Merayakan kebebasan pers dengan penuh tanggung jawab
Tentu saja kekerasan apa pun bentuk dan alasannya tidak dapat dibenarkan
Jakarta (ANTARA) - Hari Kebebasan Pers Sedunia atau yang dikenal dengan World Press Freedom Day (WPFD) baru saja diperingati oleh insan pers serta masyarakat dunia pada tanggal 3 Mei 2021.
Hari Kebebasan Pers Sedunia diperingati guna meningkatan kesadaran akan pentingnya kebebasan pers dan mengingatkan pemerintah akan tugas mereka untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak kebebasan bersuara.
Jika parameter kebebasan pers sebatas kebebasan dalam bersuara, di Tanah Air saat ini kebebasan semacam itu agaknya sudah bukan lagi isu yang perlu dipersoalkan.
Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin sangat menjunjung tinggi kebebasan dan kemerdekaan pers sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Insan pers, seperti diketahui, bebas menampilkan, menyuguhkan karya-karya jurnalistiknya sepanjang tidak bertentangan dengan koridor peraturan perundang-undangan dan kode etik yang berlaku.
Dalam kaitan tersebut pula, tentu tidak relevan, atau paling tidak menjadi kurang relevan jika kondisi kebebasan pers di Tanah Air saat ini disamakan seperti situasi dalam film-film yang mempertontonkan kekerasan yang dilakukan penguasa otoriter terhadap pers.
Seperti dalam film A Taxi Driver garapan sutradara Korea Jang Hoon, misalnya. Di sana ditampilkan betapa wartawan lokal maupun asing harus bertaruh nyawa guna menyampaikan informasi di tengah bayang-bayang penguasa otoriter, yang mudah membredel media hingga membunuh jurnalis.
Kondisi dalam film berbasis kisah nyata itu tidak dapat disamakan dengan kondisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf yang demokratis saat ini.
Kembali kepada kondisi kebebasan pers di Tanah Air, boleh disebut penentu kebebasan pers kini bukan lagi dari pemerintah atau penguasa, melainkan penentu kebebasan pers adalah insan pers itu sendiri.
Mengutip apa yang disampaikan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal Sembiring Depari, iklim kebebasan pers, sejatinya memang harus pula orang pers yang menghidupkannya sendiri.
Artinya, semua kebebasan itu bergantung pada insan pers, baik secara individu maupun dalam kerangka perusahaan.
Wartawan secara personal dapat menentukan kebebasannya sendiri, berpikir mandiri, menempa diri dalam mencari, mengolah, dan menyampaikan informasi secara bertanggung jawab.
Begitu juga dewan redaksi dengan segala pertimbangan menentukan hal serupa dalam kerangka agenda setting dalam lingkup yang lebih luas.
Pada akhirnya yang membedakan kebebasan pers saat ini adalah sejauh mana para insan pers dapat menjaga profesionalitas, adab, serta kepatuhannya terhadap kode etik jurnalistik.
Yang tidak profesional, bisa-bisa terkena sanksi, somasi, atau mungkin juga berhadapan dengan hukum. Begitu aturannya.
Peran Vital Pers
Pada era digital saat ini, penyampaian dan penyebaran informasi bukan hanya milik insan pers. Masyarakat dapat menjadi pelaku jurnalistik melalui kegiatan jurnalisme warga atau citizen journalism.
Pesatnya perkembangan media sosial menyebabkan informasi kian sulit dibendung. Siapa pun akan kesulitan menyembunyikan informasi.
Persoalan muncul ketika informasi yang disampaikan publik, yang membanjiri kanal-kanal sumber informasi di media sosial, digelontorkan tanpa adanya verifikasi. Hal ini kemudian menimbulkan banyak bermunculan informasi hoaks.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pers berkaitan dengan kebebasan yang telah diperolehnya.
Pers dituntut kerja ekstra keras memverifikasi kebenaran atas setiap informasi penting yang hadir di jagat maya. Di sinilah peran vital pers diperlukan.
Tanpa adanya peran vital insan pers tersebut, publik bisa-bisa "babak belur" dihantam tsunami informasi yang belum jelas kebenarannya.
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengatakan di tengah pesatnya perkembangan dunia digital, termasuk media sosial, media massa dalam hal ini insan pers, dituntut berperan menjembatani kebebasan berekspresi publik dengan tetap menjaga objektivitas pemberitaan.
