Pelaku Industri hilir usulkan pungutan ekspor sawit diterapkan lagi
Jakarta (ANTARA) - Pelaku industri hilir minta pemerintah untuk menerapkan lagi pungutan ekspor sawit bagi produk hulu dan hilir sebab jika terus ditunda banyak pabrik pengolahan sawit (refineri) yang bakalan mangkrak dan ekspor sulit bersaing.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga di Jakarta, Jumat, mengatakan asosiasinya sudah mengirimkan surat resmi kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution supaya pungutan ekspor dapat segera diterapkan lagi.
"Selisih pungutan ekspor sawit sebesar 7,5 persen antara produk hilir dan mentah (CPO). Maka, pemberlakuan pungutan berdampak positif kepada masuknya investasi ke Indonesia," katanya.
Selain itu, menurut dia, tanpa pungutan ekspor, kapasitas refineri CPO di Indonesia turun menjadi 30 hingga 35 persen dari sebelumnya mencapai 75 persen.
Sahat mengatakan penundaan pungutan ekspor sawit mengakibatkan refineri mangkrak seperti pabrik RBD dan food. Kondisi ini disebabkan tidak kompetitifnya daya saing produk hilir di pasar ekspor.
"Kalau ekspor CPO masih dapat margin 2 sampai 3 dolar AS. Tetapi jika di industri hilir, ada biaya pengolahan dan transportasi. Akibatnya tidak dapat marjin karena kalah bersaing," ujarnya.
Dia mengatakan dengan adanya pungutan ekspor, maka produk hilir dapat bersaing dengan Malaysia. Keunggulan Malayasia adalah suku bunga rendah dan handling cost, sedangkan Indonesia unggul dari segi efisien karena mesin lebih modern.
Senada dengan itu Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI) Paulus Tjakrawan juga setuju pungutan diberlakukan lagi. Menurut dia, dana pungutan ini dapat dipakai untuk program petani dan riset.
"Karena penghapusan pungutan ini juga tidak berdampak kepada harga TBS (tandan buah segar) petani," katanya.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN) Rapolo Hutabarat, mengatakan pemerintah sudah mengeluarkan regulasi terkait industri hilir, makanya kebijakan ini perlu dukungan pelaku usaha.
Tujuannya menciptakan investasi baik dari dalam dan luar negeri sehingga dapat menciptakan lapangan kerja di masyarakat.
"Selain itu, pemerintah juga menerima pajak dari badan usaha dan perorangan. Makanya, pungutan segera diberlakukan supaya daya saing industri hilir tetap bagus,"katanya.
Sementera itu Sahat mendambahkan, untuk menyelesaikan persoalan ini, GIMNI telah mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Perekonomian.
"Bulan April kemarin, surat sudah dikirimkan. Makanya, baru saja kami rapat membahas persoalan ini (pungutan). Dalam rapat kami sepakat menertibkan price level sebagai patokan," ujarnya.
Selama ini, harga patokan penetapan pungutan memakai Bursa Malaysia dan pasar komoditas Rotterdam. Sedangkan di dalam negeri, rujukan kepada Bursa komoditas ICDX.
Sahat mengatakan, nantinya Kementerian Perdagangan membuat patokan harga melalui revisi peraturan. Pada Juni mendatang, Kementerian Perdagangan akan mempresentasikan konsep patokan harga kepada para stakeholder.
Hingga semester pertama tahun 2019, penggunaan minyak sawit untuk kebutuhan domestik diperkirakan mencapai 8,7 juta ton. Sebagian besar kebutuhan digunakan untuk industri minyak goreng (makanan) dan FAME (biodiesel).
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga di Jakarta, Jumat, mengatakan asosiasinya sudah mengirimkan surat resmi kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution supaya pungutan ekspor dapat segera diterapkan lagi.
"Selisih pungutan ekspor sawit sebesar 7,5 persen antara produk hilir dan mentah (CPO). Maka, pemberlakuan pungutan berdampak positif kepada masuknya investasi ke Indonesia," katanya.
Selain itu, menurut dia, tanpa pungutan ekspor, kapasitas refineri CPO di Indonesia turun menjadi 30 hingga 35 persen dari sebelumnya mencapai 75 persen.
Sahat mengatakan penundaan pungutan ekspor sawit mengakibatkan refineri mangkrak seperti pabrik RBD dan food. Kondisi ini disebabkan tidak kompetitifnya daya saing produk hilir di pasar ekspor.
"Kalau ekspor CPO masih dapat margin 2 sampai 3 dolar AS. Tetapi jika di industri hilir, ada biaya pengolahan dan transportasi. Akibatnya tidak dapat marjin karena kalah bersaing," ujarnya.
Dia mengatakan dengan adanya pungutan ekspor, maka produk hilir dapat bersaing dengan Malaysia. Keunggulan Malayasia adalah suku bunga rendah dan handling cost, sedangkan Indonesia unggul dari segi efisien karena mesin lebih modern.
Senada dengan itu Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI) Paulus Tjakrawan juga setuju pungutan diberlakukan lagi. Menurut dia, dana pungutan ini dapat dipakai untuk program petani dan riset.
"Karena penghapusan pungutan ini juga tidak berdampak kepada harga TBS (tandan buah segar) petani," katanya.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN) Rapolo Hutabarat, mengatakan pemerintah sudah mengeluarkan regulasi terkait industri hilir, makanya kebijakan ini perlu dukungan pelaku usaha.
Tujuannya menciptakan investasi baik dari dalam dan luar negeri sehingga dapat menciptakan lapangan kerja di masyarakat.
"Selain itu, pemerintah juga menerima pajak dari badan usaha dan perorangan. Makanya, pungutan segera diberlakukan supaya daya saing industri hilir tetap bagus,"katanya.
Sementera itu Sahat mendambahkan, untuk menyelesaikan persoalan ini, GIMNI telah mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Perekonomian.
"Bulan April kemarin, surat sudah dikirimkan. Makanya, baru saja kami rapat membahas persoalan ini (pungutan). Dalam rapat kami sepakat menertibkan price level sebagai patokan," ujarnya.
Selama ini, harga patokan penetapan pungutan memakai Bursa Malaysia dan pasar komoditas Rotterdam. Sedangkan di dalam negeri, rujukan kepada Bursa komoditas ICDX.
Sahat mengatakan, nantinya Kementerian Perdagangan membuat patokan harga melalui revisi peraturan. Pada Juni mendatang, Kementerian Perdagangan akan mempresentasikan konsep patokan harga kepada para stakeholder.
Hingga semester pertama tahun 2019, penggunaan minyak sawit untuk kebutuhan domestik diperkirakan mencapai 8,7 juta ton. Sebagian besar kebutuhan digunakan untuk industri minyak goreng (makanan) dan FAME (biodiesel).