Jakarta (ANTARA) - Mari bayangkan sebuah kafe bernama "Senja Marunda", berdiri megah di sudut kompleks cagar budaya Rumah Si Pitung, Marunda, Jakarta Utara.

Dengan warna dominan krem, cokelat, dan sentuhan aksen emas, kafe ini menghadirkan atmosfer klasik yang anggun, sambil tetap memancarkan identitas budaya lokal Betawi yang kental.

Kafe itu dirancang dengan menggabungkan elemen neo klasik, elegan dan sentuhan budaya Betawi seperti lengkungan pada jendela dan furnitur bergaya Betawi.

Batik Tumpal Betawi dipilih untuk digunakan pada tekstil dan aksesoris, menciptakan perpaduan mewah namun hangat. Berikut pemandangan laut di depan kafe untuk menyempurnakan napak tilas menyenangkan sembari menikmati waktu bersantap hidangan khas Betawi.

Begitulah kira-kira ide dari seorang mahasiswi program studi Desain Interior dari salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang, Arta Uli F. untuk desain kawasan Rumah Si Pitung atau dikenal sebagai Rumah Tinggi oleh masyarakat dan tokoh masyarakat di Marunda.

Lahirnya ide ini berasal dari pengalamannya kala menginjakkan kaki di kawasan tersebut setahun lalu. Dia berkisah, tak ada restoran atau tempat makan di sana, dan kalau pun ingin memesan makanan melalui aplikasi, jaraknya cukup jauh.

Kafe ini, kata dia, selain mampu menuntaskan rasa lapar, juga dapat menjadi sarana bercengkerama pengunjung, khususnya generasi milenial hingga generasi Z. Apalagi bila kafe dirancang dengan desain yang memperhatikan nilai estetis, maka bisa jadi ini jadi pilihan baru mereka untuk 'kongkow' di bagian utara wilayah Jakarta.

Selain kafe, Arta juga mengusulkan pemanfaatan ruang serbaguna sebagai sarana berkisah melalui wayang, workshop batik, serta galeri alat permainan tradisional Betawi. Nantinya, pengunjung diperlihatkan pertunjukan permainan tradisional Betawi.

Sebuah ruangan museum pun diusulkan di salah satu sudut kompleks bangunan. Dia ingin pengunjung mendapatkan informasi terkait sejarah tokoh Si Pitung, Rumah Si Pitung dan kawasan Marunda itu dari tahun ke tahun. Tujuannya, agar pengunjung punya bekal sebelum melihat sendiri Rumah Si Pitung.

Ide desain Arta dapat dilihat dalam pameran "Jejak 21" Riset Desain 3 Proyek di Museum Bahari, Jakarta Utara sejak 5 Desember lalu hingga 31 Januari 2025.Pameran tersebut juga menghadirkan 16 karya desain dari 16 mahasiswa lainnya.

 

Ide desain kafe di situs Rumah Si Pitung yang ditunjukkan dalam pameran "Jejak 21" Riset Desain 3 Proyek di Museum Bahari sejak 5 Desember lalu hingga 31 Januari 2025. Situs Rumah Si Pitung menjadi salah satu bangunan yang ditetapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai bangunan cagar budaya. ANTARA/Lia Wanadriani Santosa
Tentang Rumah Si Pitung


Situs Rumah Si Pitung berada di Jalan Kampung Marunda Pulo 2, Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.

Merujuk buku "Mengenal Rumah Si Pitung" yang diterbitkan Unit Pengelola Museum Kebaharian Jakarta pada Agustus 2023, lahan situs memiliki luasan sekitar 3000 meter persegi. Situs Rumah Si Pitung saat ini terdiri dari Rumah Si Pitung dan dua bangunan kantor.

Kedua bangunan kantor yang berada di kompleks Rumah Si Pitung merupakan bangunan baru yang didirikan pada 2009 bersamaan dengan pembangunan fondasi tambahan pada Rumah Si Pitung.

Tidak jauh dari Rumah Si Pitung terdapat bangunan cagar budaya lainnya, yakni Masjid Al-Alam.

Dari sisi lokasi, bagian utara dan timur Situs Rumah Si Pitung berbatasan dengan Pelabuhan Marunda, di bagian selatan berbatasan dengan sungai Blencong dan di bagian barat berbatasan dengan rumah warga.

Bangunan Rumah Si Pitung terbuat dari bahan kayu dengan gaya arsitektur Betawi. Namun, terdapat beberapa pendapat lain yang mengemukakan bangunan ini memiliki gaya arsitektur Bugis.

Menurut Ayub Muktiono (2020), bentuk arsitektur Bugis pada Rumah Si Pitung tampak pada gaya rumah panggung serta ornamen-ornamen yang terdapat pada bagian serambi depan rumah.

Secara gaya bangunan, gaya rumah panggung yang terdapat pada Rumah Si Pitung merupakan bentuk rumah umum dari masyarakat yang tinggal di daerah pesisir.

Bentuk rumah panggung ini memudahkan masyarakat ketika pasang dan surut air laut, sehingga bagian dalam rumah tidak ikut terendam air laut.

