Kemenristekdikti: 90 persen dunia kerja butuh tenaga terampil

id Kemenristekdikti, 90 persen, tenaga terampil

Kemenristekdikti: 90 persen dunia kerja butuh tenaga terampil

Plt. Direktur Jenderal Kelembagaan IPTEK & Dikti (Kemenristekdikti), Patdono Suwignjo saat memberikan sambutan dalam kegiatan Forum Inkubator Bisnis Teknologi, di Denpasar. (Antara/Ayu Khania Pranisitha/2019)

Denpasar (ANTARA) - Plt. Direktur Jenderal Kelembagaan Iptek dan Dikti, Kemenristekdikti  Patdono Suwignjo, menjelaskan dalam dunia kerja sekitar 85 sampai 90 persen dibutuhkan tenaga terampil, yang memang dihasilkan dari lulusann Politeknik.

"Di dunia kerja itu hanya sekitar 15 persen dibutuhkan peneliti, pemikir dan perencana yang nantinya akan dihasilkan oleh universitas dengan pendidikan akademiknya, sedangkan 85-90 persennya itu dibutuhkan pelaksana berupa tenaga terampil dari Politeknik," katanya   dalam pelaksanaan Harteknas, di Denpasar, Selasa.

Untuk jumlah politeknik di bawah Kemenristekdikti di Indonesia ada sekitar 300, dibandingkan dengan jumlah perguruan tinggi sebanyak 4.700. Dengan adanya data itu, pihaknya mengaku saat ini tengah kekurangan politeknik dan tenaga terampil.

"Jumlah poltek dengan perguruan tinggi sangat berbeda, maka bisa dilihat kita juga kekurangan politeknik dan kekurangan tenaga terampil, kalau lulusan perguruan tinggi tidak siap pakai,  jelas saja 90 persen itu dihasilkan untuk penelitian tapi perusahaan kalau mau rekrut jadi pegawai rekrut yang politeknik," ujarnya.

Menurutnya, saat ini Politeknik di Indonesia belum memenuhi seperti yang dilaksanakan di negara maju, ada di Jerman, dan Belanda, salah satunya karena jumlah politeknik di Indonesia jumlahnya masih kurang dan mutu nya masih harus diperbaiki.

"Yang pertama dilakukan untuk memperbaiki itu, maka kita melakukan revitalisasi, sebelumnya Presiden Jokowi minta yg lulusan politeknik maksimum dalam waktu 3 bulan setelah lulus harus dapat kerja, strateginya mahasiswa Poltek tidak boleh diwisuda kecuali mereka harus punya satu sertifikat kompetensi, karena yang penting bagi perusahaan sertifikatnya bukan ijazahnya," kata Patdono.

Selain itu, Ia menjelaskan bahwa penyusunan kurikulum Politeknik di Indonesia ada yang belum terlaksana dengan baik. Jika dibandingkan dengan negara maju seperti Jerman dan Belanda, dalam penyusunan kurikulumnya turut bekerja sama dengan Industri, maka kerja sama dengan Industri, menjadi bagian penting yang perlu diperhatikan.

Patdono menambahkan dalam menerapkan kurikulum dapat dilakukan dengan dual sistem, sebagian waktu untuk pendidikan secara akademik dan sebagian lagi waktunya digunakan untuk magang di perusahaan.

"Itu adalah bentuk kurikulum yang bagus, tetapi untuk perbaikan ini biayanya mahal, pendidikan Politeknik itu lebih mahal dari Universitas karena politeknik 70 persen praktek, jadi butuh laboratorium dan sebagainya, biar bisa mewujudkan setelah lulus langsung kerja Pemerintah harus mau mengeluarkan biaya banyak untuk memperbaiki ini," ujarnya.