Jakarta (ANTARA) - Periset dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Bantul, DIY, Retno Palupi Agustini menyampaikan bahwa masalah komunikasi menjadi isu terpenting dalam penanganan kasus kekerasan berbasis gender dan disabilitas.
"Masalah komunikasi menjadi isu terpenting dalam penanganan kasus kekerasan berbasis gender dan disabilitas," kata Retno Palupi Agustini dalam webinar bertajuk "Diseminasi Hasil Riset Sistem Rujukan dengan Pemenuhan Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas pada Penanganan Kekerasan Berbasis Gender dan Disabilitas", yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.
Hal ini diketahui dari hasil riset yang dilakukan tim UPTD PPA Kabupaten Bantul.
Riset dilakukan di Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kabupaten Jombang (Jawa Timur), dan Kabupaten Bantul (DIY) dengan pertimbangan tiga lokasi tersebut telah memiliki penanganan kasus kekerasan berbasis gender dan disabilitas yang berkoordinasi dengan UPTD PPA hingga putusan pengadilan.
Riset ini mencatat bahwa kasus kekerasan berbasis gender dan disabilitas dilaporkan oleh keluarga korban, relawan sosial, dan guru.
"Belum ada proses lapor mandiri yang dilakukan oleh penyandang disabilitas," katanya.
Menurutnya, formulir asesmen awal kondisi korban sudah tersedia, tetapi terbatas pada asesmen kebutuhan layanan dan belum mengakomodasi segala kebutuhan spesifik korban penyandang disabilitas.
Semua petugas layanan menyampaikan bahwa tantangan utama adalah masalah komunikasi.
"Beberapa petugas merasa masih minim kemampuan untuk dapat mendampingi korban penyandang disabilitas. Sudah ada upaya dari petugas layanan dengan menggunakan bahasa sederhana, gerakan tubuh dan tangan, alat peraga, gambar, dan foto," katanya.
Proses melaporkan kasus mengalami kendala terkait perspektif, stigma, tekanan dari pelaku atau keluarga pelaku.
Sebagian dari lembaga layanan sudah memiliki fasilitas rumah aman dan pendampingan dari relawan sosial maupun pekerja sosial untuk korban kekerasan berbasis gender dan disabilitas, meskipun sumber daya dan sarana prasarana masih terbatas.
Pada tahap penanganan kasus, petugas layanan menggali cerita dari korban dengan bahasa yang sederhana, berkomunikasi dengan memperagakan gerak tubuh dan tangan, menggunakan boneka, dan menggunakan gambar, dan atau foto-foto riil dari lokasi kejadian seperti foto tempat kejadian, transportasi yang digunakan, dan sebagainya.
"Upaya ini sangat membantu menelusuri kronologi kejadian sehingga informasinya memudahkan penanganan kasus," kata Retno Palupi Agustini.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Penanganan kasus kekerasan gender & disabilitas terkendala komunikasi
"Masalah komunikasi menjadi isu terpenting dalam penanganan kasus kekerasan berbasis gender dan disabilitas," kata Retno Palupi Agustini dalam webinar bertajuk "Diseminasi Hasil Riset Sistem Rujukan dengan Pemenuhan Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas pada Penanganan Kekerasan Berbasis Gender dan Disabilitas", yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.
Hal ini diketahui dari hasil riset yang dilakukan tim UPTD PPA Kabupaten Bantul.
Riset dilakukan di Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kabupaten Jombang (Jawa Timur), dan Kabupaten Bantul (DIY) dengan pertimbangan tiga lokasi tersebut telah memiliki penanganan kasus kekerasan berbasis gender dan disabilitas yang berkoordinasi dengan UPTD PPA hingga putusan pengadilan.
Riset ini mencatat bahwa kasus kekerasan berbasis gender dan disabilitas dilaporkan oleh keluarga korban, relawan sosial, dan guru.
"Belum ada proses lapor mandiri yang dilakukan oleh penyandang disabilitas," katanya.
Menurutnya, formulir asesmen awal kondisi korban sudah tersedia, tetapi terbatas pada asesmen kebutuhan layanan dan belum mengakomodasi segala kebutuhan spesifik korban penyandang disabilitas.
Semua petugas layanan menyampaikan bahwa tantangan utama adalah masalah komunikasi.
"Beberapa petugas merasa masih minim kemampuan untuk dapat mendampingi korban penyandang disabilitas. Sudah ada upaya dari petugas layanan dengan menggunakan bahasa sederhana, gerakan tubuh dan tangan, alat peraga, gambar, dan foto," katanya.
Proses melaporkan kasus mengalami kendala terkait perspektif, stigma, tekanan dari pelaku atau keluarga pelaku.
Sebagian dari lembaga layanan sudah memiliki fasilitas rumah aman dan pendampingan dari relawan sosial maupun pekerja sosial untuk korban kekerasan berbasis gender dan disabilitas, meskipun sumber daya dan sarana prasarana masih terbatas.
Pada tahap penanganan kasus, petugas layanan menggali cerita dari korban dengan bahasa yang sederhana, berkomunikasi dengan memperagakan gerak tubuh dan tangan, menggunakan boneka, dan menggunakan gambar, dan atau foto-foto riil dari lokasi kejadian seperti foto tempat kejadian, transportasi yang digunakan, dan sebagainya.
"Upaya ini sangat membantu menelusuri kronologi kejadian sehingga informasinya memudahkan penanganan kasus," kata Retno Palupi Agustini.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Penanganan kasus kekerasan gender & disabilitas terkendala komunikasi