Gapki Sumsel respon positif penggunaan biodiesel

id sawit,kelapa sawit,gapki,biodiesel,solar,b-20

Gapki Sumsel respon positif penggunaan biodiesel

Dokumen - Pekerja mengangkut tandan buah segar (TBS) kelapa sawit hasil panen menggunakan perahu tradisional di Desa Air Balui, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Jumat (25/11). (ANTARA News Sumsel/Nova Wahyudi/do/16)

....Gapki dari awal meminta paling tidak September sudah jalan aturan ini, dan bersyukur sekali direspon pemerintah....
Palembang (ANTARA News Sumsel) - Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) merespon positif keputusan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengharuskan pencampuran 20 persen biodiesel sawit dengan Solar (B20) per September 2018.

Ketua Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) Sumsel Harry Hartanto pencampuran ini berlaku untuk semua minyak Solar subsidi dan non-subsidi yang dijual di Indonesia seperti yang diinginkan oleh Gapki.

"Gapki dari awal meminta paling tidak September sudah jalan aturan ini, dan bersyukur sekali direspon pemerintah," katanya.

Kementerian ESDM sedang menyusun Peraturan Presiden (Perpres) yang menjadi payung hukum sehingga pada awal September sudah bisa dilakukan pencampuran seluruh minyak solar dengan minyak sawit dengan merek dagang Biosolar.

Pemerintah juga berencana menunjuk badan usaha untuk menyaluran solar untuk melakukan pencampuran. Bila tidak dilaksanakan, maka akan ada sanksi berupa pengenaan denda sebesar Rp6 ribu per liter atas solar yang dijual tanpa dicampur sebanyak 20 persen minyak sawit.

Atas langkah yang diambil pemerintah ini, Gapki memberikan dukungan penuh karena selama ini penggunaan 20 persen biodiesel sawit dengan Solar (B20) tidak berjalan di lini lapangan.

Sementara, di sisi lain, harga semakin tidak bersahabat di pasaran internasional sehingga membutuhkan serapan dalam negeri untuk menjaga kelangsungan hidup petani.

"Tahu sendiri, saat ini negara-negara pengimpor membuat aturan untuk mengurangi impor dari negara lain. Belum lagi memanasnya hubungan dagang antara Amerika Serikat dan China. Akibatnya, serapan ekspor rendah sehingga terjadi penumpukan stok di dalam negeri," kata dia.

Selain itu, yang tak kalah merepotkan yakni adanya kampanye hitam yang menyebutkan bahwa produk minyak sawit itu berbahaya untuk kesehatan.

"Ini murni sudah persaingan dagang karena secara riset sama sekali tidak terbukti," ujar Harry.

Sementara itu, harga komoditas ekspor tandan buah segar (TBS) kepala sawit di tingkat petani Sumatera Selatan sejak pertengahan Juli lalu mengalami penurunan mencolok hingga 800 per kilogram.

Surono, petani sawit asal Desa Buana Tirta, Kecamatan Banyuasin, Kabupaten Banyuasin, Sumsel, mengatakan, Selasa, sejak seusai Lebaran terjadi penurunan  harga.

"Harga saat ini masih jatuh, untuk kelapa sawit kualitas sedang hanya dipatok Rp700-900 per kilogram, sementara kualitas baik di kisaran Rp1.050-1.200 per kilogram," kata dia.

Kondisi ini sungguh jauh berbeda, karena sebelumnya untuk kualitas sedang dengan harga Rp1.200 per kilogram dibeli pabrik pengolahan dengan harga Rp2.000 per kilogram.

"Ini harga yang ditetapkan pabrik, kami tidak tahu apa penyebabnya. Yang jelas kondisi ini memberatkan kami," kata Surono.

Volume ekspor minyak sawit Indonesia sepanjang Mei secara total termasuk biodiesel dan oleochemical membukukan penurunan sebesar 3,0 persen atau dari 2,39 juta ton di April susut menjadi 2,33 juta ton pada Mei.

Khusus volume ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya tidak termasuk biodiesel dan oleochemical pada Mei 2018 tercatat menurun 4,0 persen dibandingkan dengan April lalu atau dari 2,22 juta ton di April merosot menjadi 2,14 juta ton di Mei.

Dari sisi produksi, pada Mei ini produksi mencapai 4,24 juta ton atau naik 14 persen dibandingkan pada April lalu yang hanya mampu mencapai 3,72 juta ton. Produksi bulan Mei yang juga ini mengerek stok minyak sawit Indonesia meningkat menjadi 4,76 juta ton dibanding pada bulan lalu di 3,98 juta ton.

Dengan cadangan persediaan minyak sawit Indonesia dan Malaysia yang masih tinggi, menyebabkan harga minyak sawit pada Juni relatif turun.

Menurut Harry, selain fokus meningkatkan serapan dalam negeri, pemerintah juga harus melakukan langkah lain, seperti menjajal pasar Afrika dengan membuat kebijakan seperti menurunkan tarif ekspor minyak goreng kemasan ke negera-negara di sana.

"Afrika tidak dapat membeli minyak dalam bentuk curah yang harganya lebih murah daripada kemasan karena tidak memiliki infrastruktur tangki timbun. Sudah saatnya Indonesia menjajal pasar baru," kata dia. (D019).