Jakarta (Antarasumsel.com) - Era digital telah melahirkan gaya hidup baru di masyarakat, termasuk bagaimana setiap orang mendapatkan kawan, memperluas pergaulan, hingga mempromosikan diri, keahlian dan produk mereka, serta menguatkan jaringan bisnis.
Di zaman ini, dunia nyata tampak semakin sempit dibandingkan dengan dunia maya yang terwujud dalam berbagai media sosial, seperti Facebook, Instagram, Twitter, Whatsapp, dan lainnya, karena aplikasi-aplikasi itu mampu menembus ruang-ruang geografi dan tak kenal jeda waktu.
Oleh karenanya, praktisi kehumasan (public relations/ PR), Prita Kemal Gani, menempatkan sosial media sebagai salah satu alat dan cara yang efektif bagi mereka yang ingin membangun "performance" (kinerja) dan "reputation" (nama baik) yang dia singkat menjadi "PR".
Salah satu tugas dari praktisi kehumasan adalah membantu media mendapatkan akses informasi dan berita. Selain mengirimkan rilis-rilis ke media, praktisi kehumasan dapat menggunakan media sosial untuk menyebarkan informasi dan berita.
Prita yang juga pendiri Sekolah Tinggi Komunikasi, London School of Public Relations (LSPR) Jakarta, menyampaikan hal tersebut pada diskusi bertema "Women in Media" (Perempuan di Media) yang diselenggarakan oleh IPMI Internasional Business School di Jakarta, Selasa (25/4).
Narasi
Prita menekankan bahwa sebuah pesan akan semakin sangat menarik jika disampaikan dalam bentuk narasi atau bertutur seperti film berjudul "the Hundred-foot Journey" yang mengandung misi menduniakan masakan dan budaya India.
Film tersebut mengisahkan Hassan Kadam beserta keluarganya yang pindah dari negeri asal mereka, India, ke sebuah desa di Prancis.
Berbekal tekad yang bulat dan sedikit kemampuan memasak, keluarga ini mencoba membangun sebuah restoran India yang letaknya persis di seberang sebuah restoran Prancis milik Nyonya Mallory yang pernah memenangkan penghargaan tertinggi kuliner dunia, Bintang Michelin.
Nilai-nilai seperti kerja keras, ketabahan, dan kerendahan hati dalam film itu, menghantarkan pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan, yakni kuliner India tak kalah anggun dan "mahal" dari hidangan Prancis yang mungkin lebih dulu dikenal oleh masyarakat dunia.
"Itulah narasi atau 'story telling' yang harus kita munculkan dalam setiap promosi suatu produk dalam media sosial karena gambar saja mungkin sudah banyak yang mirip," jelas Prita.
Narasi di balik suatu produk merupakan "endorsement" atau dukungan pernyataan yang akan selalu dikenang oleh masyarakat.
Namun demikian, dia mengingatkan bahwa narasi suatu produk harus berdasarkan kenyataan dan bukan rekaan.
"Misalnya ketika kita ingin mempromosikan produk teh herbal, kita bisa menceritakan mengenai bagaimana proses penanaman dan kegiatan panen para petani yang memetik pucuk-pucuk daun teh yang menghasilkan teh dengan kualitas terbaik, dan penjelasan medis mengenai khasiat kesehatan tanaman herbal ini. Kita perlu melakukan riset untuk mendukung cerita kita," jelas Prita.
Medsos
Model dan pembawa acara televisi, Intan Erlita, yang aktif bersosial di Instagram baik untuk kepentingan pribadi maupun mengenalkan produk busananya, mengatakan gambar dan "caption" (keterangan gambar) sangat menentukan kesuksesan promosi produk di media sosial.
Pengguna media sosial di Indonesia sangat memperhatikan tampilan fisik dibandingkan dengan substansi yang sebenarnya.
"Makanya, gambar yang kita 'posting' di Instagram, misalnya, harus diambil dari berbagai sudut yang menarik," ujar Intan yang juga seorang psikolog itu.
Keterangan gambar juga harus tak kalah menarik agar masyarakat selalu penasaran akan produk yang ditawarkan dan akhirnya tertarik untuk membeli.
"Jika kita sedang mempromosikan makanan di media sosial, cobalah untuk 'mem-posting' gambar dengan 'caption' yang membuat orang jadi lapar dan ingin makan makanan yang kita promosikan walaupun belum tahu rasanya," jelas Intan.
Oleh karena media sosial hanya menyediakan ruang yang terbatas untuk menulis, pemilihan kata dan susunan kalimat "endorsement" harus benar-benar menguatkan kualitas produk.
Selain itu, waktu mengirimkan pesan juga menentukan jumlah pembaca.
"Jam-jam macet dan waktu senggang seperti malam Senin, menurut saya sangat pas untuk 'mem-posting' produk di media sosial karena di dua waktu ini banyak orang yang aktif di media sosial untuk mengisi waktu," kata Intan.
Menurut Direktur Utama Female Radio, Hanny Soema Di Pradja, mengenal setiap karakteristik media sosial sangat penting dalam menulis narasi produk yang diharapkan akan memukau masyarakat.
Umumnya, tujuh detik pertama di Facebook dan lima belas detik pertama untuk Instagram adalah waktu yang dibutuhkan oleh pembaca dalam menemukan hal yang menarik perhatian mereka.
Jika dalam waktu tersebut pembaca menemukan hal yang menarik perhatiannya, maka mereka akan terus membacanya bahkan hingga tulisan itu tuntas.
Sebaliknya, jika setelah tujuh detik atau lima belas detik, pembaca tidak menemukan sesuatu yang menarik, maka mereka akan meninggalkan pesan di media sosial tersebut.
"Kalau di radio, waktunya tiga menit pertama. Lebih panjang dari media sosial karena kekuatannya ada di suara," tambahnya.
Berhati-hati
Teknologi media sosial telah menciptakan kantor tanpa meja dan kursi, serta toko tanpa etalase.
Namun, kemudahan hidup seperti ini tak berarti sepi dari masalah sosial, terutama menyangkut kebebasan berekspresi di ruang publik.
Prita, Hanny, dan Intan yang aktif di media sosial sepakat bahwa wahana itu adalah ruang publik di mana semua orang mudah dan bebas mengakses dan berpartisipasi di dalamnya, termasuk menyampaikan pernyataan yang sering kali menyakitkan.
"Bagi saya ada dua kategori komentar di media sosial, yang membangun dan yang disampaikan oleh orang yang 'depresi'. Untuk yang pertama, komentar itu akan saya jawab dengan baik, bahkan saya berterima kasih karena komentar yang membangun itu berisi saran untuk memperbaiki produk saya," jelas Intan.
Sedangkan komentar negatif, yang menurut dia berasal dari kondisi psikologis depresif, tidak akan dia tanggapi.
"Saya akan tunggu, dalam dua-tiga hari, komentar-komentar depresi itu akan saya hapus tanpa saya jawab," tambahnya.
Dia menekankan bahwa di zaman digital yang berlaku bukan hanya "mulutmu, harimaumu", tapi juga "jarimu, harimaumu".
"Tidak sedikit hubungan baik akhirnya kandas karena saling melempar komentar yang buruk. Makanya, sebelum berkomentar di media sosial, kita harus hati-hati," tegasnya.