membayar kreditnya ke bank, yarnen (bayar panen),” kata dia.

Adanya klaster pertanian ini merupakan salah satu upaya TPAKD untuk memunculkan potensi daerah, khususnya Sumatera Selatan. Daerah ini menargetkan masuk peringkat tiga produksi beras nasional pada 2021, sementara pada tahun sebelumnya berada pada urutan kelima dengan produksi 2,6 juta ton Gabah Kering Giling.

Peran TPAKD ini dibutuhkan untuk memperluas akses keuangan terutama bagi UMKM di seluruh Indonesia dan mencapai target inklusi keuangan nasional yang ditetapkan pemerintah sebesar 90 persen pada 2024.

Sementara, berdasarkan hasil survei OJK tahun 2016, tingkat literasi warga Sumsel mencapai 31,27 persen (nasional rata-rata 21,84 persen) dan inklusi keuangan 72,36 persen (nasional rata-rata 59,74 persen). Sedangkan 2019, tingkat literasi warga Sumsel 40,05 persen (nasional rata-rata 38,03) dan inklusi keuangan 85,06 persen (nasional rata-rata 76,19 persen)

Pengamat Ekonomi asal Universitas Sriwijaya Isni Adriana mengatakan hadirnya OJK secara resmi sejak 2012 bukan untuk mengatur dan mengawasi industri jasa keuangan saja, tapi bagaimana industri ini dapat bertumbuh dan berkembang dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Ini sesuai dengan semangat saat OJK didirikan, yang tak luput dari krisis ekonomi tahun 1997-1998. Saat itu pemerintah menilai perlu membenahi sektor perbankan agar krisis tidak terulang lagi.

Pemerintah mengeluarkan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang pembentukan OJK, yang bertujuan menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.

Tak hanya berkutat dalam regulasi, OJK juga memiliki tugas lain yakni meningkatkan kedalaman (inklusi) pemanfaatan produk jasa keuangan di masyarakat agar industrinya dapat tumbuh dan berkembang.

“Saat OJK hadir, sempat ada keraguan, apakah nanti akan sibuk mengurus persoalan hukum (regulasi) dibandingkan mengembangkan industrinya. Ternyata setelah satu dekade, hal tersebut terbantahkan, industri keuangan di Tanah Air tumbuh dan berkembang mengikuti kemajuan teknologi saat ini,” kata Isni.

Namun, dengan usia yang baru menginjak 10 tahun, OJK masih memiliki tugas berat yakni bagaimana mendongkrak tingkat literasi dan inklusi keuangan masyarakat Indonesia setara dengan negara-negara lain. Indonesia masih di kisaran 76 persen, sementara Singapura sudah mencapai 98 persen, Malaysia 85 persen dan Thailand 82 persen.

Artinya masih ada 'gap' antara tingkat literasi dan pemanfaatan produk jasa keuangan. Rentan jarak ini perlu dikikis agar kasus penipuan yang meresahkan masyarakat seperti pinjaman online ilegal dan investasi bodong tak terjadi lagi, sehingga kisah ibu-ibu berdaya ekonomi yang mendominasi di negeri ini.