Untung-rugi kebijakan bebas visa

id wisatawan, mancanegara, bebas visa, pariwisata Indonesia, mendongkrak devisa

Untung-rugi kebijakan bebas visa

Wisatawan dari luar negeri. (ANTARA/Nyoman Budhiana/Ang)

Denpasar (Antarasumsel.com) - Hingga kini, pemerintah telah memberlakukan kebijakan bebas visa kunjungan terhadap 174 negara di dunia. Awalnya hanya 84 negara, lalu bertambah terus hingga 174 negara.

Negara-negara baru yang mendapatkan fasilitas bebas visa kunjungan, di antaranya Australia, Brazil, Ukraina, Kenya, Uzbekistan, Bangladesh, Kamerun, Palestina, Honduras, Pakistan dan Mongolia, Sierra Leone, dan Uruguay.

Selanjutnya, Bosnia-Herzegovina, Kosta Rika, Albania, Mozambik, Macedonia, El Salvador, Zambia, Moldova, Madagaskar, Georgia, Namibia, Kiribati, Armenia, Bolivia, Bhutan, Guatemala, Mauritania, dan Paraguay.

Ada beberapa negara yang tidak dimasukkan daftar negara yang diberi fasilitas bebas visa, karena negara-negara tersebut merupakan negara yang aktif dalam perdagangan narkoba dan eksportir ideologi ekstrem. Negara yang diberi perhatian khusus, yaitu Brazil, China, dan Australia.

Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa kebijakan bebas visa diterapkan untuk mendongkrak devisa melalui pariwisata.

Terkait dampak keamanan yang dapat timbul setelah pemberlakuan ini, Jokowi mengaku tidak khawatir.

"Kamu lihat Singapura, Malaysia (memberlakukan bebas visa ke) 170 negara lebih. Mereka aman-aman saja kan? Kenapa dulu kita hanya 15 negara yang diberi bebas visa?," kata Jokowi di Jakarta, 6 Januari 2016.

Berdasarkan data Kementerian Pariwisata, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia selama Januari-Desember 2015 melampaui target yakni 10.406.759 wisatawan, sedangkan targetnya sekitar 10 juta wisman, atau atau tumbuh 7,2 persen.

Pertumbuhan pariwisata Indonesia tahun 2015 itu diklaim berada di atas pertumbuhan pariwisata dunia sebesar 4,4 persen dan pertumbuhan pariwisata kawasan ASEAN sebesar 6 persen. Tahun 2016, pemerintah menargetkan kunjungan 12 juta wisman.

"Pertumbuhan pariwisata Indonesia jauh lebih baik dibandingkan negara kompetitor Malaysia, Singapura, dan Thailand," kata Menteri Pariwisata Arief Yahya.

Dari angka pertumbuhan tersebut, perolehan devisa pariwisata mencapai 11,9 miliar dollar AS atau setara Rp163 triliun dengan perhitungan rata-rata lama tinggal wisman selama berlibur di Indonesia adalah 8,50 hari dengan pengeluaran sebanyak 1.190 dollar AS per wisman per kunjungan (2015).

Namun, data yang berbeda dengan Menteri Pariwisata justru ditemukan Komisi III DPR RI saat mengadakan rapat kerja dengan pejabat Polda Jatim dan Imigrasi Klas I Khusus Surabaya di Gedung Rupatama, Mapolda Jatim, Surabaya, 8 Oktober 2016.

Komisi III DPR RI menemukan penyalahgunaan kebijakan "bebas visa" oleh turis dari sejumlah negara di beberapa daerah, termasuk di Jatim yang menyebabkan kerugian hingga Rp1 triliun.

"Kebijakan 'bebas visa' itu bertujuan menaikkan kunjungan wisatawan, namun pihak lain justru dirugikan, seperti Imigrasi Jatim yang rugi hingga Rp1 triliun," kata Ketua Panja Penegakan Hukum Komisi III DPR Desmond J Mahesa dalam raker itu.

    
Perlu Evaluasi
Menurut Desmond J Mahesa yang juga politisi Gerindra itu, kebijakan "bebas visa" yang bertujuan baik itu justru banyak disalahgunakan turis dari sejumlah negara untuk bekerja di Indonesia dengan menggunakan "visa" wisata itu.