Adapun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan situs Rumah Si Pitung sebagai bangunan cagar budaya DKI Jakarta berdasarkan dua surat keputusan gubernur DKI Jakarta.

Pertama, Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor CB.11/1/12/1972 tanggal 10 Januari 1972 tentang Penetapan Bangunan- bangunan Bersejarah dan Monumen di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Kedua, Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 475 tahun 1993 tentang Penetapan Bangunan- bangunan Bersejarah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Benda Cagar Budaya.

Penetapan Situs Rumah Si Pitung sebagai bangunan cagar budaya pada tahun tersebut merupakan bentuk pelestarian terhadap bangunan-bangunan cagar budaya yang ada di DKI Jakarta.

Selain itu, penetapan ini juga menunjang pengenalan terhadap salah satu tokoh Si Pitung sebagai tokoh lokal yang melekat di dalam memori masyarakat terkait perjuangannya melawan penjajah.

Pertimbangan pakar

Sekilas, ide desain Arta pada situs bangunan Rumah Si Pitung tampak memungkinkan diwujudkan. Namun, ada pertimbangan, salah satunya luasan lahan.

Arkeolog sekaligus anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta Candrian Attahiyyat pengembangan bisa saja dilakukan seperti penambahan kafe dan museum. Menurut dia, eksekusinya mungkin tidak seluas desain yang disodorkan. Ini mengingat luas lahan situs Rumah Si Pitung relatif sempit.

Dia berpendapat penambahan-penambahan unsur apalagi yang berbau kekinian pada bangunan cagar budaya sangat dimungkinkan, apalagi bila peruntukan pemanfaatannya untuk publik.

Candrian menyebut penerapan adaptasi fungsi baru (adaptive reuse). Penerapan adaptive reuse digunakan sebagai salah satu cara untuk melestarikan bangunan cagar budaya agar bisa dimanfaatkan kembali.


Bagi dia, ini merupakan salah satu cara menghidupkan tempat yang dulunya dikenang hebat, kemudian dikembangkan untuk publik.


"Bukan berarti bangunan diacak-acak 100 persen. Ada yang namanya adaptive reuse, sesuatu yang kekinian, boleh, silahkan," ujar dia.

Gedung Filateli di Jalan Pos Nomor 2, Pasar Baru, Sawah Besar, Jakarta Pusat satu contohnya. Kompleks bangunan seluas 7.000 meter persegi yang menyimpan sejarah perjalanan pos di Indonesia tersebut kini berubah menjadi tempat berkumpul anak muda, UMKM, komunitas, dan seniman.

Hanya saja, ada prinsip yang harus dipegang, yakni bangunan tetap harus dijaga bentuk aslinya, jangan sampai ditutupi sesuatu atau bahkan diubah.

Di sisi lain, bagai gayung bersambut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Unit Pengelola (UP) Museum Kebaharian Jakarta menyambut positif ide memasukkan unsur kekinian bagi bangunan cagar budaya.

Kepala UP Museum Kebaharian Jakarta, Mis’ari mengatakan ini demi mendorong generasi muda jatuh cinta pada cagar budaya dan ikut melestarikannya.

Menurut dia, guna menarik minat dan kecintaan generasi muda pada cagar budaya, maka pada bangunan cagar budaya, misalnya, perlu ditambahkan sesuatu yang sesuai dengan jiwa kekinian mereka.

Namun, senada dengan Candrian, penambahan unsur baru tersebut harus mempertahankan bentuk visual cagar budaya yang menjadi sasaran. Bangunan cagar budaya bisa dibuat cantik, kekinian, tetapi tetap mempertahankan kecagarbudayaannya, kata Mis'ari.

Ide kekinian dari Arta bagi Rumah Si Pitung memang baru sebatas desain dan masih perlu berbagai pembahasan dari berbagai sisi termasuk aristektural.

Namun, bukan hal mustahil dalam beberapa waktu ke depan, kafe estetik sebagai tempat 'kongkow' anak muda, dihadirkan di kawasan Rumah Si Pitung.

Penambahan unsur kekinian pada bangunan cagar budaya, seperti yang diusulkan untuk Rumah Si Pitung, membuka peluang bagi generasi muda untuk lebih mengenal, menghargai, dan melestarikan warisan sejarah. Dengan pendekatan adaptive reuse, bangunan-bangunan bersejarah dapat tetap hidup, relevan, dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Namun, pelestarian harus tetap menjaga keaslian visual dan nilai historisnya. Jika dieksekusi dengan bijak, ide ini tidak hanya akan menghidupkan kembali memori sejarah tetapi juga menjadikannya bagian integral dari kehidupan masa kini.

Rumah Si Pitung, dengan segala potensinya, memiliki kesempatan untuk menjadi contoh sukses kolaborasi antara pelestarian sejarah dan inovasi modern. Toh, unsur baru apalagi kekinian bukan hal haram bagi bangunan cagar budaya.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mempertemukan sejarah dan rona kekinian di kawasan Rumah Si Pitung


Pewarta : Lia Wanadriani Santosa
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024