Cukai plastik

id plastik,cukai plastik,sampah plastik,berita sumsel,berita palembang,antara sumsel,antara palembang

Cukai plastik

Dokumentasi- Limbah botol plastik (ANTARA FOTO)

Jakarta (ANTARA News Sumsel) - Upaya pemerintah mengendalikan sampah plastik dilakukan dengan berbagai cara, namun produksi sampah jenis ini terus meningkat sehingga semakin menambah kompleksitas persoalan.

Kepraktisan dan kemudahan dalam memperolehnya menjadikan kantong plastik menjadi andalan dalam berbagai keperluan. Dari berbelanja hingga pengemasan barang, termasuk makanan.

Itulah sebabnya ketergantungan akan kebutuhan plastik semakin besar. Namun hal itu berakibat pada membanjirnya sampah plastik karena umumnya terbuat dari bahan yang tidak mudah terurai.

Karena itu, pemerintah berupaya meminimalkan penggunaan kantong plastik sekali pakai yang tidak ramah lingkungan dan menggantinya dengan kantong yang bisa digunakan berulang kali. Misalnya, kantong terbuat dari bahan kain atau kertas.
Ilustrasi - Kantong plastik (ANTARA News Sumsel)

Pengalihan jenis produk inilah yang sedang direncanakan pemerintah. Tujuan akhirnya adalah menekan ketergantungan pada kantong berbahan plastik yang penanganan sampahnya seolah kian tak terkendali.

Kebijakan yang sedang dipersiapkan adalah pengenaan cukai plastik. Dengan demikian nantinya produksi sampah plastik akan bisa ditekan atau dikurangi.

Namun pengenaan cukai plastik ini tidak "pukul rata" terhadap semua produsen plastik. Menurut Direktur Jenderal Bea Cukai Kemenkeu Heru Pambudi, pemerintah ingin mendukung perusahaan yang memproduksi kantong ramah lingkungan dengan pengenaan tarif cukai yang lebih rendah atau bahkan nol tarif cukai.

Bisa juga dalam bentuk pemberian pembebasan bea masuk dan pajak impor untuk mesin-mesin yang diimpor untuk tujuan memproduksi kantong plastik ramah lingkungan. Sebaliknya kepada mereka yang masih memproduksi kantong-kantong yang tidak ramah lingkungan itu dikenakan tarif lebih tinggi supaya masyarakat tidak mudah menjangkaunya.

Tujuan utama pemerintah menerapkan cukai plastik bukan untuk mengejar target penerimaan negara. Karena itu, parameter keberhasilan kebijakan ini adalah terjadinya pengendalian konsumsi dan peredaran kantong plastik itu sendiri.
Ditjen Bea Cukai (ANTARA News Sumsel)


Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) optimistis kebijakan pengenaan cukai terhadap plastik tak ramah lingkungan, dapat diterapkan pada tahun depan. Optimisme itu berdasarkan antusiasme masyarakat, kemudian pembicaraan yang dilakukan melalui Panitia Antar-Kementerian atau PAK.

Namun untuk mewujudkan rencana itu, saat ini masih banyak hal teknis yang harus dibicarakan, terutama apabila kebijakan cukai plastik tersebut disetujui. Pemerintah harus bisa membantu mengalihkan produsen plastik yang selama ini masih mengandalkan penghasilannya dari kantong plastik yang tidak ramah lingkungan menjadi ramah lingkungan.

Itu termasuk dalam "roadmap" disiapkan. Jangan sampai kemudian di satu sisi lingkungan bisa teratasi, tapi menimbulkan dampak dari sisi lain. Pemerintah harus memikirkan semua aspek, baik dari sisi lingkungan yang akan menjadi lebih baik karena berkurangnya kantong plastik tak ramah lingkungan, tapi juga di sisi lain perusahaan yang memproduksi kantong plastik juga bisa tetap hidup.

Kesadaran Masyarakat Yang paling penting adalah kesadaran masyarakat. Percuma juga kantong plastik dikenakan cukai tapi masyarakat tetap berprilaku seperti sebelumnya. Yakni sampah di sungai menuju ke laut itu sekarang luar biasa banyaknya.

Untuk urusan sampah plastik ini, Indonesia nomor dua penyumbang sampah plastik terbesar di dunia. Sampah plastik yang saat ini jumlahnya sangat banyak merupakan dampak penggunaan plastik yang tidak terkendali konsumsinya.

Selain perlunya peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak buang sampah sembarangan, penggunaan kantong plastik juga harus diminimalkan dan digantikan dengan kantong yang bisa dipakai berulang kali, baik itu dari kain atau kertas.

