Konflik antara manusia dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) atau sering disebut si "Raja Hutan" di wilayah Sumatera Barat dalam sebulan terakhir belum juga mereda dan kembali memakan korban jiwa.
Hanya dalam beberapa hari ini sudah tercatat sedikitnya terjadi tiga kali konflik antara dua mahkluk Tuhan ini.
Akibatnya, jatuh korban jiwa tidak terhindari, baik dari sang "Raja Hutan", binatang ternak peliharaan warga dan terakhir diduga menyebabkan seorang manusia tewas.
Kabar terakhir datang yang terjadi di Kabupaten Dharmasraya, Sumbar atau tetapnya di kawasan hutan Koto Lamo, Nagari (Desa Adat) Lubuak Karak, Kabupaten Dharmasraya.
Kabar itu menyebutkan seorang warga bernama Rohana (80) tewas diduga dimangsa harimau.
Menurut Wali Nagari Lubuak Karak, Marti Ajis jasad korban saat ditemukan dalam keadaan mengenaskan.
"Jika dilihat jejak kaki binatang dan kondisi jenazah korban, diperkirakan dimangsa harimau," katanya.
Ia menerangkan jenazah korban ditemukan saudaranya, Iskandar (37) di pinggir Sungai Tuak berjarak 500 meter dari Jalan Tanah, Nagari Lubuk Karak.
Iskandar bersama masyarakat sengaja mencari keberadaan korban yang sebelumnya menghilang selama tiga hari.
Ia bersama pemerintah nagari dan masyarakat setempat sudah melaporkan peristiwa itu ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat dan Polres Dharmasraya.
Ia menambahkan kejadian manusia dimangsa harimau juga pernah terjadi di Nagari Lubuk Karak pada tahun 2006.
Sedangkan Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Dharmasraya, AKP Zulhardy Hasdi mengatakan pihaknya masih berkoordinasi dengan aparat terkait termasuk BKSDA untuk mengungkap penyebab kematian korban. "Kami masih melakukan penyelidikan," ujarnya.
Sebelumnya, dari Kabupaten Agam, Sumatera Barat dikabarkan pula ada tiga ekor kerbau milik warga Cubadak Lilin, Nagari Baringin, Kecamatan Palembayan, mati diduga dimangsa harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae).
Tiga binatang peliharaan warga itu, ditemukan mati setelah digembalakan dalam kawasan Hutan Cagar Alam Maninjau, Agam.
Menurut pemilik ternak itu, Petriana (55) satu ekor kerbau dengan berat sekitar 130 kilogram ditemukan hanya menyisakan bagian kaki dan perutnya dan kuat dugaan setelah dimangsa harimau.
Lalu dua ekor anak kerbau dengan berat sekitar 40 kilogram juga menjadi santapan si "Raja Rimba" itu.
"Ketiga ekor kerbau tersebut tergeletak di padang rumput dengan jarak sekitar satu kilometer dari rumah saya. Dengan kejadian ini saya mengalami kerugian sekitar Rp30 juta," katanya.
Ia bersama warga lain, dan wali jorong sudah memberitahukan peristiwa ini ke BKSDA Kabupaten Agam.
Mendapat laporan itu, Kepala BKSDA Agam, Syahrial Tanjung mengatakan ketiga ekor kerbau ini diduga kuat dimangsa harimau sumatera, karena pada lokasi ditemukan jejak telapak kaki binatang buas itu dan jejak luka pada kerbau.
Akan tetapi, pihaknya belum bisa memastikan berapa ekor dan besar harimau yang memangsa ternak tersebut.
"Kami tidak bisa memastikan jumlah dan besar (usia) harimau karena jejak telapak kaki sudah mulai hilang terinjak warga," katanya.
Kami telah mengusir harimau ke tengah hutan dengan cara bunyi-bunyian, tambahnya.
Dilihat dari cara memangsa harimau ini, menurutnya induk harimau sedang melatih anak-anaknya untuk berburu makanan di hutan sebelum binatang buas itu berpisah.
"Kalau sudah bisa berburu, maka induk harimau akan berpisah dengan anaknya. Apabila ada anak harimau berkelamin jantan, maka mereka akan mencari lokasi baru," katanya.
BKSDA Agam mengimbau warga untuk tidak mengikat kerbau di kawasan Hutan Cagar Alam Maninjau, karena di daerah itu merupakan habitat harimau sumatera.
Selain itu tidak mengganggu habitat harimau dengan cara merusak hutan, berburu rusa, kijang dan lainnya di lokasi itu.
"Apabila ini terjadi maka harimau akan turun ke permukiman warga untuk mencari makan," katanya.
Harimau korban
Beberapa hari sebelumnya justru tersiar kabar yang menyebutkan dampak dari konflik manusia-harimau yang menyebabkan terbunuhnya si "Inyak Balang" (sebutan untuk harimau dalam bahasa Minang) dan kemudian organ-organnya diperjual-belikan.
Kabar itu mengatakan Tim Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPLHK) beserta BKSDA Sumatera Barat dan Riau mengungkapkan perdagangan kulit harimau itu.
Tim itu berhasil membekuk lima pelaku yang diduga melakukan perdagangan kulit binatang itu.
"Penangkapan bermula dari laporan masyarakat bahwa akan diadakan transaksi perdagangan kulit harimau beserta bagian tubuh lainnya, sehingga kemudian dilanjutkan dengan pengintaian pelaku," ujar Kepala Seksi BPPLHK Wilayah II Sumatera, Edward Hutapea.
Setelah memperoleh informasi yang cukup, tambahnya akhirnya petugas menangkap kelima pelaku di Jorong Simpang Nagari Koto Gadang, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok, sekitar pukul 08.00 WIB.
Mereka adalah SY (35), N (49), IZ (23), SU (33), dan DMS (28), dari pemeriksaan awal diketahui berasal dari luar Sumatera Barat, yakni Riau dan Jambi.
Dalam penangkapan itu, petugas menyita barang bukti satu lembar kulit harimau sumatera dengan jenis kelamin betina yang diperkirakan berumur dua tahun.
Lalu, dua rangkaian utuh tulang-belulang harimau, serta paruh burung rangkong yang telah diolah dalam bentuk batu cincin.
Petugas juga menyita dua unit kendaraan roda empat dengan nomor polisi BM 1860 QB, dan BA 1979 TF yang digunakan oleh para pelaku, serta delapan unit telepon genggam.
Para pelaku akan dijerat pasal 21 ayat (2) huruf d, juncto pasal 40 ayat (2) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
"Pelaku akan diancam dengan pidana maksimal lima tahun dan pidana denda sebesar Rp100 juta," katanya.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) setempat masih melakukan penyidikan terhadap pelaku untuk mengungkap jaringan perdagangan dan perburuan satwa langka itu.
Sedangkan petugas BKSDA Sumbar Wawan Sukawan mengungkapkan pada habitat aslinya harimau sumatera diperkirakan tinggal 600 ekor.
Masih terus berlangsung perburuan dan perdagangan atau tepatnya konflik manusia dan harimau akan menyebabkan makin mengurangi populasinya di alam hutan Sumatera, sekaligus mengancam kelestariannya.