Jakarta (ANTARA) - Saksi kasus dugaan korupsi timah, Musda Anshori, mengungkapkan kegiatan penambangan timah ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. semakin masif setelah adanya kesepakatan PT Timah dengan lima smelter swasta pada 2019
Musda Anshori, yang merupakan mantan Kepala Bidang Pengawasan Tambang dan Pengangkutan PT Timah itu, mengatakan masifnya penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah saat itu, terutama terjadi di wilayah abu-abu, seperti kawasan hutan dan sebagainya.
"Karena di kawasan abu-abu ini memang tidak bisa kami terbitkan surat IUP. Nah di situ ada pertambangan ilegal yang dikerjakan masyarakat secara tradisional dan ada yang agak lebih modern," ujar Musda dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Untuk penambangan ilegal dengan alat yang lebih modern, kata dia, kebanyakan dilakukan dengan alat ponton isap jenis rajuk, terutama di wilayah lepas pantai.
Adapun kerja sama PT Timah dengan lima smelter swasta dimaksud, meliputi kesepakatan jatah lima persen produksi bijih timah dari kuota ekspor smelter swasta dan sewa peralatan processing (pengolahan) untuk penglogaman timah.
Kelima smelter tersebut, yakni PT Refined Bangka Tin (RBT), CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, serta PT Tinindo Internusa, masing-masing beserta perusahaan afiliasinya.
Dia menjelaskan kesepakatan PT Timah dengan lima smelter dilakukan lantaran produksi bijih timah PT Timah sempat anjlok pada 2018 atau tidak mencapai target sebesar 25 ribu metrik ton.
"Kesepakatan itu ada efek besarnya. Setelah adanya kesepakatan, produksi bijih timah PT Timah melonjak menjadi 76 ribu metrik ton pada 2019," tuturnya.
Musda bersaksi dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah pada tahun 2015-2022.
Kasus tersebut menyeret tiga perwakilan PT RBT sebagai terdakwa, yakni Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT RBT, Suparta selaku Direktur Utama PT RBT, dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT.
Harvey didakwa menerima uang Rp420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim, sementara Suparta didakwa menerima aliran dana sebesar Rp4,57 triliun dari kasus yang merugikan keuangan negara Rp300 triliun itu.
Keduanya juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari dana yang diterima. Dengan demikian, Harvey dan Suparta terancam pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sementara itu, Reza tidak menerima aliran dana dari kasus dugaan korupsi tersebut. Namun karena terlibat serta mengetahui dan menyetujui semua perbuatan korupsi itu, Reza didakwakan pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.