Untuk pengendalian, instrumen yang akan digunakan adalah melalui fiskal, yaitu membuat kantong plastik itu menjadi lebih tidak mudah atau tidak sangat murah. Ini untuk mendorong orang pindah ke pemakaian yang berulang-ulang dan jenis kantong yang tidak terbuat dari plastik.

Ini memang tujuan cukai, yaitu diharapkan bisa dikendalikan konsumsinya dan peredarannya. Dengan instrumen ini pada akhirnya pasti akan berdampak pada lingkungan.

Saat ini, pemerintah terus berkonsultasi dengan Komisi XI DPR RI membahas pengenaan cukai plastik tersebut. Selain itu, pemerintah juga tengah menggodok peraturan pemerintah (PP).

Bea Cukai di posisi yang sudah siap mengimplementasikan cukai kantong plastik. Namun Deputi Koordinasi SDM, Iptek dan Budaya Maritim pada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Safri Burhanuddin dalam diskusi mengenai sampah plastik laut yang diselenggarakan Kedutaan Besar Australia di Jakarta, beberapa waktu lalu, belum dapat memastikan kapan proses pembahasan selesai.

Hal itu karena masih banyak hal yang harus dibicarakan, termasuk aspek teknis dan konflik kepentingan antarkementerian. Yang jelas, Direktorat Jenderal Bea Cukai Kemenkeu optimistis kebijakan cukai plastik dapat diterapkan tahun depan.

Kebijakan ini dibuat dengan mempertimbangkan berbagai aspek, baik dari sisi lingkungan yang menjadi lebih lestari jika sampah berkurang serta dari sisi industri plastik yang harus tetap hidup.

Dari data Antara, Kemenkeu menyosialisasikan rencana mengenakan cukai plastik ini sejak 12 April 2016. Artinya, upaya mengendalikan sampah plastik sudah lama, hampir empat tahun.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan kurang lebih 9,8 miliar lembar kantong plastik digunakan masyarakat Indonesia setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, 95 persennya menjadi sampah.

Timbunan sampah plastik diperkirakan mencapai 5,6 juta ton per tahun, yang menempatkan Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia. Kondisi ini merupakan dampak penggunaan plastik yang tidak terkendali dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat.

Insentif Hanya saja, terlihat tidak mudah untuk mewujudkan rencana tersebut. Hal itu karena adanya perbedaan kepentingan antarkementerian atau lembaga di pemerintahan. Kementerian Perindustrian, misalnya, meminta penerapan cukai plastik dikaji secara mendalam sehingga terjadi interpretasi yang sama dari semua pihak terkait terhadap rencana tersebut.

Direktur Industri Kimia Hilir Ditjen Industri Kimia Tekstil dan Aneka Kemenperin Taufik Bawazier di Tangerang Selatan, Banten, belum lama ini, meminta agar rencana itu dikaji lagi secara mendalam. Rencana itu perlu dipelajari secara utuh agar jangan sampai missinterpretasi.

Menurut kacamata industri, penerapan cukai plastik tidak ramah lingkungan justru bakal memberi tambahan biaya produksi sekaligus tidak memberikan manfaat positif. Jika tujuannya adalah mengurangi sampah plastik yang tidak ramah lingkungan, maka dapat dilakukan pendekatan lain, selain pengenaan cukai.

Misalnya insentif fiskal untuk para pemulungnya sehingga (pemulung) giat mengambil (sampah) plastiknya. Langkah ini dinilai lebih tepat ketimbang mengenakan cukai.

Apalagi pada 19 April 2016, rencana Kemenkeu itu ditolak asosiasi pengguna plastik yang tergabung dalam Forum Pengguna Plastik. Forum ini menilai pengenaan cukai plastik tidak sesuai dengan kriteria barang kena cukai yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.

Selain itu pengenaan cukai tersebut akan menyebabkan naiknya biaya produksi, menurunkan permintaan yang berakibat pada melemahnya daya saing. Pada saat yang bersamaan, naiknya harga barang berbungkus plastik tidak bisa terhindarkan yang secara langsung akan berpengaruh terhadap inflasi.

Karena itu, pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam merencanakan pengenaan cukai serta mempertimbangkan seluruh dampak yang akan ditimbulkan bagi pemangku kepentingan. Dari aspek lingkungan, kemasan dari plastik dapat didaur ulang sebagai bahan baku dan energi.

Pembahasan secara mendalam dan komprehensif tampaknya perlu terus dilakukan oleh pihak-pihak terkait agar tercapai kesamaan persepsi terkait produksi plastik dan pengendalian dampaknya, yakni semakin banyaknya sampah plastik. Hal itu agar kebijakan yang akan ditempuh bisa menguntungkan bagi semua pihak, baik pemerintah, produsen, masyarakat maupun lingkungan hidup.