Menurut Jaleswari, media harus menjaga objektivitas pemberitaan yang menampung berbagai perspektif, pandangan yang berbeda dan keberpihakan pada nilai kemanusiaan.
Ia mengingatkan media sosial yang semula hanya berfungsi sebagai alat eksistensi diri, kini berubah untuk memengaruhi iklim politik suatu negara.
Media massa pun memiliki tugas untuk membuat publik lambat laun mampu memilih dan menyaring informasi yang tepat agar tidak mudah percaya berita hoaks dan ujaran kebencian.
Media massa dituntut menyajikan pemberitaan yang sehat, cepat, dan tepat dengan tetap teguh memegang prinsip-prinsip jurnalisme yang profesional.
Kekerasan terhadap pers
Bagaimanapun jika berbicara mengenai kebebasan pers, selalu saja ada yang mengaitkannya dengan fakta masih terjadinya kekerasan terhadap pers.
Kekerasan terhadap pers memang masih terjadi di Tanah Air. Namun, tidak dilakukan terstruktur dan masif oleh penguasa, tetapi terjadi kasus per kasus secara personal.
Seperti kabar pemukulan dan intimidasi yang dialami seorang pewarta sebuah media massa terkemuka di Surabaya, belum lama ini.
Kabar kekerasan itu nyata adanya. Namun, mengambil satu kasus untuk menimbang kondisi kebebasan pers di suatu wilayah atau negara secara keseluruhan, tentu kurang bertanggung jawab.
Tentu saja kekerasan apa pun bentuk dan alasannya tidak dapat dibenarkan.
Dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis, pelakunya harus dihukum sesuai dengan ketentuan. Di situlah peran negara dalam menjamin kebebasan pers.
Namun, sekali lagi sebuah peristiwa tidak serta-merta tepat digunakan untuk menyimpulkan kondisi keseluruhan.
Pada akhirnya, kebebasan pers memang sepatutnya terus berproses. Dari masa ke masa kebebasan pers menghadapi tantangannya masing-masing.
Layaknya insan pers yang selalu dituntut untuk mengalir seperti air, mampu menempatkan diri dan beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Sejak dahulu keadaan selalu menempa insan pers untuk menjadi demikian. Pers bersama kebebasannya selalu berproses, mencari solusi atas segala persoalan.
Itulah sebabnya insan pers yang cakap seyogianya selalu mampu menempatkan diri di berbagai situasi dan kalangan sosial, serta mampu mewujudkan kebebasannya sendiri secara bertanggung jawab.
Hari Kebebasan Pers Sedunia diperingati guna meningkatan kesadaran akan pentingnya kebebasan pers dan mengingatkan pemerintah akan tugas mereka untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak kebebasan bersuara.
Jika parameter kebebasan pers sebatas kebebasan dalam bersuara, di Tanah Air saat ini kebebasan semacam itu agaknya sudah bukan lagi isu yang perlu dipersoalkan.
Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin sangat menjunjung tinggi kebebasan dan kemerdekaan pers sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Insan pers, seperti diketahui, bebas menampilkan, menyuguhkan karya-karya jurnalistiknya sepanjang tidak bertentangan dengan koridor peraturan perundang-undangan dan kode etik yang berlaku.
Dalam kaitan tersebut pula, tentu tidak relevan, atau paling tidak menjadi kurang relevan jika kondisi kebebasan pers di Tanah Air saat ini disamakan seperti situasi dalam film-film yang mempertontonkan kekerasan yang dilakukan penguasa otoriter terhadap pers.
Seperti dalam film A Taxi Driver garapan sutradara Korea Jang Hoon, misalnya. Di sana ditampilkan betapa wartawan lokal maupun asing harus bertaruh nyawa guna menyampaikan informasi di tengah bayang-bayang penguasa otoriter, yang mudah membredel media hingga membunuh jurnalis.
Kondisi dalam film berbasis kisah nyata itu tidak dapat disamakan dengan kondisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf yang demokratis saat ini.
Kembali kepada kondisi kebebasan pers di Tanah Air, boleh disebut penentu kebebasan pers kini bukan lagi dari pemerintah atau penguasa, melainkan penentu kebebasan pers adalah insan pers itu sendiri.
Mengutip apa yang disampaikan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal Sembiring Depari, iklim kebebasan pers, sejatinya memang harus pula orang pers yang menghidupkannya sendiri.
Artinya, semua kebebasan itu bergantung pada insan pers, baik secara individu maupun dalam kerangka perusahaan.