"Tidak jarang mereka bekerja dalam 2-3 bulan, lalu mengurus KITAS (Kartu Izin Tinggal Sementara), sehingga mereka tidak bayar pajak masuk negara kita dan Imigrasi yang dirugikan, apalagi kebijakan 'bebas visa' itu membuat orang asing berdatangan," katanya.

Apalagi, kerugian non-finansial yang justru mengancam negara, karena warga asing itu datang membawa ideologi radikal, membawa narkoba, perdagangan manusia dan prostitusi terselubung, dan juga tidak menutup kemungkinan spionase.

Oleh karena itu, sejumlah anggota Komisi III DPR justru menyatakan UU 6/2011 tentang Keimigrasian perlu direvisi agar polisi mampu berperan dalam "wilayah" yang memiliki aspek pidana yakni penyalahgunaan 'bebas visa' itu.

Apalagi, Kanwil KemenkumHAM Jatim sudah menemukan indikasi "illegal entry" WNA RRC di kawasan Tuban dan Lamongan, serta dugaan spionase oleh WNA RRC di pesisir Gresik. "Maka itu perlu ketegasan," katanya.

Agaknya, temuan itu mendorong pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan itu. "Jangan-jangan kita sudah bebaskan visa, tetapi wisatawannya tidak ada. Jadi perlu kita evaluasi juga," ujarnya kepada pers di Kantor Wapres di kompleks Istana Merdeka, Jakarta, 23 Desember 2016.

Apalagi, wisatawan yang masuk ke Indonesia baru sekitar 10 juta dengan kebijakan bebas visa untuk 174 negara, padahal negara tetangga yang lebih kecil sudah di atas 20 juta. "Mereka itu banyak membebaskan visa dengan negara-negara yang kita sudah periksa," kata Wapres.

Pandangan itu dibenarkan pengamat pariwisata Ida Bagus Lolec Surakusuma. Ia menilai kebijakan bebas visa kepada berbagai negara belahan dunia itu tetap harus diimbangi dengan melakukan promosi ke negara bersangkutan.

"Pemberian bebas visa tanpa diimbangi dengan promosi pariwisata akan sulit mampu meningkatkan kunjungan wisatawan ke Indonesia," kata Ida Bagus Surakusuma yang juga pelaku pariwisata itu di Denpasar, 2 Januari 2017.

Ketua Asosiasi Kongres dan Konvensi Indonesia (INCCA) Daerah Bali yang sering diajak bergabung dalam tim Kementerian Pariwisata (Kemenpar) untuk melakukan promosi ke mancanegara itu mengatakan kegiatan promosi ke mancanegara itu harus dilakukan secara berkesinambungan oleh Kementerian Pariwisata, Duta Besar Indonesia di luar negeri, dan pemerintah daerah.

Dengan promosi pariwisata secara berkesinambungan itu akan mampu memperkenalkan pariwisata Indonesia pada mancanegara. "Setelah Indonesia dikenal, maka calon wisatawan baru bebas visa itu akan memberikan manfaat untuk kemudahan sekaligus mendorong calon wisman ke Indonesia," ujar Ida Bagus Lolec.

Pria kelahiran Gria Telabah Denpasar, 28 Oktober 1950, yang juga manajer PT Pacific World Nusantara, Bali, dan pemilik sejumlah hotel di Bali itu, menyatakan masing-masing daerah di Indonesia memiliki potensi besar dan keunggulan potensi seni budaya serta panorama alam yang menarik.

"Kini, masing-masing pemerintah daerah di Nusantara mempunyai perhatian yang besar dalam mengembangkan sektor pariwisata yang bertumpu pada keunggulan dan kearifan lokal daerah dengan harapan mampu menarik perhatian wisatawan dalam dan luar negeri berkunjung ke daerah itu, karena itu promosi itu penting," ujar Ida Bagus Lolec.

Jadi, promosi pariwisata itu sangat penting untuk mengenalkan potensi daerah yang ada, bukan sekadar mengandalkan kebijakan bebas visa yang juga sudah dilakukan negara lain.