Jakarta (ANTARA Sumsel) - Pakar komunikasi politik, Henry Subiakto, mengatakan, mayoritas pemilih di Indonesia pemilih pasif dan naif, yang tidak mau mencari kelebihan dan kekurangan calon bersaing dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Menurut dia, Indonesia memiliki keberagaman suku dan agama sehingga pembicaraan mengenai etnis sah-sah saja asalkan tidak mengangkat isu membenci atau memusuhi kelompok tertentu. Kalaupun pemilih tahu tentang calon kepala daerah yang akan mereka pilih, maka hal itu hanya pada tataran "kulit dan permukaan" saja. Dia berharap masyarakat Jakarta lebih aktif dan kritis supaya mengenal calon gubernur supaya tidak salah pilih.
"Media dan politisi juga harus lebih aktif mengampanyekan latar belakang, aktivitas dan rekam jejak pasangan calon yang bersaing. Jangan sibuk menyerang dengan isu kesukuan atau agama," katanya. (ANT/SDP-49)
"Agama dan kesukuan cukup diketahui sebagai latar belakang saja. Pemilih harus lebih dewasa sehingga memilih calon yang memiliki kemampuan untuk memperbaiki Jakarta," katanya.
"Hal itu berbeda dengan masyarakat Barat yang cenderung aktif mencari tahu latar belakang, kelebihan serta kekurangan calon yang akan mereka pilih," kata Subiakto, saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Mayoritas pemilih di Indonesia pasif dan naif
...Salah satu indikasinya, mereka mengedepankan latar belakang bernuansa SARA calon pemimpinnya ketimbang program dan cara para calon itu melaksanakan program kerjanya...
Salah satu indikasinya, mereka mengedepankan latar belakang bernuansa SARA calon pemimpinnya ketimbang program dan cara para calon itu melaksanakan program kerjanya. Juga bagaimana masyarakat bisa serta dalam pengawasan dan pelaksanaan program kerja itu.
Dia berharap pemilih jangan memilih gubernur hanya berdasarkan pada kesamaan suku atau agama, tetapi lebih kepada kemampuan dan kapasitas calon yang dinilai bisa memimpin Jakarta.
Sebentar lagi warga Jakarta akan menentukan gubernur barunya. Dua calon bertarung, Fauzi Bowo (gubernur menjabat) dan Joko Widodo (walikota Solo), keduanya menawarkan Jakarta yang lebih baik jika bisa menjadi DKI 1.