Depok (ANTARA) -
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) dr Syahrizal Syarif MPH PhD menyatakan Monkeypox (cacar monyet) penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya dalam 2-4 minggu melalui penanganan medis yang tepat.
“Dengan pengobatan yang tepat, pasien bisa sembuh dalam waktu dua sampai empat minggu,” katanya di Depok, Jawa Barat, Sabtu.
Ia menyebut Mpox yang menyebar di Indonesia berasal dari strain Clade 2. Clade 2 lebih sulit menular dan memiliki angka kematian yang rendah, yaitu di bawah 1 persen, sedangkan Clade 1 yang lebih umum menyebar di Afrika memiliki tingkat kematian 5-10 persen.
Menurut data Kemenkes, strain Clade 2 yang ada di Indonesia memiliki risiko penularan yang lebih rendah dibandingkan dengan Clade 1.
Meskipun bukan penyakit endemik di Indonesia, katanya, Mpox tetap menjadi ancaman bagi kelompok berisiko tinggi.
“Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan Mpox sebagai Public Health Emergency of International Concern. Mpox berpotensi menyebar terbatas di Indonesia, terutama di kalangan kelompok berisiko tinggi. Oleh karena itu, kewaspadaan dan pencegahan harus tetap dilakukan,” katanya.
Mpox memiliki dua tahap gejala utama. Tahap awal ditandai dengan demam, sakit kepala, batuk, pilek, serta pembesaran kelenjar getah bening di leher dan ketiak.
Gejala tersebut kemudian berkembang menjadi ruam di kulit. Pada tahap lanjutan, ruam tersebut berubah menjadi benjolan berisi nanah yang kemudian pecah dan mengering menjadi koreng.
Ia mengatakan lokasi ruam paling sering muncul di wajah, tangan, punggung, dan mulut, namun pada gelombang wabah 2022-2023 ruam juga banyak ditemukan di area genital dan anus.
Mpox dapat menular melalui kontak erat dengan penderita. Ia menyebutkan mayoritas kasus (86 persen) terjadi pada laki-laki yang berhubungan dengan sesama jenis dan sekitar 6 persen pada kelompok transgender dan biseksual.
Meskipun Mpox bukan penyakit menular seksual, ujarnya, penularan lebih mungkin terjadi pada kelompok yang berisiko tinggi melalui kontak fisik langsung atau hubungan seksual.
Meskipun demikian, ujarnya, risiko penularan di masyarakat umum tergolong rendah.
“Mpox tidak menular dengan mudah pada masyarakat umum. Namun, mereka yang merasa mengalami gejala mirip Mpox harus segera memeriksakan diri karena gejalanya sering kali mirip dengan herpes atau cacar air,” ujarnya.
Diagnosis Mpox dilakukan melalui tes Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sebagian besar kasus hanya memerlukan isolasi mandiri selama 2-4 minggu. Pengobatan bersifat simptomatik dengan paracetamol untuk meredakan demam dan bedak untuk gatal.
Terkait dengan upaya pencegahan dan pengobatan, Syahrizal menegaskan bahwa pemberian vaksinasi tidak direkomendasikan untuk masyarakat umum, melainkan hanya bagi kelompok berisiko tinggi.
“Vaksin Mpox direkomendasikan untuk mereka yang pernah kontak erat dengan penderita Mpox. Vaksin ini terbukti efektif hingga 86 persen dalam mencegah penularan, dan diberikan dalam dua dosis dengan jarak 28 hari,” katanya.
Meskipun wabah Mpox diperkirakan tidak akan menjadi pandemi global seperti COVID-19, edukasi kepada kelompok berisiko tinggi tetap penting.
“Deteksi dini, kemudahan akses tes PCR, isolasi yang tepat, dan pengobatan yang efektif adalah prioritas utama dalam mengendalikan penyebaran Mpox,” kata Syahrizal.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Epidemiolog UI : Penyakit Monkeypox bisa sembuh dengan sendirinya
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) dr Syahrizal Syarif MPH PhD menyatakan Monkeypox (cacar monyet) penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya dalam 2-4 minggu melalui penanganan medis yang tepat.