Wartawan secara personal dapat menentukan kebebasannya sendiri, berpikir mandiri, menempa diri dalam mencari, mengolah, dan menyampaikan informasi secara bertanggung jawab.
Begitu juga dewan redaksi dengan segala pertimbangan menentukan hal serupa dalam kerangka agenda setting dalam lingkup yang lebih luas.
Pada akhirnya yang membedakan kebebasan pers saat ini adalah sejauh mana para insan pers dapat menjaga profesionalitas, adab, serta kepatuhannya terhadap kode etik jurnalistik.
Yang tidak profesional, bisa-bisa terkena sanksi, somasi, atau mungkin juga berhadapan dengan hukum. Begitu aturannya.
Peran Vital Pers
Pada era digital saat ini, penyampaian dan penyebaran informasi bukan hanya milik insan pers. Masyarakat dapat menjadi pelaku jurnalistik melalui kegiatan jurnalisme warga atau citizen journalism.
Pesatnya perkembangan media sosial menyebabkan informasi kian sulit dibendung. Siapa pun akan kesulitan menyembunyikan informasi.
Persoalan muncul ketika informasi yang disampaikan publik, yang membanjiri kanal-kanal sumber informasi di media sosial, digelontorkan tanpa adanya verifikasi. Hal ini kemudian menimbulkan banyak bermunculan informasi hoaks.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pers berkaitan dengan kebebasan yang telah diperolehnya.
Pers dituntut kerja ekstra keras memverifikasi kebenaran atas setiap informasi penting yang hadir di jagat maya. Di sinilah peran vital pers diperlukan.
Tanpa adanya peran vital insan pers tersebut, publik bisa-bisa "babak belur" dihantam tsunami informasi yang belum jelas kebenarannya.
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengatakan di tengah pesatnya perkembangan dunia digital, termasuk media sosial, media massa dalam hal ini insan pers, dituntut berperan menjembatani kebebasan berekspresi publik dengan tetap menjaga objektivitas pemberitaan.
Menurut Jaleswari, media harus menjaga objektivitas pemberitaan yang menampung berbagai perspektif, pandangan yang berbeda dan keberpihakan pada nilai kemanusiaan.
Ia mengingatkan media sosial yang semula hanya berfungsi sebagai alat eksistensi diri, kini berubah untuk memengaruhi iklim politik suatu negara.
Media massa pun memiliki tugas untuk membuat publik lambat laun mampu memilih dan menyaring informasi yang tepat agar tidak mudah percaya berita hoaks dan ujaran kebencian.
Media massa dituntut menyajikan pemberitaan yang sehat, cepat, dan tepat dengan tetap teguh memegang prinsip-prinsip jurnalisme yang profesional.
Kekerasan terhadap pers
Bagaimanapun jika berbicara mengenai kebebasan pers, selalu saja ada yang mengaitkannya dengan fakta masih terjadinya kekerasan terhadap pers.
Kekerasan terhadap pers memang masih terjadi di Tanah Air. Namun, tidak dilakukan terstruktur dan masif oleh penguasa, tetapi terjadi kasus per kasus secara personal.
Seperti kabar pemukulan dan intimidasi yang dialami seorang pewarta sebuah media massa terkemuka di Surabaya, belum lama ini.
Kabar kekerasan itu nyata adanya. Namun, mengambil satu kasus untuk menimbang kondisi kebebasan pers di suatu wilayah atau negara secara keseluruhan, tentu kurang bertanggung jawab.
Tentu saja kekerasan apa pun bentuk dan alasannya tidak dapat dibenarkan.
Dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis, pelakunya harus dihukum sesuai dengan ketentuan. Di situlah peran negara dalam menjamin kebebasan pers.
Namun, sekali lagi sebuah peristiwa tidak serta-merta tepat digunakan untuk menyimpulkan kondisi keseluruhan.
Pada akhirnya, kebebasan pers memang sepatutnya terus berproses. Dari masa ke masa kebebasan pers menghadapi tantangannya masing-masing.
Layaknya insan pers yang selalu dituntut untuk mengalir seperti air, mampu menempatkan diri dan beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Sejak dahulu keadaan selalu menempa insan pers untuk menjadi demikian. Pers bersama kebebasannya selalu berproses, mencari solusi atas segala persoalan.
Itulah sebabnya insan pers yang cakap seyogianya selalu mampu menempatkan diri di berbagai situasi dan kalangan sosial, serta mampu mewujudkan kebebasannya sendiri secara bertanggung jawab.