“Dengan pengobatan yang tepat, pasien bisa sembuh dalam waktu dua sampai empat minggu,” katanya di Depok, Jawa Barat, Sabtu.
Ia menyebut Mpox yang menyebar di Indonesia berasal dari strain Clade 2. Clade 2 lebih sulit menular dan memiliki angka kematian yang rendah, yaitu di bawah 1 persen, sedangkan Clade 1 yang lebih umum menyebar di Afrika memiliki tingkat kematian 5-10 persen.
Menurut data Kemenkes, strain Clade 2 yang ada di Indonesia memiliki risiko penularan yang lebih rendah dibandingkan dengan Clade 1.
Meskipun bukan penyakit endemik di Indonesia, katanya, Mpox tetap menjadi ancaman bagi kelompok berisiko tinggi.
“Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan Mpox sebagai Public Health Emergency of International Concern. Mpox berpotensi menyebar terbatas di Indonesia, terutama di kalangan kelompok berisiko tinggi. Oleh karena itu, kewaspadaan dan pencegahan harus tetap dilakukan,” katanya.
Mpox memiliki dua tahap gejala utama. Tahap awal ditandai dengan demam, sakit kepala, batuk, pilek, serta pembesaran kelenjar getah bening di leher dan ketiak.
Gejala tersebut kemudian berkembang menjadi ruam di kulit. Pada tahap lanjutan, ruam tersebut berubah menjadi benjolan berisi nanah yang kemudian pecah dan mengering menjadi koreng.
Ia mengatakan lokasi ruam paling sering muncul di wajah, tangan, punggung, dan mulut, namun pada gelombang wabah 2022-2023 ruam juga banyak ditemukan di area genital dan anus.
Mpox dapat menular melalui kontak erat dengan penderita. Ia menyebutkan mayoritas kasus (86 persen) terjadi pada laki-laki yang berhubungan dengan sesama jenis dan sekitar 6 persen pada kelompok transgender dan biseksual.
Meskipun Mpox bukan penyakit menular seksual, ujarnya, penularan lebih mungkin terjadi pada kelompok yang berisiko tinggi melalui kontak fisik langsung atau hubungan seksual.
Meskipun demikian, ujarnya, risiko penularan di masyarakat umum tergolong rendah.
“Mpox tidak menular dengan mudah pada masyarakat umum. Namun, mereka yang merasa mengalami gejala mirip Mpox harus segera memeriksakan diri karena gejalanya sering kali mirip dengan herpes atau cacar air,” ujarnya.
Diagnosis Mpox dilakukan melalui tes Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sebagian besar kasus hanya memerlukan isolasi mandiri selama 2-4 minggu. Pengobatan bersifat simptomatik dengan paracetamol untuk meredakan demam dan bedak untuk gatal.
Terkait dengan upaya pencegahan dan pengobatan, Syahrizal menegaskan bahwa pemberian vaksinasi tidak direkomendasikan untuk masyarakat umum, melainkan hanya bagi kelompok berisiko tinggi.
“Vaksin Mpox direkomendasikan untuk mereka yang pernah kontak erat dengan penderita Mpox. Vaksin ini terbukti efektif hingga 86 persen dalam mencegah penularan, dan diberikan dalam dua dosis dengan jarak 28 hari,” katanya.
Meskipun wabah Mpox diperkirakan tidak akan menjadi pandemi global seperti COVID-19, edukasi kepada kelompok berisiko tinggi tetap penting.
“Deteksi dini, kemudahan akses tes PCR, isolasi yang tepat, dan pengobatan yang efektif adalah prioritas utama dalam mengendalikan penyebaran Mpox,” kata Syahrizal.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Epidemiolog UI : Penyakit Monkeypox bisa sembuh dengan sendirinya